Maret 2020
Sikap Muslim Menghadapi Virus Corona

Beberapa bulan terakhir kondisi dunia sangat mengkhawatirkan. Dengan munculnya suatu virus yang menyerang manusia yang ada disekitarnya. Virus memulai pergerakannya dari satu daerah, negara, antar negara, dan sekarang hampir seluruh dunia terserang wabah ini. Tidak jarang ada orang yang meninggal karena terpapar virus ini. Pergerakannya sangat cepat, dalam beberapa waktu saja bisa menyebar sampai antar negara, bahkan dunia. Virus ini adalah 2019 novel corona .

Hal ini tentu bukan terjadi dengan sendirinya, dan  bukan  tiba-tiba. Sesungguhnya semua ini sudah dituliskan ketetapannya oleh Allah subhaanahu wata’aala:

قُل لَّن یُصِیبَنَاۤ إِلَّا مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَنَاهُوَمَوۡلَىٰنَاۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡیَتَوَكَّلِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ

Artinya: Katakanlah (Muhammad), “Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal.” (QS. At-Taubah ayat 51)

إِنَّ ٱللَّهَ یَفۡعَلُ مَا یَشَاۤءُ

Artinya: “Sesungguhnya, Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki”. (QS. Al-Hajj ayat 18)


Bagaimanakah sikap kita hendaknya sebagai seorang muslim menyikapi virus atau wabah ini? Sesungguhnya perkara ini sudah ada sebelumnya di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم أنها أخبرتنا أنها سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الطاعون فأخبرها نبي الله صلى الله عليه وسلم أنه كان عذابا يبعثه الله على من يشاء فجعله الله رحمة للمؤمنين فليس من عبد يقع الطاعون فيمكث في بلده صابرا يعلم أنه لن يصيبه إلا ما كتب الله له إلا كان له مثل أجر الشهيد

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengabarkan kepada kami bahwa ia bertanya kepada Rasulullah SAW perihal tha‘un, lalu Rasulullah SAW memberitahukannya, "Zaman dulu tha’un adalah siksa yang dikirimkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya, tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman. Tiada seorang hamba yang sedang tertimpa tha’un, kemudian menahan diri di negerinya dengan bersabar seraya menyadari bahwa tha’un tidak akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid’’(HR Bukhari).

Tha’un atau wabah bisa menjadi suatu hukuman atau bahkan menjadi rahmat. Menjadi hukuman atau ancaman bagi mereka yang kafir dan mengingkari Allah, dan menjadi rahmat bagi mereka yang bersabar dan yakin akan ketetapan Allah, menghapus dosa dan mengangkat derajat mereka.

قال أسامةُ بنُ زيدٍ: قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم:  الطَّاعونُ رِجْزٌ أُرسِل على بني إسرائيلَ أو على مَن قبْلَكم فإذا سمِعْتُم بهبأرضٍ فلا تقدَموا عليه وإذا وقَع بأرضٍ وأنتم بها فلا تخرُجوا فرارًا منه

Berkata Usamah Bin Zaid, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tha’un adalah siksa yang dikirimkan kepada Bani Israil atau kepada orang-orang sebelum kalian. Apabila kalian mendengar ada (tha’un) di suatu daerah, maka jangan mendatanginya. Dan apabila tha’un itu ada di suatu daerah dan kalian ada didalamnya, maka janganlah kalian lari dari-nya”.

Dari awal kita telah membicarakan tentang tha’un, wabah, dan virus. Apakah tha’un itu sama dengan wabah, atau justru ada perbedaan antara keduanya? Dan virus corona ini apakah masuk kepada klasifikasi tha’un atau wabah(waba’)?

Terjadi perbedaan diantara para ulama terkait permasalahan ini. Sebagian ulama menyamakan pengertian kata tha’un dan wabah. Kedua kata ini merujuk pada penyakit mematikan (berbahaya), menular, menyerang, serta memakan banyak korban jiwa.

Tapi ada beberapa ulama yang tidak sependapat dengan pendapat di atas, seperti Imam An-Nawawi dan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani. Imam An-Nawawi menyatakan bahwa kata Tha’un lebih khusus daripada kata wabah. Tha’un adalah luka bernanah yang muncul pada siku, tangan, jari, atau sekujur tubuh. Luka yang muncul disertai rasa panas, biasanya terjadi perubahan warna seperti hitam, merah, atau keunguan disekitar area luka. Gejala lainnya adalah peningkatan detak jantung dan muntah.

Adapun wabah atau waba’ (dalam bahasa arab) mengandung pengertian lebih umum dan lebih luas. Waba’  adalah penyakit tha’un itu sendiri, atau jenis penyakit lain yang dapat menyebar luas dengan cepat. Jenis penyakit waba’ dapat berbeda-beda, bisa jadi jenis penyakit yang belum terjadi sebelumnya, seperti 2019 corona virus ini.

Dapat disimpulkan berdasarkan perkataan ulama (yang membedakan antara tha’un dan waba’) bahwasannya setiap tha’un adalah waba’. Karena pada dasarnya tha’un yang terjadi dulu berbeda-beda.

Sebenarnya perbedaan ini tergantung kepada perbedaan bidang yang digeluti oleh masing-masing ulama. Ulama bahasa misalnya, memiliki pengertian sendiri terhadap kata tha’un dan waba’, begitu juga dengan ulama fikih, kedokteran, dan ulama-ulama lainnya.

Menurut Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Tha’un adalah bengkak atau memar yang muncul karena kenaikan atau tekanan darah pada anggota tubuh yang bengkak sehingga membuat bagian tersebut rusak. Adapun yang mengatakan penyebutan tha’un sama denga waba’ karena dilihat dari segi penyebarannya yang cepat dan jumlah korbannya.

Apakah cara menyikapi virus corona sama dengan menyikapi wabah tha’un?

Virus corona yang muncul baru-baru ini dapat disikapi dengan sikap yang sama dalam menghadapi tha’un. Karena virus corona adalah jenis wabah yang berbahaya, yang cepat menular, dan tak jarang ada yang meninggal karenanya, begitu pula dengan tha’un.

Lalu, bagaimanakah sikap seorang muslim hendaknya dalam menghadapi perkara ini?

1. Meyakini dengan sepenuh hati bahwasanya ujian (virus corona) ini adalah kehendak Allah subhaanahu wata’aala. Maka berusahalah untuk sabar dalam menghadapi ini semua.

Sebagaimana yang telah dikatakan di awal tadi, bahwasanya segala yang terjadi baik di langit atau di bumi telah Allah tuliskan ketetapannya jauh sebelum penciptaan manusia.


مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَاۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS.Al-Hadid ayat 22)

لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَاتَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْۗ وَاللَّهُ لَايُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS.Al-Hadid ayat 23).

Kenapa Allah menyuruh kita untuk yakin dan sabar akan ketetapannya? Karena virus atau wabah yang Allah kirimkan ini bisa menjadi siksa atau rahmat bagi makhluknya. Bagi orang-orang kafir dan ahli maksiat, ujian ini menjadi siksa bagi mereka, adapun rahmat bagi hamba Allah yang beriman serta sabar akan ketetapan Allah, dan Allah akan memberikannya derajat yang tinggi.

2. Islam mengajarkan kita agar kembali kepada panduan-panduan agama (ketika mengahadapi suatu persoalan), sesuai dengan persoalan masing-masing. Contohnya perkara virus corona ini.

Dalam perkara ini, adanya dalil tentang pelarangan mendatangi lokasi yang pada dasarnya terkena wabah, dan juga pelarangan untuk keluar dari tempat yang terkpapar virus atau wabah.

Sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

عن عبد الرحمن بن عوف رضي الله عنه قال: قال رسول الله صل الله عليه وسلم: إذا سمعتم به بأرضٍ فلا تقدموا عليه،. وإذا وقع بأرضٍ وأنتم بها فلا تخرجوا فرارا فمنه

“Apabila kalian mendengar ada (tha’un) di suatu daerah, maka jangan mendatanginya. Dan apabila tha'un itu ada di suatu daerah dan kalian ada di dalamnya, maka janganlah kalian lari darinya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Pada suatu ketika 'Umar bin Khattab pergi ke Syam. Setelah sampai di Saragh, pimpinan tentaranya di Syam datang menyambutnya. Antara lain terdapat Abu 'Ubaidah bin Jarrah dan para sahabat yang lain. Mereka mengabarkan kepada 'Umar bahwa wabah penyakit sedang berjangkit di Syam. Umar kemudian bermusyawarah dengan para tokoh Muhajirin, Anshor dan pemimpin Quraish.

Lalu 'Umar menyerukan kepada rombongannya, "Besok pagi-pagi aku akan kembali pulang. Karena itu bersiap-siaplah kalian!" Abu 'Ubaidah bin Jarrah bertanya, "Apakah kita hendak lari dari takdir Allah?" Jawab 'Umar, "Mengapa kamu bertanya demikian hai Abu 'Ubaidah?" Agaknya 'Umar tidak mau berdebat dengannya. Dia menjawab, “Ya, kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah."

Bagaimana pendapatmu, seandainya engkau mempunyai seekor unta, lalu engkau turun ke lembah yang mempunyai dua sisi. Yang satu subur dan yang lain tandus. Bukankah jika engkau menggembalakannya di tempat yang subur, engkau menggembala dengan takdir Allah juga, dan jika engkau menggembala di tempat tandus engkaupun menggembala dengan takdir Allah?". Tiba-tiba  datang 'Abdurrahman bin 'Auf yang sejak tadi belum hadir karena suatu urusan. Lalu dia berkata, "Aku mengerti masalah ini. Aku mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, ”Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu terrjangkit di negeri tempat kamu berada, maka janganlah keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri." Ibnu 'Abbas berkata, "Umar bin Khaththab lalu mengucapkan puji syukur kepada Allah, setelah itu dia pergi". (HR Bukhari dan  Muslim).

Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan  bahwa adanya larangan mendatangi tempat yang terpapar virus (penyakit) itu dikhawatirkan akan menularkan virus kepada siapapun yang mendatangi tempat tersebut. Dan larangan untuk keluar dari tempat yang terpapar virus atau wabah itu agar yang lain tidak terjangkit virus itu.

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, "Janganlah  yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat." (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Kalau melihat kondisi sekarang (kondisi di mana di beberapa daerah sudah diwajibkan karantina diri di rumah masing-masing dalam kurun waktu yang ditentukan guna mencegah penularan virus corona yang begitu cepat), beberapa dari masyarakat masih ada yang harus keluar rumah untuk bekerja, untuk itu disarankan agar tetap menjaga kebersihan baik ketika bekerja atau ketika telah pulang bekerja, serta memakai perlengkapan yang bisa mencegah penyebaran virus tersebut. Ini salah satu bentuk ikhtiar kita.

Yakinlah wahai orang-orang yang beriman, bahwa di kala kita mengikuti panduan dan syariat Allah, serta melakukan apa yang diperintahkan agar terhindar dari wabah ini, insya Allah kita akan dijaga oleh Allah.

3. Berobat

a. Pengobatan Syar'i.

Kita sebagai seorang muslim yang beriman tentunya, di kala sehat diperintahkan untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak doa, zikir, shalat, sedekah, dan meminta tobat kepada Allah subhaanahu wata’aala. Apalagi ketika Allah menguji kita dengan suatu penyakit, salah-satunya terkena virus corona ini. Jika kita dekat dengan Allah, apapun ketetapan Allah kita akan lapang menerimanya.

لا يكلف الله نفسا إلا وسعها

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS Al-Baqarah ayat 286)

إن الدعاء ينفع مما نزل و مما لم ينزل، فعليكم عباد الله بالدعاء

“Sesungguhnya doa akan bermanfaat terhadap apa yang sudah ditetapkan dan apa yang belum ditetapkan, maka hendaklah kalian memperbanyak doa”. ( HR Tirmizi ).

• Biasakanlah diri untuk membaca doa ketika hendak keluar rumah.

بسم الله توكّلت على الله لا حول ولا قوة إلا بالله

“Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya kekuatan melainkan dengan Allah”.

• Perbanyaklah Shalat.

Diriwayatkan dari Imam Ahmad dan Abu Daud bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, jika dihadapkan dengan suatu masalah, pasti beliau langsung melaksanakan shalat.

• Memperbanyak Amal Sholeh.

Sesungguhnya perbuatan kebaikan dan ketakwaan kepada Allah akan menjauhkan dari segala masalah berat.

• Memperbanyak Sedekah

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya sedekah itu akan meredam murka Allah, dan juga dapat menghindari dari mati yang buruk”

b. Berobat ke Dokter

Jika diperlukan, maka berobatlah ke dokter, agar kita bisa mengetahui, tindakan apa yang harus kita lakukan jika terjangkit virus atau tidak sesuai dengan prosedur medis.

Waallahu a’lam.


________________
*Ditulis oleh: Mahasiswi, Jurusan Ushuluddin, Fakultas Dirasat Islamiyah wal 'Arabiyah, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.


Bagaimana Cara Shalat Para Medis Covid-19?

Tim Medis Covid-19 merupakan garda terdepan dalam menghadapi serangan virus Corona atau Covid-19. Sebagai tim medis, dokter dan perawat  pasien Covid-19 dilengkapi dengan Alat Pelindung Diri (APD) atau lebih dikenal dengan Baju Hazmat. Baju ini apabila sudah dipasang, tidak dibuka lagi selama 8 sampai 10 jam. Bahkan, untuk minum saja mereka (tim medis) tidak berani membukanya. Sebab, jika terbuka sedikit saja khawatir semua bagian tubuh yang sudah ditutupi baju hazmat dapat tertular dan menyebarkan virus corona yang sedang ditangani. Di samping itu, harga baju ini lumayan mahal, persediaan baju ini juga sangat terbatas dan hanya dapat dipakai untuk satu kali penggunaan saja. Setelah dibuka, baju tidak boleh dipakai lagi dan segera disimpan di kantung infeksius.


Dengan keadaan seperti ini, akan muncul pertanyaan : bagaimana pelaksanaan ibadah shalat lima waktu bagi para medis; perawat dan dokter pasien covid-19 yang menggunakan APD atau Baju Hazmat? Sebab APD tak dapat dibuka selama 8 atau 10 jam, sehingga pemakai APD tidak bisa bersuci dengan berwudhu atau tayamum karena tuntutan tugas kerja mereka harus cepat dan dalam waktu yang lama.


Syariat Islam pada prinsipnya memudahkan bukan menyulitkan, sebagaimana firman Allah SWT:

يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Artinya: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu". (Qs. Al Baqarah: 185)

يُرِيدُ اللهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا

Artinya: "Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan bersifat lemah". (Qs. An Nisa: 28)

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ

Artinya: "Dan Dia (Allah) tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam beragama". (Qs. Al Hajj: 78)

Oleh karenanya, ada dua cara bagi para medis dan perawat pasien covid-19 agar tetap dapat melaksanakan shalat wajib saat merawat dan mengobati pasien:

1. Jadwal merawat dan mengobati dijadwalkan sesuai dengan waktu shalat. Umpamanya, mulai bekerja jam 06.00 sampai jam 14.00 sehingga ia dapat melaksanakan shalat pada waktunya. Atau bagi yang  waktu tugasnya mepet dengan waktu shalat maka bisa melakukan jama’ (menggabungkan shalat yang bisa digabung karena sebab dan syarat tertentu; seperti menggabung shalat zhuhur dengan ashar, bisa dilaksanakan pada waktu zahur (jama' taqdim) atau dilaksanakan pada waktu ashar (jama' ta'khir), atau menggabung shalat maghrib dengan isya, bisa dilaksanakan pada waktu magrib (jama' taqdim) atau dilaksanakan pada waktu isya (jama' takhir).

Dengan catatan:

- Niat Jama' dilakukan pada waktu shalat yang pertama kalau Jama' Ta'khir. Contoh: seorang perawat ingin men-jama' ta'khir shalat zhuhur dan ashar. Ketika waktu shalat zhuhur masuk, maka perawat tersebut sudah memasang niat jama ta'khir walaupun shalat zhuhurnya akan dilaksanakan nanti di waktu Ashar.

Jika Jama' Taqdim, maka niatnya dilakukan ketika memulai shalat pertama. Contoh: seorang perawat ingin men-jama' taqdim shalat zhuhur dan ashar. Maka, niat jama' taqdim dilakukan ketika memulai shalat zhuhur (shalat yang pertama dilakukan). Setelah selesai shalat zhuhur, perawat langsung melanjutkan dengan shalat ashar.

- Menjama' (menggabung) sholat disini bukan meng-qashar (meringkas), jadi setiap sholat yang di jama' jumlah rakaatnya tetap sama seperti biasa.

Dar Al ifta Al Mishriyah (Lembaga Fatwa Mesir) menyatakan bahwa mengobati pasien merupakan bagian dari uzur yang membolehkan untuk menjama' (menggabung) shalat [1].



2. Jika tidak memungkinkan melaksanakan shalat pada waktunya dan juga tidak bisa men-jama’  shalat, maka para medis bisa dikategorikan Faqid At-Thahurain orang yang tidak bisa bersuci; yaitu tidak bisa wudhu’ dan tayamum.

Prof. Dr. Wahbah Zuhaily menjelaskan dalam kitabnya Alfiqhu Al Islaamy wa Adillatuhu [2] :

فاقد الطهورين: هو فاقد الماء والتراب، كأن حبس في مكان ليس فيه واحد منهما، أو في موضع نجس لا يمكنه إخراج تراب مطهر. أو كأن وجد ما هو محتاج إليه لنحو عطش، أو وجد ترابا نديا ولم يقدر على تجفيفه بنحو نار. ومثله المصلوب وراكب سفينة لا يصل إلى الماء. ومثله: من عجز عن الوضوء والتيمم معا بمرض ونحوه، كمن كان به قروح لا يستطيع معها مس البشرة بوضوء ولا تيمم.

Faqid At-thohurain itu adalah orang yang tidak mendapati air dan debu (tanah), seperti orang yang dikurung di suatu tempat yang tidak terdapat padanya salah satu dari dua hal itu (air dan debu), atau di tempat yang bernajis yang tidak memungkinkannya untuk mengeluarkan debu yang dapat mensucikan, atau dia mendapati sesuatu (hewan) yang lebih memerlukan air karena haus, atau dia mendapatkan tanah yang lembab tapi tidak mampu untuk mengeringkannya seperti dengan menggunakan api, dan seperti itu juga orang yang disalib dan orang yang sedang berada di kapal dan tidak bisa mendapatkan air, dan seperti itu juga siapa yang tidak mampu untuk berwudhu dan bertayamum karena suatu penyakit atau hal lain, seperti orang yang memiliki luka yang tidak bisa terkena air wudhu atau debu tayamum.

Adapun hukum shalat orang yang masuk kategori Faqid Aththohurain ini, Ulama terbagi kepada dua pendapat:

1. Menurut Jumhur Ulama (Hanafiyah, Syafi'iyah, Hanabilah): Dia wajib melaksanakan shalat pada waktunya. Akan tetapi, ia mesti mengulangi sholatnya (ketika bisa berwudhu atau bertayamum) menurut Hanafiyah dan Syafi'iyah. Sedangkan menurut Hanabilah, dia tidak perlu mengulangi shalatnya atau shalat yang dilaksanakan tanpa wudhu dan tayamum pada waktunya sudah cukup.
2. Menurut pendapat yang mu'tamad dalam Mazhab Malikiyah kewajiban sholatnya gugur.

Adapun rincian cara shalat bagi Faqidu Aththahurain menurut empat mazhab fiqih sebagai berikut:

Mazhab Hanafi: Orang yang tidak bisa wudhu dan tidak bisa tayamum (Faqidu Aththahurain) maka dapat melakukan shalat dengan gerakan shalat tapi tidak perlu membaca Alfatihah dan bacaan lainnya. Namun setelah memungkinkan maka ia mengganti shalatnya secara sempurna (meng-qadha shalat).

