Rahasia Dibalik Taqdim dan Ta'khir Musnad dan Musnad Ilaih

Berbicara tentang Balaghoh berarti kita sedang membicarakan suatu keilmuan didalam bidang bahasa (khususnya Bahasa Arab), yang mengkaji tentang bagaimana sang penutur bahasa (متكلم) dalam aktifitasnya menuturkan suatu bahasa (ucapan) kepada orang yang diajak berbahasa (مخاطب).

Sesuai dengan namanya, Balaghoh yang berarti sampai, ilmu ini mengajarkan bagaimana cara agar sang mutakallim  fasih dalam bertakallum (mengucap) sehingga mutakallim bisa sampai pada maksud yang hendak ia capai melalui perkataan yang fasih tersebut.

Perkataan (كلام) sang  mutakallim tersebut bila kita cermati lebih dalam bukanlah suatu barang yang tunggal, melainkan perkataan tersebut terbentuk dari beberapa unsur/bagian-bagian yang dalam hal ini kita kenal dengan istilah kata yang mana dari sekumpulan kata-kata itu terbentuklah suatu perkataan.

Saat mutakallim berbicara, sangatlah tidak mungkin ia menyebutkan (kata) tersebut secara bersamaan, akan tetapi ada kata yang didahulukan dan ada kata yang diakhirkan.

Sebenarnya tidak ada permasalahan berkaitan dengan hal kata mana yang lebih utama untuk didahulukan dan kata mana yang diakhirkan, karena kedudukan kata tersebut yang sama pentingnya. Ada yang menjadi sandaran atau yang dikenal dengan مسند إليه dan ada pula yang bersandar atau yang menghukumi kalimat lain (مسند). Apabila salah satu dari kedua bagian ini kita hilangkan, maka suatu perkataan dianggap belum lengkap dan menimbulkan kesamaran pemahaman bagi orang yang mendengar perkataan tersebut, maka dari itu keduanya sama penting.

Selanjutnya untuk mengetahui hal-hal yang berkenaan dengan didahulukannya suatu kata (تقديم) dan diakhirkannya suatu kata (تأخير) perlulah kiranya mengkaji lebih dalam lagi hal tersebut.


Pengertian Musnad Ilaih dan Musnad

Musnad ilaih (مسند إليه) adalah subjek dalam sebuah kalimat, atau sesuatu yang menjadi sandaran hukum (محكوم عليه), atau sesuatu yang ingin dikenai hukum. Musnad ilaih merupakan salah satu pokok utama dalam sebuah kalimat. Dalam Bahasa Arab, musnad ilaih terletak di posisi-posisi berikut ini:

Fa’il dari fi’il tam.
Na’ib fa’il.
Mubtada’ yang mempunyai khabar.
Isim inna dan saudara-saudaranya.
Isim Kaana (كان) dan saudara-saudaranya.
Objek pertama dari dzhanna (ظن) dan saudara-saudaranya.
Objek kedua dari أعلم  dan أرى.

Dalam Bahasa Arab, musnad ilaih memiliki beberapa keadaan, diantaranya: disebutkan, dihapus, didahulukan, diakhirkan, dll.

Sedangkan musnad (مسند) adalah predikat dalam kalimat, atau yang menghukumi kalimat lain (محكوم به). Musnad terletak di posisi-posisi berikut:

Fi’il tam.
Khabar mubtada’.
Khabar inna dan saudara-saudaranya.
Khabar kaana dan saudara-saudaranya.
Objek ke-2 dari dzhanna (ظن) dan ra’a (رأى).

Musnad ilaih dan Musnad dalam Jumlah Ismiyah dan Jumlah Fi’liyah

Ada dua metode penyusunan kalimat dalam Bahasa Arab yang dikenal dengan jumlah ismiyah dan jumlah fi’liyah. Masing-masing metode ini memiliki sistem penyusunan musnad ilaihi dan musnad yang berbeda. Dalam jumlah ismiyah, musnad ilaihi didahulukan dari musnad. Sementara dalam jumlah fi’liyah, musnad lebih dahulu dari musnad ilaih. Namun dalam praktek penggunaannya, seorang mutakallim yang baaligh bisa saja keluar dari kaedah asal ini dan menggunakan susunan yang berbeda, dengan tujuan memperkaya makna tanpa memperpanjang untaian kata.