Mazhab Maliki: Bagi Faqidu Aththahurain tidak wajib baginya shalat dan tidak wajib qhada. Cukup menunjukkan ketundukan kepada Syariat Allah dalam hati.

Mazhab Syafi’iy: Bagi Faqidu Aththahurain ia wajib shalat seperti apa keadaannya, sempurna semua rukun shalat untuk menghormati waktu (lihurmatil waqti) dan setelah memungkinkan shalat secara sempurna maka ia wajib mengulangi shalatnya (qadha shalat) secara sempurna pula. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Prof. Dr. Wahbah Zuhaily.

Mazhab Hanbali: Bagi Faqidu Aththahurain, hendaklah ia shalat sebagaimana mestinya meskipun tidak berwudhu dan tidak tayamum dan ia tidak wajib mengulangi shalatnya (tidak wajib qadha).

Referensi:
[1]. Fatwa Dar Al Ifta Al Mishriyah: Al Jam'u bainas Shalawaat bi Sababil 'Amal
[2]. Wahbah Zuhaily, Alfiqhu Al Islamy wa Adillatuhu, Cet. Darul Fikr Suriah, Jilid 1, Hal: 606.

___________________

* ditulis oleh: Andi Kurniawan, Lc.
Tata Cara Penyelenggaraan Jenazah Covid 19 - Virus Corona atau yang dikenal dengan Covid-19 adalah wabah (pandemi) global yang sudah banyak menelan korban jiwa, sebagai seorang muslim kalau ada saudara kita sesama muslim yang meninggal disebabkan oleh virus corona ini, apa yang mesti kita lakukan?, apa kewajiban kita? dan apa hak jenazah atas saudaranya yang masih hidup?

Perihal sholat jenazah yang meninggal karena wabah (pandemi), ada dua pendapat ulama:

• Jumhur ulama Syafi’i, madzhab Hanafi, dan jumhur ulama Maliki menyebutkan bahwa jenazah tidak disholatkan karena tidak memenuhi syarat sholat jenazah, yaitu mandi atau tayammum.

• Sebagian ulama Syafi’i (mutaakhirin), sebagian ulama Maliki, dan madzhab Hanbali menyatakan bahwa jenazah tetap disholatkan. Buya Yahya al-Bahjah menganjurkan pelaksanaan sholat jenazah untuk menghibur dan mengurangi kesedihan orang-orang yang ditinggalkan.


Bagaimana Tatacara Penyelenggaraan Jenazah Korban Covid-19 ini?

Dar ifta’ (Lembaga Fatwa Mesir) berfatwa : hukum asalnya jenazah dimandikan secara syar’i, dikafani, disholatkan dan dimakamkan seperti jenazah pada umumnya. Kecuali apabila jenazah terbukti secara medis tidak bisa dimandikan, atau jika dimandikan akan menularkan penyakit pada orang yang dimandikan, maka mandi diganti dengan tayamum. Jika tidak bisa ditayamumi karena khawatir akan wabah tersebut, maka gugurlah kewajiban tayammum. Tinggallah hak jenazah yang bisa dilaksanakan, yaitu dikafani, dishalatkan dan dikuburkan.

Anjuran penyelenggaraan jenazah pasien Corona yang baik dan benar sudah dicantumkan oleh Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama RI dalam protokol pengurusan jenazah pasien covid-19, sebagai berikut:

1. Pengurusan:

• Dilakukan oleh pihak rumah sakit yang telah ditetapkan oleh kementrian kesehatan.
• Jenazah ditutup dengan kain kafan berbahan plastik/tidak tembus air. Dapat juga ditutup dengan bahan kayu atau sesuatu yang tidak mudah tercemar.
• Jenazah yang sudah dibungkus tidak boleh dibuka lagi, kecuali dalam keadaan mendesak seperti autopsi dan hanya dapat dilakukan oleh petugas yang berwenang.
• Jenazah disemayamkan tidak lebih dari 4 jam.

2. Sholat jenazah:

• Dilakukan di rumah sakit rujukan atau masjid yang sudah dilakukan proses pemeriksaan sanitasi secara menyeluruh dan dilakukan disinfektasi setelah sholat dilaksanakan.
• Dilakukan sesegera mungkin, tidak lebih dari 4 jam.
• Sholat jenazah dapat dilaksanakan sekalipun oleh 1 orang. [baca juga: Dimanakah Pelaksanaan Jenazah selama Masjid ditutup?

3. Penguburan jenazah:

• Dikubur pada kedalamn 1,5 meter lalu ditutup dengan tanah setinggi 1 meter.
• Lokasi penguburan setidaknya harus berjarak 50 meter dari sumber air tanah yang digunakan untuk minum dan 500 meter dari pemukiman terdekat.
• Setelah semua prosedur dilaksanakan deengan baik, maka pihak keluarga dapat ikut serta dalam penguburan jenazah.

Wallahu A’la wa A’lam

Semoga informasi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan penulis sendiri. Serta, semoga kita semua Allah hindarkan dari wabah ini, Allahumma Aamiin. 

___________________
*Ditulis oleh: Helga Silvia Parchan, Mahasiswi Jurusan Syari'ah Islamiyyah, Fakultas Dirasat Islamiyah wal 'Arabiyyah, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.


Benarkah Korban Meninggal Akibat Virus Corona Terhitung Syahid?

Pusat Fatwa Internasional Ulama Al-Azhar menyatakan bahwa barangsiapa yang meninggal karena terserang wabah virus Corona tergolong pada syahid akhirat.

Hal ini berdasar pada hadits Rasulullah ﷺ:

قال سيدنا رسول الله ﷺ: «الشُّهَداءُ خمسةٌ: المَطعونُ، والمَبطونُ، والغَريقُ، وصاحبُ الهدمِ، والشهيدُ في سبيلِ اللهِ» [مُتفق عليه].

Artinya : "Orang yang syahid ada lima : al-math’un (orang yang meninggal karena wabah penyakit), al-mabthun (orang yang meninggal karena penyakit perut), al-ghariiq (orang yang tenggelam), shahibul hadm (orang yang tertimpa reruntuhan), dan orang yang syahid di jalan Allah". [Hadis Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim]

Dan hadits :

قال ﷺ: «ما تعدُّونَ الشَّهيدَ فيكُم؟» قالوا: يا رسولَ اللَّهِ، مَن قُتِلَ في سبيلِ اللَّهِ فَهوَ شَهيدٌ، قالَ: «إنَّ شُهَداءَ أمَّتي إذًا لقليلٌ»، قالوا: فمَن هم يا رسولَ اللَّهِ؟ قالَ: «مَن قُتِلَ في سبيلِ اللَّهِ فَهوَ شَهيدٌ، ومن ماتَ في سبيلِ اللَّهِ فَهوَ شَهيدٌ، ومَن ماتَ في الطَّاعونِ فَهوَ شَهيدٌ، ومَن ماتَ في البَطنِ فَهوَ شَهيدٌ»، وزَادَ في روايةٍ «والغَرِقُ شهيدٌ» [صحيح مسلم].

Artinya : Rasulullah Saw berkata : “Siapakah yang terhitung syahid diantara kalian?, Mereka menjawab : "Ya Rasulullah, mereka adalah orang-orang yang terbunuh di jalan Allah", Rasulullah berkata : "Jika begitu, maka sedikit sekali umatku yang syahid. Mereka bertanya: "lalu, siapa mereka ya Rasulullah?", Rasulullah menjawab: “Barangsiapa yang meninggal di jalan Allah maka ia syahid, dan barangsiapa yang meninggal karena tha’un (wabah) maka ia syahid, dan barang siapa yang meninggal karena penyakit yang menyerang perut (seperti busung lapar dan sejenisnya) maka ia syahid”. Dalam riwayat lain ditambahkan: “Orang-orang yang mati tenggelam adalah syahid.” [Hadis Riwayat Imam Muslim dalam Kitabnya Shahih Muslim]

Lalu, apakah keistimewaan orang-orang yang mati syahid ini? Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 74, bahwa baginya pahala yang sangat besar.

Allah SWT berfirman:

فَلْيُقَاتِلْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يَشْرُوْنَ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا بِا لْاٰخِرَةِ ۗ وَمَنْ يُّقَاتِلْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَيُقْتَلْ اَوْ يَغْلِبْ فَسَوْفَ نُـؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا

Atinya: "Karena itu, hendaklah orang-orang yang menjual kehidupan dunia untuk (kehidupan) akhirat berperang di jalan Allah. Dan barang siapa berperang di jalan Allah lalu gugur atau memperoleh kemenangan, maka akan Kami berikan pahala yang besar kepadanya." (Qs. An-Nisa: 74).

Perihal sholat jenazah yang meninggal karena wabah, ada dua pendapat ulama:

Jumhur ulama Syafi’i, madzhab Hanafi, dan jumhur ulama Maliki menyebutkan bahwa jenazah tidak disholatkan karena tidak memenuhi syarat sholat jenazah, yaitu mandi atau tayammum.

Sebagian ulama Syafi’i (mutaakhirin), sebagian ulama Maliki, dan madzhab Hanbali menyatakan bahwa jenazah tetap disholatkan. Buya Yahya al-Bahjah menganjurkan pelaksanaan sholat jenazah untuk menghibur dan mengurangi kesedihan orang-orang yang ditinggalkan.

Bagaimana Tatacara Penyelenggaraan Jenazah Korban Covid-19 ini?

Dar ifta’ (Lembaga Fatwa Mesir) berfatwa : hukum asalnya jenazah dimandikan secara syar’i, dikafani, disholatkan dan dimakamkan seperti jenazah pada umumnya. Kecuali apabila jenazah terbukti secara medis tidak bisa dimandikan, atau jika dimandikan akan menularkan penyakit pada orang yang dimandikan, maka mandi diganti dengan tayamum. Jika tidak bisa ditayamumi karena khawatir akan wabah tersebut, maka gugurlah kewajiban tayammum. Tinggallah hak jenazah yang bisa dilaksanakan, yaitu dikafani, dishalatkan dan dikuburkan.

Anjuran penyelenggaraan jenazah pasien Corona yang baik dan benar sudah dicantumkan oleh Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama RI dalam protokol pengurusan jenazah pasien covid-19, sebagai berikut:

1. Pengurusan:

• Dilakukan oleh pihak rumah sakit yang telah ditetapkan oleh kementrian kesehatan.
• Jenazah ditutup dengan kain kafan berbahan plastik/tidak tembus air. Dapat juga ditutup dengan bahan kayu atau sesuatu yang tidak mudah tercemar.
• Jenazah yang sudah dibungkus tidak boleh dibuka lagi, kecuali dalam keadaan mendesak seperti autopsi dan hanya dapat dilakukan oleh petugas yang berwenang.
• Jenazah disemayamkan tidak lebih dari 4 jam.

2. Sholat jenazah:

• Dilakukan di rumah sakit rujukan atau masjid yang sudah dilakukan proses pemeriksaan sanitasi secara menyeluruh dan dilakukan disinfektasi setelah sholat dilaksanakan.
• Dilakukan sesegera mungkin, tidak lebih dari 4 jam.
• Sholat jenazah dapat dilaksanakan sekalipun oleh 1 orang. [baca juga: Dimanakah Pelaksanaan Jenazah selama Masjid ditutup?

3. Penguburan jenazah:

• Dikubur pada kedalamn 1,5 meter lalu ditutup dengan tanah setinggi 1 meter.
• Lokasi penguburan setidaknya harus berjarak 50 meter dari sumber air tanah yang digunakan untuk minum dan 500 meter dari pemukiman terdekat.
• Setelah semua prosedur dilaksanakan deengan baik, maka pihak keluarga dapat ikut serta dalam penguburan jenazah.

Wallahu A’la wa A’lam

Semoga informasi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan penulis sendiri. Serta, semoga kita semua Allah hindarkan dari wabah ini, dan dunia segera Allah pulihkan darinya. 

___________________
*Ditulis oleh: Helga Silvia Parchan, Mahasiswi Jurusan Syari'ah Islamiyyah, Fakultas Dirasat Islamiyah wal 'Arabiyyah, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.



Karantina Diri Selama Penyebaran Corona Dapat Pahala Syahid - Benarkah Orang yang Mengarantina Diri Sendiri Selama Penyebaran Virus Corona Memperoleh Pahal Syahid?

Apa sih yang bakalan kita dapatkan dengan berdiam diri di rumah selain tugas yang tak ada habis-habisnya? Terkadang sebagian kita tidak menyadari ada keuntungan besar yang menyambut libur darurat ini, tau apa? Pahala setingkat syahid ada digenggaman kita. Percaya? Yuk, simak tulisan berikut.


Hukum tetap berada di dalam rumah selama wabah mematikan ini menjangkit adalah wajib, kecuali jika benar-benar ada keperluan penting. Hal ini tidak akan sia-sia jika dilakukan dengan sabar dan ridho terhadap ketetapan Allah SWT, kenapa? Karena Allah telah menjanjikan pahala layaknya syahid, walaupun dia tidak meninggal disebabkan wabah tersebut.

Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah SAW: 

قول سيدنا رسول الله ﷺ: «لَيسَ مِنْ رَجُلٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ، فَيَمْكُث فِي بَيتِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيبُه إلَّا مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ؛ إلِّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ» أخرجه أحمد

Artinya: “tidaklah orang yang pada saat musim wabah tha’un melanda dan dia berdiam diri di rumah dengan sabar dan berharap pahala kepada Allah, meyakini bahwa dia tidak akan terkena bencana kecuali sesuai dengan apa yang telah tertulis untuknya di lauhul mahfuzh, maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang syahid” (HR Ahmad).

Sebagaimana fatwa yang dikeluarkan Pusat Fatwa Internasional Al-Azhar tentang haramnya menentang instruksi medis dan segala upaya pencegahan yang bersumber dari lembaga berwenang dan dokter, karena ini dapat mencelakai diri sendiri dan orang lain, Rasulullah SAW bersabda:

قال ﷺ: «لَا يَنْبَغِي لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يُذِلَّ نَفْسَهُ»، قَالُوا: وَكَيْفَ يُذِلُّ نَفْسَهُ؟ قَالَ: «يَتَعَرَّضُ مِنَ الْبَلاَءِ لِمَا لاَ يُطِيقُ» أخرجه الترمذي

Artinya: “Tidaklah pantas bagi seorang mukmin menghinakan dirinya”, para sahabat bertanya : “menghinakan diri sendiri bagaimana ya Rasulullah?”, beliau menanggapi: “menghadang bencana padahal dia tidak memiliki kemampuan untuk itu.” (HR Tirmidzi).

Apapun ajakan untuk berkumpul saat ini, dimanapun dan apapun alasannya merupakan perbuatan yang salah lagi haram menurut syariat. 

Islam menempatkan hifzh an-nafs (memelihara kehidupan) sebagai tujuan pertama dan utama syariat Islam itu sendiri. Sebagaimana yang telah difirmankan Allah ‘Azza wa Jalla:

وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا [المائدة:32]

Artinya: “...barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia...” (QS Al-Maidah : 32)

Tidak hanya haram menghilangkan nyawa, tetapi membuat nyawa terancam kematian saja juga haram menururt Syariat Islam, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala :

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ [البقرة :195]

Artinya: “...dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS Al-Baqarah : 195).

Siapa yang tidak mengetahui betapa serius dampak virus corona (covid-19) ini, kecepatan penyebarannya, tingkat kerusakan yang disebabkan oleh orang yang mengabaikannya serta menganggap remeh langkah antisipasi yang dihimbau oleh berbagai pihak.

Dampak yang ditimbulkan oleh virus ini telah mencapai tahap kematian -ya, tidak kematian segelintir orang saja- bukan hanya beresiko bagi mereka yang meremehkan langkah antisipasi tersebut, akan tetapi juga membahayakan keluarga dan siapapun yang berinteraksi dengannya.

Islam jelas melarang kita membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti peringatan Nabi Muhammad SAW: 

«لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ، مَنْ ضَارَّ ضَارَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ» (أخرجه الحاكم)

“tidak boleh melakukan (perbuatan) yang merusak diri sendiri dan orang lain, siapa yang berbuat kerusakan, Allah akan membuatnya sengsara. Siapa yang menyusahkan orang lain, maka Allah akan menjadikannya kesusahan”. (HR Hakim)

Dengan ini jelaslah bahwa mematuhi pemerintah dalam rangka melindungi manusia dari segala macam wabah dan penyakit wajib hukumnya secara agama maupun kenegaraan, dengan imbalan pahala orang yang syahid tidak hanya bagi yang meninggal karena wabah ini, tapi juga bagi mereka yang memutus rantai penyebaran wabah ini dengan cara mengarantina diri. Adapun bagi siapa yang melanggarnya, maka ia berdosa.

Jadi, masih ngotot keluar rumah? tidak tertarikkah kita dengan pahala syahid yang dijanjikan Allah? Yuk, patuhi dan laksanakan tindakan yang diambil oleh pemerintah kita, toh tidak merugikan diri sendiri atau orang lain, malah sangat menguntungkan. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?! Semoga kita semua selalu berada dalam lindungan Allah SWT dan terhindar dari virus mematikan ini, yang sakit segera diberi kesembuhan oleh Sang Maha Kuasa, sama-sama kita do’akan virus ini segera lenyap dari muka bumi.

____________________
*Ditulis oleh: Feby Asfilia, Mahasiswi Fakultas Ushuluddin, Fakultas Dirasat Islamiyyah, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.

Dimanakah Pelaksanaan Shalat Jenazah Selama Masjid Ditutup? - Dampak Corona

Belakangan ini, dunia sedang diuji dengan maraknya virus corona (Covid-19). Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa penularan virus ini sangat mudah dan cepat. Oleh karena itu, pemerintah menghimbau rakyatnya untuk sementara waktu agar tidak keluar rumah dan tidak berkumpul di tempat-tempat keramaian tak terkecuali tempat ibadah. Umat muslim dihimbau agar shalat di rumah mereka masing-masing. 


Lalu, dimanakah pelaksanaan shalat jenazah selama masjid ditutup?

Shalat Jenazah (Arab: صلاة الجنازة) adalah jenis shalat yang dilakukan untuk jenazah muslim, baik laki-laki maupun perempuan dan wajib dishalati oleh umat muslim yang masih hidup dengan status hukum fardhu kifayah. Hal ini berdasarkan keumuman perintah Rasulullah ﷺ untuk menyalati jenazah seorang muslim.

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, berkata:

أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يُؤتى بالرجلِ الميتِ، عليه الدين. فيسأل : هل ترك لدَينه من قضاءٍ؟ : فإن حدث أنه ترك وفاءً صلَّى عليه . وإلا قال : صلُّوا على صاحبِكم

Bahwa sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah didatangkan kepada beliau jenazah seorang lelaki. Lelaki tersebut masih memiliki hutang. Lalu beliau bertanya: “Apakah ia memiliki harta peninggalan untuk melunasi hutangnya?”. Jika ada yang menyampaikan bahwa lelaki tersebut memiliki harta peninggalan untuk melunasi hutangnya, maka nabi akan menyalatkannya. Jika tidak ada, beliau bersabda: “Shalatkanlah saudara kalian”. (HR Muslim, No: 1619)

Syariat Islam tidak mensyaratkan bahwa shalat jenazah sah apabila dilaksanakan di Masjid saja. Akan tetapi,  semua tempat di muka bumi ini sah menjadi tempat pelaksanaan ibadah ini asalkan bersih dan suci. 