Ada beberapa metode yang digunakan seorang yang baaligh dalam penyusunan musnad dan musnad ilaih, diantaranya mengedepankan musnad ilaih atau mengakhirkannya dan mengedepankan musnad atau mengakhirkannya. Setiap metode tersebut tentu memiliki tujuan tersendiri dan mengandung makna yang tidak biasa.

Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan beberapa medote dalam penyusunan musnad ilaih dan musnad yang telah dirangkum oleh para ulama dalam karangan mereka.

a. Sebab Mendahulukan Musnad Ilaih dalam Jumlah Ismiyah ( تقديم المسند اليه في جملة اسمية)

Hukum asal dari مسند اليه  haruslah berada di awal atau ditaqdimkan karena ia menjadi bagian yang ingin dihukumi dalam sebuah kalimat, maka kita tidak mungkin menghukumi sesuatu kecuali sesuatu tersebut sudah ada terlebih dahulu. Namun, seorang pembicara bisa memilih susunan kalimat yang ia inginkan sesuai dengan keadaan sekitarnya.

Di antara tujuan mendahulukan musnad ilaih adalah:

1. أنه الأصل ولا مقتضى للعدول عنه (karena mendahulukan musnad ilaih adalah kaedah asal, dan tidak ada faktor yang mengharuskannya keluar dari kaedah).

Musnad ilaihi didahulukan karena musnad ilaih adalah mahkum ‘alaih (subjek) atau sesuatu yang ingin dihukumi. Maka sebelum memberikan hukum pada sesuatu, sesuatu tersebut haruslah diketahui terlebih dahulu sebelum adanya hukum (predikat). Selama tidak ada tujuan khusus dan faktor untuk mengubah kaedah ini, penyusunan kalimat haruslah sesuai dengan kaedah asal.

Contoh:

زيد سديد الرأي
 
Kata زيد dalam kalimat ini adalah musnad ilaih, dan dalam kalimat ini musnad ilaih didahulukan daripada musnad (سديد الرأي) karena mutakallim tidak memiliki tujuan tertentu yang mengharuskannya merubah susunan kalimat.

2. ليتمكن الخبر في ذهن السامع supaya khabar/predikat lebih diingat oleh pendengar.

Khabar dari mubtada’ akan lebih diingat oleh pendengar apabila mubtada’ didahulukan, dengan syarat mubtada’ harus berupa kalimat yang dapat membuat pendengar penasaran dengan khabar. Ketika pendengar merasa penasaran, tentu ketika mendengar jawaban dari apa yang diinginkannya, akan sulit untuk dilupakan.

Contoh:

والذي حارت البرية فيه ** حيوان مستحدث من جماد

“Yang membuat para makhluk terheran-heran itu adalah hewan yang terbuat dari benda mati (manusia)”

Dalam bait ini, kalimat (والذي حارت البرية فيه) menjadi musnad ilaih, dan kalimat ini akan menjadikan pendengar penasaran dengan khabar; oleh sebab itu musnad ilaihi didahulukan agar tujuan pada poin ke-dua ini bisa terwujud.

3. تعجيل المسرة (segera memberi kabar bahagia).
Ketika membawa sebuah berita menyenangkan, seorang mutakallim tentu menginginkan agar berita yang dibawanya cepat diketahui oleh pendengar, agar pendengar bergegas menemuinya. Seorang mutakallim yang baaligh akan mendahulukan musnad ilaih ketika musnad ilaih mengandung kabar bahagia.

Contoh:

سعد في دارك

"kebahagiaan ada di rumahmu”.

4. تعجيل المساءة (segera memberi kabar kesedihan).
Seorang mutakallim yang baaligh akan mendahulukan musnad ilaih ketika musnad ilaih mengandung kabar duka, agar pendengar segera mengatasinya.

Contoh:

السفاح في دار صديقك

" Sang penumpah darah ada di rumah temanmu”.

5. لإيهام أنه لا يزول عن الخاطر, فهو إلى الذكر أقرب (agar pendengar menyangka bahwa musnad ilaihi tidak pernah hilang dari ingatan, sehingga mudah disebutkan).

Contoh:

الله ربنا و محمد نبينا

“Allah adalah Tuhan kami dan Muhammad adalah nabi kami.”

Atau seperti perkataan Majnun Laila :

بالله يا ظبيات القاع قلن لنا ** ليلاي منكن أم ليلى من اليشر

"Demi Allah, wahai anak-anak rusa yang ada di dalam lembah, katakanlah pada kami, apakah Laila dari jenis kalian atau Laila dari jenis manusia?”

Musnad ilaihi dalam contoh-contoh diatas didahulukan karena musnad ilaihi tidak pernah hilang dari ingatan, sehingga selalu disebutkan diawal kalimat.

6. التلذذ بذكره و التيرك به (senang menyebutkannya dan mengharapkan berkah)

Contoh:

محمد أشرف الأعراب و العجم ** محمد خير من يمشي على قدم
محمد باسط المعروف جامعة ** محمد صاحب الأحسان و الكرم

Musnad ilaihi dalam bait di atas didahulukan karena mutakallim menikmati penyebutannya dan juga mengharapkan berkah dari penyebutan musnad ilaih.

Para ulama menyebutkan banyak tujuan-tujuan lain dari taqdim musnad ilaih dalam karangan mereka, tapi dalam tulisan ini penulis hanya menyebutkan tujuh tujuan yang dianggap sulit untuk dipahami dan membutuhkan sedikit penjelasan. Sedangkan tujuan lain yang tidak disebutkan penulis bisa dipahami dengan mudah tanpa harus dipaparkan dalam tulisan ini.

b. Sebab Mendahulukan Musnad Ilaihi dalam Jumlah-asalnya- Fi’liyah (تقديم المسند اليه في جملة فعلية)

Dalam jumlah fi’liyah, penyebutan musnad ilaih diakhirkan daripada musnad. Susunan gramatikal dalam jumlah fi’liyah adalah فعل + فاعل (fi’il + fa’il), namun seorang mutakallim yang baaligh bisa merubah susunan ini menjadi  jumlah ismiyah dengan mendahulukan فاعل daripada فعل, dan menjadikan musnad yang berupa fi’il menjadi khabar dari mubtada’. Dengan tujuan memperkaya makna tanpa memperpanjang kalimat yang disampaikan.

Dalam kitab-kitab yang membahas tentang musnad ilaihi, pembahasan ini lebih terkenal dengan mendahulukan musnad ilaihi daripada khabar yang berbentuk fi’il (تقديم المسند إليه على الخير الفعلي). Dalam pembahasan ini terdapat dua poin inti yaitu mendahulukan musnad ilaih dalam kalimat positif dan mendahulukan musnad ilaihi dalam kalimat negatif.

1. Mendahulukan Musnad Ilaih dalam Kalimat Negatif

Imam Abdul Qahir Al Jurjani  mengatakan bahwasanya apabila musnad ilaihi didahulukan dari khabar yang berbentuk fi’il, dan musnad ilaih tersebut terletak setelah adat nafi, menunjukkan bahwa khabar yang dinafikan itu khusus bagi musnad ilaihi yang telah disebutkan, dan mengitsbatkan khabar itu kepada selain musnad ilaih. Dalam Ilmu Balaghah hal ini dikenal dengan istilah ”ikhtishash”.

Contoh:

ما أنا قلت هذا

Dalam kalimat diatas musnad ilaihi didahulukan dari khabar yang berbentuk fi’il, dan didahului oleh huruf nafi. Hal tersebut dapat menimbulkan makna baru -sebagaimana disebutkan Imam Abdul Qahir Al Jurjani- diantaranya:

Menafikan khabar khusus untuk musnad ilaih.
Mengitsbatkan khabar untuk selain musnad ilaih.
Adanya pelaku lain yang sudah melakukan perbuatan tersebut sebelum musnad ilaih.

Jadi dari contoh diatas dapat dipahami bahwa saya tidak menyampaikan perkataan itu, namun orang lain sudah (pasti) pernah menyampaikannya sebelum saya.