Sebagaimana hadis Rasulullah ﷺ :

وَجُعِلَتْ لي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ من أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ

Artinya: ”Dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud nan suci. Maka dimana saja salah seorang dari umatku yang mendapati waktu shalat, maka shalatlah.” [H.R Bukhari (1/128) No: 328]

Bahkan, para ahli fikih secara umum melihat bahwa aturan dalam shalat jenazah ialah dilakukan di luar masjid. Sebagaimana pernyataan Imam al-Sindi tentang shalat jenazah: "Ya, Shalat jenazah lebih utama (afdhal) dilaksanakan di luar masjid berdasarkan riwayat bahwa Nabi Muhammad ﷺ lebih banyak melaksanakan shalat jenazah di luar masjid." [Haasyiyah Al-Sindi 'ala Ibn Majah (3/298)]

Apabila kedua hal tersebut (pelaksanaan shalat jenazah di dalam dan di luar masjid) boleh, maka Imam Al-Bukhari telah menuliskan bab khusus dalam kitab Shahihnya: Bab Tentang Shalat Jenazah di Tempat Shalat (selain Masjid) dan di Masjid yang menunjukkan  pelaksanaan shalat jenazah di kedua tempat tersebut dibolehkan. Sebagaimana ahli fikih lainnya yang membolehkan shalat jenazah di masjid tanpa adanya keterpaksan.

Adapun sesungguhnya, shalat jenazah sudah sah apabila hanya diikuti oleh satu makmum di belakang imam. Ini berdasarkan hadis dari Abdullah bin Abi Talhah radhiallahu ‘anhuma yang artinya: "Sesungguhnya Abu Thalhah mengundang Rasulullah ﷺ untuk menyalati jenazah ‘Umair bin Abi Thalhah ketika ia wafat, lalu Rasulullah ﷺ mendatanginya dan menyalatinya di rumah mereka, lantas beliau ﷺ maju ke depan, sedangkan Abu Thalhah di belakangnya dan Ummu Sulaim di belakang Abu Thalhah, tidak ada orang lain selain mereka.” (HR. al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabarani). Hadits ini dinyatakan shahih berdasarkan syarat Bukhori dan Muslim oleh al-Hakim dalam kitab Almustadrak 'ala Shahiihain, juga oleh al-Albani dalam kitab Ahkam al-Jana’iz.

Oleh karena itu, banyaknya penutupan masjid di berbagai negara semata-mata untuk mencegah penyebaran virus Corona (Covid 19). Dan dibolehkan untuk menyalatkan jenazah di luar masjid, di tempat terbuka, dan lainnya.

Allahu a'lam

__________________
*Ditulis oleh: Nur Fairuz Fatin, Mahasiswi Tahun 1 Ushuluddin, Fakultas Dirasat Islamiyyah wal 'Arabiyah, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.

Bantahan Terhadap Paham Ingkar Sunnah

Segala puji bagi Allah SWT yang telah menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi SAW sebagai pedoman hidup manusia, mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali sudah ada tuntunannya dalam syariat islam. Ibarat seseorang mau melakukan suatu perjalanan yang jauh, ia sudah diberikan arahan dan langkah-langkah yang harus dilalui supaya dia tidak salah arah. Dan tentu saja Alquran dan Sunnah sudah mencakup segala hal, baik permasalahan dunia maupun akhirat. Maka dengan mengikuti kedua pedoman tersebut kita tidak akan tersesat untuk selama-lamanya.

Alquran ialah pedoman utama dalam Syariat Islam dan semua umat islam meyakini bahwa Alquran adalah sumber hukum pertama dalam agama, karena ia adalah firman Allah SWT. Adapun Sunnah Nabi SAW merupakan pedoman kedua dalam Syariat Islam. Namun, tidak semua umat Islam menyakini sunnah sebagai pedoman hidup mereka, ada sebagian kecil orang Islam yang menolak Sunnah Nabi dengan berbagai alasan dan tuduhan. Oleh karena itu, penulis akan memaparkan pembahasan ini untuk menjawab berbagai tuduhan – tuduhan yang dilontarkan kepada Sunnah/Hadits Nabi SAW.


Apa itu Sunnah?

Kata Sunnah dalam bahasa arab berasal dari timbangan “fu’lah” yang bermakna maf’ul dan jamaknya ialah sunan, bisa juga bermakna thariqah dan siroh. Maka makna sunnah disini dimaknai sebagaimana yang disebutkan dalam Alqur’an:

سُنَّةَ مَن قَدۡ أَرۡسَلۡنَا قَبۡلَكَ مِن رُّسُلِنَاۖ وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحۡوِيلًا 

Artinya: "(yang demikian itu) merupakan ketetapan bagi para rasul Kami yang Kami utus sebelum engkaudapati perubahan atas ketetapan Kami." (QS. Al Israa': 77)

Adapun Sunnah secara istilah adalah perkataan Nabi Muhammad SAW, perbuatannya, sifat-sifatnya, perjalanannya serta pesan moral dari perjalanan hidup beliau (lihat; Qawaid atTahdist lil Qasamy). Sebagian ulama meringkas makna sunnah menjadi segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik itu perkataan, perbuatan, ketetapan, serta sifat-sifat beliau SAW.

Bagaimana Kedudukan Sunnah di dalam Syariat Islam?

Sebagaimana yang kita ketahui, bahwasanya sunnah adalah sumber hukum kedua di dalam Syariat Islam setelah Alqur’an. Sebagai hujah dan bukti dalam menguatkan Alquran, wajib diaplikasikan sebagai hujah bagi kaum muslimin. Adapun dalil-dalilnya:

1. Alqur’an:

Allah SWT memerintahkan pada kita taat kepada Rasulullah SAW sebagaimana taat kepada Allah SWT. Sebagimana firman Allah SWT :

من يطع الرسول فقد أطاع لله ومن تولى فما أرسلناك عليهم حفيظا

Artinya : “Barangsiapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling dari (ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. (QS An-Nisa: 80)

2. Sunnah

عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصى الله

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW berkata : “Siapa menaatiku berarti dia menaati Allah, dan siapa yang berpaling (mengingkari)ku berarti dia berpaling dari Allah.”(HR Bukhari).

3. Ijma (Konsensus Ulama)

Para mujtahid, para ulama dan sebagian besar umat islam sepakat meyakini bahwa sunnah adalah hujah/sumber hukum bagi umat islam sebagaimana Alquran. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali sebagian kecil dari kelompok seperti : Khawarij dan Syiah Rofidhah.

Imam As-syaukani berkata : “Bahwasannya telah ditetapkan sunnah sebagai hujah dan hukum syariat yang penting bagi agama islam dan tidak ada yang menyelisihinya kecuali yang membenci islam (lihat: Irsyadul Fuhul, hal:29).

4. Perkataan Para Salafus Shaleh

Diriwayatkan dari seseorang berkata kepada Imran bin Husin : “kami tidak membahas permasalahan agama kecuali merujuk pada Alquran. Lalu Imran berkata kepadanya: Sungguh sempit sekali pemikiranmu!, apakah kamu pernah menemukan permasalahan yang empat (shalat, puasa, zakat dan haji) itu secara jelas didalam Alquran?. Kemudian bagaimana dengan bilangan rakaat dalam shalat, nisab zakat dan lainnya? apakah kamu menemukan tafsirannya secara jelas?, Alquran itu masih umum (hukumnya) dan sunnah-lah yang menjelaskan hal demikian itu. (lihat: Miftahul Jannah Assuyuti, hal 39).

Hubungan antara Sunnah dengan Alqur’an

Hubungan antara Sunnah dengan Alquran dari segi kelengkapannya, keduanya bersumber dari Allah SWT, maka tidak cukup seorang muslim berpegang pada salah satunya saja. Sunnah nabawiyyah itu menguatkan setiap apa yang disampaikan di dalam Alqur’an misalnya Alqur’an memerintah sesuatu, maka didalam Sunnah juga memerintahkan hal tersebut. Sebagaimana contoh-contoh berikut :

▪ Dari Thalhah bin Ubaidillah berkata : “Seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW dari Nejad, ia adalah pimpinan kelompok pemberontak yang tidak akan mempercayai perkataan seorang pun kecuali dia mendengarnya langsung, lalu dia bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Islam, maka Rasullah SAW menjawab : sholat lima waktu sehari semalam, lalu ia bertanya lagi : “adakah yang lain?” Rasulullah SAW menjawab: “tidak ada, kecuali yang sunnah.” Lalu Rasulullah SAW menyebutkan berpuasa dibulan ramadhan, lalu bertanya lagi: “adakah yang lain?” rasulullah menjawab: tidak ada kecuali yang sunnah. Kemudian Rasulullah SAW menyebutkan membayar zakat, lalu ia bertanya lagi: “adakah yang lain?” rasulullah menjawab : tidak ada kecuali yang sunnah. Lalu pemuda itu menghadap Rasulullah SAW dan berkata: “ Demi Allah, ini tidak lebih dan tidak kurang” lalu Rasulullah SAW berkata: “sungguh beruntunglah jika dia bersedekah".

Maka sudah jelas hadits ini menguatkan firman Allah dalam Alquran:

وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة واركعوا مع الراكعين
dan
كتب عليكم الصيام

▪ Dari Uqbah bin ‘Amir berkata : bahwasanya Rasulullah saw bersabda : “seorang mukmin saudara bagi mukmin yang lainnya”

Maka jelas hadits ini menguatkan ayat Alquran yang berbunyi :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ 

Artinya: "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara,..."(QS. Al-Hujurat: 10)

Sunnah Nabawiyyah sebagai penjelas setiap perkataan umum yang ada di dalam Alquran. Misalnya : sholat, Allah SWT memerintahkan untuk sholat, akan tetapi ayatnya masih umum, tidak menjelaskan berapa kali sholat sehari semalam, lalu berapa rakaat di setiap sholat, bagaimana tata cara-nya dan sebagainya. Maka sunnah-lah yang akan menjelaskan hal demikian itu secara detail, demikian juga dengan perintah berpuasa, berzakat dan haji serta syariat-syariat Islam lainnya.

Tuduhan-Tuduhan Terhadap Sunnah

1. Syubhat pertama :

Alquran itu sudah mencakup seluruh permasalahan tanpa harus ada Sunnah. Muncul satu kelompok yang mengingkari Sunnah Rasulullah SAW dan menyatakan bahwa hanya Alquran sajalah sumber hukum syariat Islam. Munculnya kelompok ini tidaklah secara tiba-tiba, akan tetapi Nabi SAW telah mengabarkannya 1400 tahun yang lalu bahwasannya akan ada suatu kelompok yang mengingkari Nabi SAW.