Sebuah kesalahan yang sering dilakukan ketika musnad ilaih dalam keadaan seperti ini adalah juga menafikan khabar dari selain musnad ilaih, seperti (ما أنا قلت هذا الشعر ولا غيري). Karena dari potongan pertama dipahami bahwa sang mutakallim tidak mengucapkan syi’ir itu dan diucapkan oleh orang lain, bagaimana mungkin dipotongan kedua, mutakallim menafikan pengucapan syi’ir dari orang lain?! Hal tersebut menimbulkan berkumpulnya dua hal yang berlawanan dalam satu waktu. Bahkan Abdul Qahir mengatakan bahwa ungkapan seperti ini tidak diucapkan oleh manusia.

2. Mendahulukan Musnad Ilaih dalam Kalimat Positif

Mendahulukan musnad ilaih dari khabar yang berbentuk fi’il dalam kalimat positif mengandung salah satu dari dua makna, yaitu penekanan (ta’kiid) dan ikhtishash. Dan makna tersebut dapat dipahami sesuai dengan situasi dan kondisi dalam berbicara.

Contoh:

محمد يفعل الخير

"Muhammad melakukan kebaikan.”

Dari contoh tersebut, kita bisa memahami dua makna, pertama, penegasan terhadap makna kalimat, karena ungkapan diatas menyandarkan makna  musnad ilaih dua kali kepada fi’il. Makna yang pertama ini dikenal dengan ta’kiid atau taqwiyatul hukm. Kedua, mengkhususkan perbuatan baik bagi muhammad dan menafikan perbuatan baik bagi orang lain, dan ini dikenal dengan istilah ikhtishash.

Mutakallim boleh menggunakan salah satu dari makna tersebut sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapinya.

c. Mendahulukan dan Mengakhirkan Musnad Ilaih Untuk Menafikan Keumuman dan Mengumumkan Nafi (سلب العموم و عموم السلب)

Dalam sebuah kalimat, musnad ilaihi bisa berupa lafaz yang umum atau tidak. Apabila musnad ilaih berupa kalimat yang umum, seperti كل dan جميع dan tidak didahului oleh adat nafi, maka dari kalimat itu dipahami عموم السلب (mengumumkan nafi), yaitu menafikan seluruh afrad dari lafaz yang umum tersebut. Seperti perkataan Abi Najm:

قد أصبحت أم الخيار تدعي ** على ذتب كلها لم أصنع

"Ummul Khiyar telah menuduhku berbuat kesalahan yang tak satupun ku lakukan”

Musnad ilaih yang berupa lafaz umum dalam bait ini terletak sebelum adat nafi, yang mengisyaratkan makna عموم السلب, artinya seluruh afrad yang dikandung lafaz umum dinafikan oleh penya’ir.

Apabila lafaz umum tersebut terletak setelah adat nafi, maka dari kalimat itu dipahami سلب العموم (menafikan keumuman), contoh:

ما كل ما يتمنى المرء يدركه ** ......

“Tidak semua yang diimpikan seseorang dapat terwujud.”

Dalam contoh ini, lafaz umum terletak setelah adat nafi, sehingga mengandung makna سلب العموم, yaitu menafikan khabar bagi musnad ilaih secara bersamaan, tapi tidak menafikan khabar bagi setiap afrad dari musnad ilaihi. Makna dari potongan bait ini, tidak semua yang diimpikan seseorang dapat terwujud, tapi sebahagiannya bisa terwujud.

d. Sebab Mendahulukan Musnad

Imam Al Akhdari menyampaikan beberapa sebab dari mendahulukan musnad dalam kitab Jauharul Maknun dalam bentuk nazham:

وأخروا أصالة و قدموا ** للقصر ما به عليه يحكم
تنبيه او تفاؤل تشوف ** ك(فاز بالحضرة ذوا تصوف)

Dari nazham tersebut dapat disimpulkan beberapa sebab atau tujuan didahulukannya musnad dari musnad ilaih, diantaranya:

1. Mengkhususkan Musnad Untuk Musnad Ilaih (قصر المسند على المسند أليه)

Contoh:

لا فيها غول

Contoh ini khusus menafikan sifat memabukkan bagi khamar yang ada di surga, dan mengitsbatkan sifat memabukkan bagi khamar yang ada di dunia. Kalau musnad tidak didahulukan, maka tidak akan mengandung makna ikhtishash, seperti dalam kalimat (لا ريب فيه).