Diriwayatkan dari Imam Ahmad dari musnadnya dan dari Miqdam bin Ma’di Kariba Alkindy bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: akan ada orang yang menyampaikan sebuah hadits-haditsku, lalu berkata: kita sama-sama mempunyai Alquran. Apa yang kita temui di dalam Alquran itu halal, maka kita halalkan. Dan apa yang kita temui didalamnya haram, maka kita haramkan. Sesungguhnya apa yang diharamkan oleh Rasulullah SAW itu seperti apa yang diharamkan juga oleh Allah SWT.

Awal munculnya kelompok ini pada abad ke-2 Hijriyah. Orang yang pertama kali menentang kesesatan ini adalah Imam Assyafi’i rahimahullah, beliau menulis satu bab khusus di dalam kitab “Al-Umm” mengenai bantahan-bantahan terhadap kesesatan mereka yang mengajak meninggalkan sunnah dan hanya berpegang kepada Alquran.

Adapun dalil-dalil yang mereka anggap memperkuat hujah mereka untuk mengingkari sunnah, diantaranya :

Abdullah Jakralwy berkata : “Sesungguhnya Alquran itu mencakup segalanya apa-apa yang dibutuhkan dalam agama ini secara jelas.

Sebagaimana Allah SWT berfirman :

مَّا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِن شَيْءٍ ۚ 

Artinya : “Tidak ada sesuatupun yang Kami luputkan di dalam Alquran”. (Qs. Al-An'am: 38)

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ

Artinya :“Dan kami turunkan kepadamu kitab (Alquran) yang menjelaskan segala sesuatu”. (Qs. An-Nahl: 89)

Ketika Alquran sudah mencakup segala sesuatu, mengapa kita masih membutuhkan sunnah?

Jawaban Terhadap Tudingan Tersebut

● Bahwasanya Alquranulkarim itu mencakup dasar-dasar agama dan kaedah-kaedah hukum secara umum dan menjelaskan sebagian hukum-hukum itu secara jelas. Namun, sebagian lainnya tidak didapati penjelasannya melainkan dari Sunnah Rasulullah SAW.

Allah SWT berfirman dalam Alquran :

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya :“Dan kami turunkan kepadamu adz-zikr (sunnah) untuk menjelaskan Alquran yang diturunkan kepada manusia mudah-mudahan mereka berfikir.” (Qs. An-Nahl: 44)

● Bahwasanya apa yang difirmankan Allah SWT didalam Alquran untuk menjaga kalam-Nya tak sebatas pada Alquran saja, namun maksudnya adalah Syariat Allah (Alquran) dan syariat dari Nabi yang diutusNya, yaitu kalimatnya lebih umum dibandingkan Alqur’an saja atau sunnah saja.

Adapun dalilnya seperti firman Allah SWT:

فَاسۡ‍َٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

Artinya : "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui". (Qs. An-Nahl: 43)

Tidak diragukan lagi, bahwa Allah menjaga Sunnah Nabi sebagaimana Allah menjaga Alquran Alkarim.

Diceritakan bahwa Imam Syafi’i sedang duduk di Masjidil Haram dan berkata pada jamaah “ tidak ada sesuatu pun yang kalian tanyakan kepadaku melainkan jawabannya terdapat didalam Alquran”, lalu seseorang datang dan bertanya “apakah haram hukumnya membunuh lalat?” lalu beliau menjawab “tak apa” lalu seorang laki-laki bertanya lagi “apa dalilnya ada didalam Alquran?” lalu beliau menjawab: Allah SWT berfirman ما أتاكم الرسول فخذوه (apa yang disampaikan oleh rasulmu, maka ikutilah).

2. Syubhat Kedua

Perkara-perkara di dalam sunnah bertentangan dengan isi Alquran. Mereka beranggapan bahwasannya sunnah banyak tertentangan dengan Alquran, sebagaimana mereka berpendapat bahwa adanya perselisihan antara sunnah dengan sunnah, sehingga dengan demikian alasan tersebut mereka meninggalkan Sunnah.

Bantahan terhadap tuduhan tersebut :

● Mustahil terjadinya pertentangan antara Alquran dan Sunnah sedangkan keduanya berasal dari sumber yang sama. Sesungguhnya apa yang disampaikan Nabi SAW dari Alquran dan Sunnah itu bersumber dari Allah SWT yang Maha Mengetahui yang tersurat dan yang tersirat. Apa yang diperintahkan oleh Nabi SAW itu perintahnya dari Allah SWT, dan apa yang dilarang oleh Nabi SAW itu larangan dari Allah SWT. Lalu bagaimana mungkin keduanya saling bertentangan sedangkan ia berasal dari sumber yang sama??

● Terjadinya perselisihan antara mujtahid saja bukan karena Alquran dan Sunnah. Maksudnya ialah terjadinya perbedaan pemahaman diantara para mujtahid atau ulama di sebagian nash-nash Alquran dan Sunnah. Namun sebenarnya satu pemahaman, hanya saja terlihat perbedaan antara Alquran dan Sunnah karena ilmu dan pemahaman mereka yang berbeda-beda.

● Imam Syatibi berkata didalam kitabnya “Al Muwafaqat” : “dalil-dalil didalam syariat islam ( Alquran dan Sunnah) itu tidak ada yang saling bertentangan, tidak ditemukan satupun dalam dua dalil yang umat muslim sepakat bahwa itu bertentangan, akan tetapi perbedaan itu terjadi disebabkan karena beda pemahaman saja.

Kesimpulan

Bahwasannya Alquran Karim itu telah mencakup semua dasar-dasar agama serta kaedah-kaedah hukum secara umum, sedangkan sebagian nash dijelaskan secara jelas dan sebagian nash lainnya tidak dijelaskan.

Bahwasannya tidak mungkin Allah meninggalkan Alquran itu yang dimana ada suatu permasalahan agama yang rancu atau umum tanpa menjelaskan tiap-tiap ayat itu secara detail.

Mustahil Alquran dan sunnah itu bertentangan sedangkan keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu wahyu dari Allah SWT. Jikalau adapun perselisihan antara keduanya, itu disebabkan oleh seorang mujtahid bukan karena kesalahan Alquran atau sunnah itu sendiri melainkan pemahaman mereka yang berbeda-beda. Wallahu a’lam

_________________
*Ditulis oleh : Islahul Balad, Mahasiswa Tahun 2 Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.


Corona dan Toleransi Agama Islam untuk Manusia

Hari ini, dunia digemparkan dengan virus bernama covid-19 atau lebih dikenal dengan sebutan "Corona". Virus yang telah menjadi wabah global dan mengancam keberlangsungan hidup menjadi momok ketakutan luar biasa yang dirasakan oleh umat manusia. Menyikapi virus mematikan ini memang perlu penanganan serius dari para ahli. Masyarakat duniapun harus ikut andil untuk menekan jumlah korban yang semakin hari semakin banyak. Berbagai usaha pencegahan harus dilakukan guna menghentikan penyebaran virus ini. 

Menanggapi hal ini, Jumhur Ulama di berbagai belahan dunia telah mengeluarkan fatwa yang salah satunya adalah: Peniadaan shalat jamaah di masjid dan shalat jumat bagi umat islam. Fatwa ini tentu menghasilkan pro dan kontra di tengah masyarakat awam. Hal ini tentu bisa dimaklumi karena ghirah keislaman masyarakat sedang berada pada posisi puncak-puncaknya. Dengan berbagai pendekatan edukasi pada masyarakat awam, lambat laun mereka akan mengerti dan mengiyakan seruan ulama tersebut. 


Dibalik kasus corona ini ada satu hal yang dapat kita kampanyekan pada dunia. Dengan fatwa-fatwa tadi, dunia akan tahu betapa manusiawinya agama ini.

Allah SWT berfirman:

وَ مَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِيْنِ مِنْ حَـرَجِ 

Artinya: "Dia (Allah) tidak menjadikan kesukaran bagimu dalam beragama". (QS. al-Hajj: 87)

Agama Islam bukanlah agama yang kaku. Dalam islam, kita mengenal adanya rukhshah (keringanan/toleransi) tatkala menemukan kesulitan dalam menjalankan syariat. Syariat pada dasarnya datang untuk memudahkan urusan manusia, menyelamatkan manusia dari kerusakan dan membawa manusia pada keselamatan. Hal ini tertuang dalam Maqashid Syariah (Tujuan Syariat) yang salah satunya hifzunnafsi (menjaga jiwa). Ketakutan merupakan sifat dasar yang ada pada setiap manusia. Islam sebagai agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam juga tentu tidak ingin mencelakakan pemeluknya dan orang lain. 

Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bersabda:

َلاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَار

Artinya: "Janganlah kamu mencelakakan orang lain dan mencelakakan dirimu sendiri." (HR. Ibnu Majah) 

Dengan fatwa tadi, betapa banyak jiwa yang terselamatkan dari virus yang mematikan ini? Duniapun akan membuka mata betapa manusiawinya agama islam ini. Di tengah propaganda anti islam yang digambarkan dengan kekejaman dan kekerasan, tentu kita dapat memberikan fakta tentang indahnya agama islam. Islam adalah agama yang memanusiakan manusia, mengerti dengan keadaan dan menjamin keselamatan. Namun tatkala fatwa tadi tidak dipatuhi bahkan para ulama yang telah berfatwa dicemooh, tak bisa kita bayangkan bagaimana reaksi dunia. Menertawakan perpecahan dan yang bisa saja menganggap masjid sebagai sarang virus mematikan yang kemudian menjadi senjata baru bagi mereka untuk menghancurkan islam ini. 

Sebagai seorang muslim, kita harus menyadari bahwa semua yang terjadi di alam ini merupakan kehendak Allah SWT. Segala sesuatu tak mungkin terjadi jika tidak atas izin dari Allah yang Maha Kuasa. Seluruh alam semesta ini berada pada genggamanNya dan kita hanya bisa berpasrah pada apa yang ditakdirkanNya. Namun, sebagai muslim yang mengamalkan ajaran agama sesuai tuntutan Rasulullah SAW tidak semestinya kita meninggalkan usaha. Melakukan pencegahan merupakan salah satu usaha untuk meminimalisir penyebaran virus yang mematikan ini. Setelah semua usaha dilakukan maka tugas kita selanjutnya adalah berdoa dan menyerahkan hasil usaha kita pada Allah SWT. 

Wabah corona harusnya menjadi bukti betapa lemahnya kita manusia. Dengan wabah ini, harusnya hubungan manusia dengan Tuhannya semakin mesra. Mendekatkan diri sembari meminta perlindungan pada Zat yang Maha Kuasa. Beruntunglah kita sebagai muslim yang diberikan kelapangan dalam beragama. Kita bisa beribadah dimanapun berada dan tak hanya terbatas di masjid saja. 

Rasulullah SAW bersabda:

َالأَرْضٌ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ المَقْبَرَةَ وَ الحَمَّام

ِArtinya: "Seluruh bumi adalah masjid kecuali kuburan dan kamar mandi". (HR Tarmizi)

Beribadah di masjid memang sangat dianjurkan, namun ada kondisi yang bahkan memakruhkan seseorang untuk beribadah di rumah Allah tersebut. Islam memberikan kemudahan bagi pemeluknya untuk tetap menjalankan syariat dengan menjadikan seluruh bumi tempat beribadah kepada Allah SWT. 

Mari bersama-sama kita bedoa agar virus ini dapat segera teratasi dan vaksin antivirusnya segera ditemukan. Semoga, kita semua diberi perlindungan oleh Allah SWT, Allahumma Aamiin.


__________________
*ditulis oleh Fikran Aulia Afsya, Mahasiswa Tingkat 2 Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir.

Hukum Praktek Bayi Tabung dalam Islam - Permasalahan Fikih Kontemporer

Buah hati tentu menjadi dambaan bagi setiap pasangan suami-istri setelah melangsungkan pernikahan yang sah. Akan tetapi, kadang terdapat suatu keadaan yang menghalangi istri untuk menghasilkan seorang anak. Boleh jadi, hal yang menghalangi tersebut terdapat pada suami ataupun istri. Maka dari itu, mereka akan berupaya untuk mendapatkan buah hati walau dengan cara (maaf) yang tidak normal. Salah satunya dengan cara bayi tabung yang prosesnya tidak banyak diketahui oleh banyak orang.

Mungkin beberapa dari kita masih ada yang merasa asing mendengar istilah bayi tabung, atau pernah mendengar hal tersebut tapi tidak mengetahui proses atau hal yang terjadi dalam praktek tersebut. Karena, jarang sekali masyarakat umum mau mengambil praktek tersebut sebagai bentuk usaha mereka untuk mendapatkan anak. Hal ini yang membuat praktek ini tidak terlalu dikenal dalam masyarakat yang mana umumnya masyarakat memiliki anak dengan cara normal. Praktek ini juga jarang dilakukan oleh khalayak umum karena biaya yang cukup mahal serta praktek yang tidak bisa dilakukan di rumah sakit biasa saja.

Dalam Islam, Allah SWT telah mengatur semua urusan manusia dalam berbagai aspek kehidupan tanpa terkecuali sedikit pun. Dari bangun tidur hingga manusia kembali tidur, semua telah tercantum dalam Alquran dan Sunnah Nabi SAW. Akan tetapi, arus zaman yang begitu cepat dan lajunya perkembangan peradaban manusia memunculkan berbagai permasalahan yang kadang hukumnya belum ditetapkan secara langsung dalam Islam. Maka dari itu, dibutuhkan ijtihad dari berbagai ulama dalam menetapkan hukum permasalahan tersebut, supaya tidak mendatangkan kerancuan di kalangan awam mengenai halal atau haramnya suatu perkara tersebut.

Adapun permasalahan bayi tabung, hukumnya belum diketahui secara langsung, karena tidak adanya nash yang termaktub dari Alquran dan Sunnah mengenai hukum dari perkara tersebut. Oleh karena itu, penulis akan membahas beberapa pembahasan ringkas tentang bayi tabung, proses terjadinya dan hukum dari praktek tersebut dalam perspektif Islam. Agar hilang kerancuan dan keraguan pada kalangan masyarakat tentang hukum boleh atau haramnya perbuatan tersebut. Sehingga apabila praktek bayi tabung ini dibolehkan, bisa menjadi solusi bagi pasangan yang sedang menginginkan seorang buah hati. Akan tetapi, apabila hal ini diharamkan dalam syariat karena adanya mudharat yang lebih besar daripada manfaat yang akan diperoleh , maka ini menjadi bentuk penghindaran dan pencegahan dari perbuatan tersebut.


Apa itu Bayi Tabung?

Pembahasan mengenai bayi tabung merupakan pembahasan mengenai pembuahan yang dilakukan dengan bantuan medis, atau disebut juga dengan pembuahan buatan. Proses ini bertujuan terjadinya pembuahan antara sel sperma dan sel telur tanpa melakukan hubungan seksual secara normal, baik itu dilakukan di dalam ataupun di luar tubuh perempuan.

Pembuahan dengan mengambil sel sperma yang kemudian diletakkan ke dalam organ kelamin perempuan dinamakan dengan pembuahan didalam. Adapun pembuahan dengan mengambil sel sperma dan sel telur kemudian memasukkannya ke dalam suatu wadah lalu diletakkan kembali ke rahim dinamakan dengan pembuahan diluar.

Akan tetapi, praktek ini mesti memenuhi syarat dan ketentuan tertentu, yaitu:
 Praktek ini hanya dilakukan antara suami-istri yang sah.
 Tujuannya adalah sebagai bentuk pengobatan bagi suami atau istri yang memiliki penyakit yang menghalangi terjadinya pembuahan secara normal seperti penyakit kesuburan.
 Praktek ini mesti dilakukan sesuai dengan prosedur resmi yang ditetapkan oleh Badan Kedokteran  Internasional.
 Tidak bertujuan untuk memperbaiki keturunan yang akan mengakibatkan pencampuran nasab.

Sebagaimana yang telah disebutkan di awal, pembuahan yang dibantu dengan medis ini dibagi menjadi dua macam, yaitu :
a) Pembuahan yang dilakukan di dalam tubuh perempuan, dinamakan dengan pembuahan buatan di dalam ( التلقيح الصناعي الداخلي).
b) Pembuahan yang dilakukan di luar tubuh perempuan, dinamakan dengan pembuahan buatan di luar (التلقيح الصناعي الخارجي). Proses ini juga dinamakan dengan proses bayi tabung.

Mari kita bahas kedua macam pembuahan ini satu per-satu beserta hukum dari masing-masing proses pembuahan tersebut:

Bagaimana Proses Terjadinya Bayi Tabung?

1. Pembuahan Buatan di Dalam (الداخلي)

Pembuahan buatan di dalam, terjadi apabila pembuahan sel sperma dan sel telur bertemu di organ kelamin perempuan. Pembuahan ini memiliki berbagai macam bentuk, terkadang terjadi antara suami dan istri saja dan terkadang pula terjadi di luar hubungan pernikahan. Masing-masing dari gambaran tersebut memiliki hukum yang berbeda. Berikut rinciannya:

a) Pembuahan yang Terjadi antara Suami dan Istri

Apabila pembuahan terjadi antara hubungan suami-istri yang sah dengan tujuan pengobatan, yang disebabkan karena adanya hal yang membuat pasangan tersebut terhalang untuk memiliki seorang bayi, maka hukumnya boleh menurut ulama, karena sel sperma diperoleh dari laki-laki yang memiliki hubungan pernikahan yang sah dengannya.

Maka dari itu, apabila nanti istri telah melahirkan seorang anak, maka nasabnya akan dinisbahkan kepada ayahnya yaitu sang suami sebagaimana proses pembuahan melalui hubungan seksual secara normal.

Jika pembuahan tersebut memiliki tujuan lain seperti memilih jenis kelamin bayi, maka praktek ini akan menyebabkan ketidak-seimbangan antara kelamin laki-laki dan perempuan karena pada umumnya suami-istri akan cenderung untuk melahirkan seorang anak laki-laki dibanding anak perempuan. Tentu hal tersebut menyebabkan kemudaratan yang lebih banyak daripada manfaat bayi tabung itu sendiri.

b) Pembuahan antara Sel Telur Istri dan Sel Sperma yang Bukan dari Suaminya

Pembuahan ini terjadi apabila sang suami mengalami kemandulan pada sel spermanya, karena sel sperma suami tak memungkinkan untuk melakukan pembuahan terhadap sel telur dari istrinya baik secara normal maupun secara buatan dan tidak pula bisa diobati. Pada keadaan ini, suami dan istri pergi ke suatu bank yang menampung berbagai macam sperma untuk membeli sel sperma tersebut atau boleh jadi ada seseorang yang memberikan sel spermanya kepada suami-istri tersebut. Kemudian dilakukanlah pembuahan dengan sel sperma yang berasal dari orang ketiga.

Maka hokum praktek jenis ini haram dan tidak boleh dilakukan menurut kesepakatan ulama, karena sel sperma diperoleh dari orang asing yang tidak memiliki hubungan pernikahan dengan sang istri. Apabila istri melahirkan seorang bayi, maka nasabnya tidak bisa dinisbahkan kepada suaminya karena sel sperma tidak berasal dari suami melainkan dari orang asing yang tak jelas asal-usulnya. Proses pembuahan ini juga akan mengakibatkan pencampuran nasab yang sama seperti nikah istibdha’.[1]

c) Pembuahan yang Terjadi di Luar Hubungan Pernikahan

Pada bagian ini, perempuan melakukan pembuahan dengan sel sperma yang bukan berasal dari hubungan pernikahan yang sah. Seperti, perempuan pergi ke Bank Sperma untuk membeli sel sperma kemudian melakukan pembuahan dengan sel sperma tersebut. Hal ini sudah banyak terjadi di negara-negara Eropa yang mana mereka menjual berbagai macam sel sperma yang berasal dari orang-orang hebat, jenius, terkenal, dll.