2. Membedakan Khabar dengan Sifat

Cara membedakan antara khabar dengan sifat adalah dengan mendahulukannya. Karena sifat tidak mungkin didahukan daripada yang disifati. Berbeda dengan khabar, khabar bisa saja didahulukan dari mubtada’. Hal ini terjadi apabila mubtada’ berbentuk nakirah dan khabar berupa jumlah, apabila khabar tidak didahulukan, maka akan sulit membedakan antara khabar dengan sifat. Imam As-Sakkaki  menjelaskan bahwa jumlah atau syibhu jumlah setelah mubtada’ yang nakirah lebih cocok dijadikan sifat daripada dijadikan sebagai khabar.

Contoh:

له همم لا منتهى لكبارها ** ....

“Dia memiliki semangat yang tak terhingga.”

Dalam bait ini penyair mendahulukan musnad (له) untuk menyatakan bahwa له adalah khabar, bukan sifat dari همم. Karena jika susunannya dibalik menjadi له همم, pendengar akan menyangka bahwa له adalah sifat dari همم, karena isim yang nakirah sangat membutuhkan sifat.

3. Menanamkan Rasa Optimisme ( التفاؤل )

Yang dimaksud dengan menanamkan rasa optimisme adalah dengan menyebutkan sesuatu yang membahagiakan kepada pendengar, seperti perkatan seorang penyair :

سعدت بغرة وجهك الأيام ** ...

“ Hari-hari berbahagia dengan sinaran wajahmu.”

Dalam bait ini penyair mendahulukan musnad (سعدت) untuk menanamkan rasa bahagia kepada pendengar.

4. Membuat Pendengar Penasaran (التشويق إلى ذكر المسند إليه )

Seorang mutakallim yang baaligh kadang mendahulukan penyebutan musnad untuk membuat pendengar penasaran dengan musnad ilaih, hal tersebut bisa terwujud jika musnad mengandung makna atau sebuah sifat yang menimbulkan tanda tanya.

Contoh:

ثلاثة تشرق الدنيا ببهجتها ** شمس الضحى و أيو إسحاق و القمر 

Dalam bait ini penyair mendahulukan musnad (ثلاثة) kemudian mensifati musnad dengan sifat yang menimbulkan rasa penasaran bagi pendengar, sehingga pendengar akan berusaha memikirkan kemungkinan yang akan menjadi musnad ilaih. Ketika mendengar musnad ilaih, pendengar akan lebih memahami dan mengingatnya.

Kesimpulan:

Menurut kaedah dari susunan dalam sebuah kalimat, musnad ilaih didahulukan dari musnad. Hal ini dikarenakan keasliannya mengukuhkan berita dalam hati pendengar, enak mendahulukannya dan memuliakan musnad ilaih. Tetapi ada faktor-faktor yang menjadi penyebab dari adanya musnad itu didahulukan dari musnad ilaih. Dan faktor ini juga yang menjadi faktor dari diakhirkannya musnad ilaih dari musnadnya. Pengakhiran musnad dari musnad ilaih dalam uraiannya, ialah karena sesungguhnya musnad itu merupakan cabang dari musnad ilaih. Dan karena itu juga, musnad diikutkan karena musnad ilaih. Dan dapat dikatakan juga bahwa musnad ilaih merupakan mahkum alaih, dan musnad merupakan hukum.

Referensi:
1. Al-Akhdari, Abdurrahman ibn Muhammad. 2017. al Jauharul Maknun. Kairo: dar el shaleh.
2. Ad-Damanhuri, Ahmad Abdul Mun’im. 2017. Hilyatu Lubb al-Mashun. Kairo: dar el-shaleh.
3. Fayyud, Dr. Bashiouni Abdul Fattah. 2015. Ilmul Ma’ani Dirasatun Balaghiyyatun wa Naqdiyyatun li Masa’il al Ma’ani. Kairo: muassasah el mochtar.
4. Ilmu Ma’ani (Muqarrar Ilmu Balaghah jurusan Bahasa Arab tingkat satu).


_____________
*Ditulis oleh: Shabrun Jamil, Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.

Share To:

FS Almakki

Post A Comment:

0 comments so far,add yours