Inti permasalahan pembuahan jenis ini sama dengan seperti nikah istibda’, yang mana perempuan melakukan pembuahan dengan tujuan memperbaiki keturunan. Hukumnya haram secara mutlak karena adanya hadist Nabi SAW yang menjelaskan pengharaman hal tersebut. Apabila perempuan tersebut melahirkan seorang anak, maka anak yang dilahirkan tidak dinasabkan kepada pemilik sel sperma, akan tetapi hanya kepada si perempuan. Serupa dengan anak hasil zina.

d) Pembuahan yang Terjadi antara Sel Telur dari Orang Luar yang Diletakkan ke Rahim Istri.

Pembuahan ini terjadi apabila ovarium[2] istri mengalami suatu penyakit yang menyebabkan istri tidak bisa menghasilkan sel telur. Akan tetapi, rahimnya sehat dan mampu untuk melakukan pembuahan. Adapun suami memiliki sel sperma yang sehat dan mampu untuk melakukan pembuahan. Maka pada masalah ini, sel sperma diambil dari suami lalu dilakukan pembuahan dengan sel telur yang bukan berasal dari istri yaitu orang ketiga yang memiliki sel telur yang sehat untuk dibuahi. Kemudian setelah terjadi pembuahan, dokter akan mengangkat hasil pembuahan dari rahim orang ketiga tadi, lalu diletakkan ke dalam rahim istri yang rahimnya mampu untuk menerima hasil pembuahan.

Maka pada gambaran ini, ulama meng-haram-kan perbuatan tersebut, sebab pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma suami dan sel telur orang lain yang tidak memiliki hubungan pernikahan antara mereka berdua. Adapun anak yang dihasilkan dari pembuahan tersebut, nasabnya tidak dinisbahkan kepada suami karena ia disamakan dengan anak hasil zina. Nasabnya akan dinisbahkan kepada ibu yang mengandung dan melahirkannya.

2. Pembuahan Buatan di Luar (الخارجي)


Pembuahan buatan di luar terjadi apabila pembuahan sel sperma dan sel telur terjadi di luar organ kelamin perempuan. Proses pembuahan yang terjadi diluar ini, juga dinamakan dengan bayi tabung. Pada proses ini, sel sperma dan sel telur yang telah diambil, diletakkan dalam sebuah wadah lalu dilakukan pembuahan disana. Kemudian setelah melalui beberapa fase, hasil pembuahan diletakkan kembali ke dalam rahim perempuan untuk dilangsungkannya perkembangan janin. Pembuahan ini juga memiliki berbagai macam bentuk. Berikut berbagai bentuk gambaran pembuahan buatan di luar beserta hukumnya:

a) Pembuahan yang terjadi antara sel telur istri dan sel sperma suami, kemudian diletakkan kembali ke rahim istri.

Pembuahan ini terjadi apabila rahim dan ovarium istri sehat, tetapi ada suatu penyakit yang menghalangi terjadinya pembuahan secara normal ataupun pembuahan di dalam, baik penyakit itu terjadi di tuba fallopi, vagina atau leher rahim atau boleh jadi adanya masalah pada sel sperma suami.

Pada proses ini, karena tidak adanya hubungan dengan orang ketiga. Maka hukumnya boleh sebagai bentuk pengobatan disebabkan sulitnya terjadi pembuahan di antara pasangan suami-istri . Tatkala proses ini menghasilkan seorang anak, maka anak ini merupakan anak biologis yang sah dari pasangan suami istri tersebut karena sel sperma dan sel telur diambil dari keduanya. Proses ini sama seperti anak yang dihasilkan dari hubungan seksual secara normal.

b) Pembuahan yang terjadi antara sel telur orang lain dengan sel sperma suami atau sebaliknya, kemudian diletakkan ke rahim istri.

Gambaran praktek pembuahan ini, apabila istri tidak memiliki ovarium atau dia memilikinya tetapi terdapat penyakit di ovarium tersebut yang menghambatnya untuk menghasilkan sel telur adapun rahim dan organ kelaminnya sehat. Sedangkan sel sperma suami sehat dan mampu untuk melakukan pembuahan. Dalam keadaan ini, istri membeli sel telur dari orang asing agar dilakukannya pembuahan terhadap sel sperma suami. Lalu, pembuahan yang dihasilkan diletakkan ke rahim istri.

Dalam hal ini, tentu saja pembuahan ini tidak boleh dilakukan, karena pembuahan tersebut melibatkan sel telur orang asing yang tidak memiliki hubungan pernikahan dari pasangan tersebut. Adapun anak yang dihasilkan, bukan anak biologis dari keduanya karena dianggap seperti anak zina. Maka, jika hal seperti ini terjadi nasabnya tidak bisa dinisbahkan kepada suami, tetapi hanya pada istri disebabkan adanya pencampuran nasab.

c) Pembuahan yang terjadi antara sel telur perempuan lain dengan sel sperma laki-laki lain, kemudian diletakkan ke rahim perempuan lain pula.

Pembuahan ini terjadi antara tiga orang yang tidak memiliki hubungan apapun, baik pemilik sel sperma, pemilik sel telur ataupun pemilik rahim. Digambarkan apabila pasangan suami istri keduanya mengalami kemandulan, lalu pasangan tersebut membeli sel sperma dan sel telur dari orang lain untuk dilakukan pembuahan dan meletakkan hasil pembuahan ke perempuan lain. Kemudian anak yang dihasilkan dari pembuahan tersebut dinisbahkan kepada pasangan suami-istri yang mengalami kemandulan.

Hukumnya sudah jelas haram untuk dilakukan, karena adanya keterlibatan sel sperma dan sel telur orang lain yang tidak memiliki hubungan apapun dengan keduanya.

d) Pembuahan yang terjadi antara sel telur istri dengan sel sperma suami yang telah wafat, kemudian diletakkan ke rahim istri.

Pembuahan ini terjadi apabila mantan suami memiliki cadangan sel sperma di bank sperma, atau suami-istri ini memiliki hasil pembuahan atau janin dari mereka berdua disana. Akan tetapi, setelah wafatnnya suami, istri mengambil cadangan sel sperma mantan suaminya atau hasil pembuahan mereka berdua berupa janin yang ada di bank sperma atau bank janin dan menanamkannya kedalam rahimnya.

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Menurut Imam Syafi'i, anak yang dihasilkan dari pembuahan tersebut nasabnya bersambung kepada ayahnya yang telah wafat dan mendapatkan warisan dari ayahnya karena Ulama Syafi'iyyah berpandangan adanya wujud mani maka dianggap telah memiliki keberadaan walaupun pemilik mani telah wafat karena mani merupakan asal-mula adanya janin. Akan tetapi, menurut Jumhur Ulama pembuahan ini tidak boleh dilakukan karena telah berakhirnya hubungan suami-istri antara keduanya dengan kematian. Asal-mula terwujudnya janin bukan terjadi dari mani saja, tetapi membutuhkan sel telur juga. Adapun untuk permasalahan nasab, ulama bertawaquf dalam masalah ini disebabkan adanya dua  kemungkinan bisa dinasabkan atau tidak bisa dinasabkan.

Kesimpulan

Setiap pasangan suami-istri pasti mengharapkan kehadiran sang buah hati dalam kehidupan rumah tangga mareka yang kehadirannya dapat menghiasi rumah tangga tersebut dan menjadi generasi penerus dari keluaraga tersebut. Akan tetapi, terkadang didapati suatu masalah yang memang tidak diinginkan dari setiap pasangan suami istri yaitu terhalangnya mereka untuk mendapatkan seorang bayi melalui hubungan seksual secara normal. Hal itu bisa disebabkan suatu penyakit berupa kemandulan, penyakit pada kelamin, dll. Tentu masalah ini menjadi masalah serius yang mesti mendapatkan jalan keluarnya.

Maka dari itu, ada pasangan suami-istri yang mengadopsi anak dan adapula yang menempuh cara lain seperti pembuahan buatan. Pembuahan buatan ini memiliki berbagai macam bentuk dan hukum tergantung pada siapa pembuahan itu dilakukan. Di sisi lain, adapula pasangan suami-istri yang menerima dengan ikhlas takdir tersebut sebagai ujian kehidupan bagi mereka berdua.

Terlepas dari semua itu, Allah SWT-lah yang berkehendak atas segala sesuatu. Boleh jadi, Allah Ta’ala mengaruniai suatu pasangan memiliki anak dan boleh jadi sebaliknya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Asy-Syura ayat 49-50:

لِلَّهِ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ يَهَبُ لِمَن يَشَآءُ إِنَٰثٗا وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ ٱلذُّكُورَ ٤٩ أَوۡ يُزَوِّجُهُمۡ ذُكۡرَانٗا وَإِنَٰثٗاۖ وَيَجۡعَلُ مَن يَشَآءُ عَقِيمًاۚ إِنَّهُۥ عَلِيمٞ قَدِيرٞ ٥٠

Artinya : “milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. (49) atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan mandul bagi siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”(50)

Oleh karena itu, kita hendaknya selalu mensyukuri apa-apa yang telah Allah Ta’ala anugerahkan kepada kita. Karena, boleh jadi apa yang Allah berikan kepada kita itu merupakan apa yang diinginkan oleh orang lain.

Keterangan:
[1] Nikah Istibdha’ merupakan pernikahan yang mana si suami menyuruh istrinya untuk ditiduri oleh orang tertentu dari kalangan pemimpin dan pembesar supaya melahirkan anak seperti pembesar tersebut.
[2] Ovarium, yaitu tempat dihasilkannya sel telur yang merupakan sel kelamin perempuan.


_________________
*Ditulis oleh : Aqilla Annaufal, Mahasiswa Jurusan Syariah Islamiyyah, Fakultas Syari'ah wal Qonun, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.