Hukum Seputar Hadits Dhaif - Pada tulisan kali ini kita akan coba membahas beberapa hal yang sering ditanyakan tentang hadist dhaif, apakah itu hukum meriwayatkannya atau hukum mengamalkannya.

Definisi Hadits Dhaif (Lemah): 

Menurut Imam Al-Baiquni: "Setiap hadis yang tingkatannya berada dibawah hadits hasan (tidak memenuhi syarat sebagai hadis shahih maupun hasan) maka disebut hadits dho'if dan hadis (seperti) ini banyak sekali ragamnya."


Sebab Lemahnya Suatu Hadits:

Suatu hadits dikategorikan lemah disebabkan oleh:
  • Terputusnya rantai periwayatan (sanad)
  • Adanya kelemahan/cacat pada seorang atau beberapa orang penyampai riwayat (perawi) hadis tersebut.
Hukum Meriwayatkan Hadis Dhaif

Ulama sepakat akan bolehnya meriwayatkan hadis dhaif dan menukilkannya dalam buku dan tulisan. Para ulama berdalil dengan adanya kita temukan hadis-hadis dhaif dalam seluruh kitab hadis selain shahihain, bahkan dalam kitab-kitab yang harusnya hanya berisi hadis shahih saja seperti Shahih ibn Khuzaimah, Shahih ibn Hibban, Mustadrak al-Hakim, dll.

Apakah boleh meriwayatkan hadis dhaif secara mutlak?

Meriwayatkannya diperbolehkan secara mutlak jika menyertakan keterangan bahwa hadis tersebut adalah hadis dhaif atau menyertakan sanadnya dengan jelas.

Adapun kebolehan meriwayatkannya tanpa menyebutkan sanad hanya berlaku jika menggunakan sighat tamridh (tidak pasti/tidak langsung), seperti:

 روي عنه كذا أو بلغنا عنه كذا أو ورد عنه كذا أو نقل عنه كذا

maka tidak diperbolehkan menggunakan shigat jazm (pasti), seperti :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم كذا

Adapun meriwayatkannya tanpa menyertakan keterangan bahwa hadis tersebut dhaif diperbolehkan jika memenuhi syarat berikut :

1. Hadis tersebut berisi tentang fadhilah amal atau sejenisnya.
2. Bukan hadis yang sangat dhaif. Oleh karena itu tidak boleh meriwayatkan hadis maudhu’ (palsu) dan matruk (hadits yang pada sanadnya ada perawi yang dicurigai berbohong).
3. Hadis tersebut bermuara pada hadis yang memiliki dasar (sanad). Dengan demikian, tidak boleh meriwayatkan hadis yang dibuat-buat (palsu) karena tidak memiliki dasar (sanad).
4. Tidak meyakinihadis tersebut pasti bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, melainkan sebagai kehati-hatian.

Akan tetapi sebagian ulama berpandangan wajib hukumnya menyertakan keterangan bahwa hadis dhaif, bagaimanapun keadaannya baik hadis tersebut membicarakan hukum syar’i maupun fadhilah amal, karena hal itu dapat membuat orang mengira bahwa hadis tersebut adalah hadis shahih, apalagi jika perawinya seorang ulama hadis yang mana pendapatnya menjadi rujukan dalam permasalahan yang terkait.

Imam Ahmad bin Hanbal, Abdurrahman bin Mahdi dan Abdullah ibn al-Mubarak memiliki pandangan: jika meriwayatkan hadis tentang halal dan haram, maka mereka akan bersikap tegas. Adapun pada fadhilah amal, mereka memberi sedikit kelonggaran.

Hukum Beramal dengan Hadis Dhaif

Ulama berbeda pendapat mengenai hukum mengamalkannya dalam tiga pendapat, yaitu:

Pendapat Pertama: Qadhi Abu Bakr ibn Arabi menyatakan tidak boleh beramal dengan hadis dhaif secara mutlak, baik itu pada fadhilah amal maupun hukum syar’i.

Pendapat Kedua: Imam Abu Daud dan imam Ahmad berpendapat boleh mengamalkannya secara mutlak.

Pendapat Ketiga: Pendapat terakhir menyampaikan boleh beramal dengannya pada fadhilah amal, nasehat, kisah, dll selama tidak berkaitandengan akidah dan hukum syar’i. Inilah pendapat yang mu’tamad menurut para muhaqqiq (Peneliti Hadits).

Para ulama juga berbeda pendapat apakah hadis dhaif boleh diterima atau tidak, sebagian berpendapat bahwa hadis dhaif diterima secara mutlak, sebagian yang lain berpendapat bahwa diterima jika hadis tersebut memiliki sanad atau bermuara pada hadis yang berifat umum.

Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam kitab beliau al-Azkar : “para ulama dari kalangan Muhaddisin (Ulama Hadits) dan Fuqaha (Ulama Fiqih) berpendapat bahwa boleh mengamalkan hadis dhaif yang berisi fadhilah amal dan targhib selama bukan hadis maudhu’ (palsu). Adapun yang berisi hukum syar’i seperti halal  dan haram, jual-beli, nikah, talak dll maka hanya boleh diamalkan dengan hadis shahih atau hasan saja, kecuali untuk kehati-hatian terhadap suatu permasalahan dalam hal-hal tadi, seperti jika ada hadis dhaif tentang makruhnya sebagian jual beli dan pernikahan maka saat itu mustahab (dianjurkan) hukumnya tidak mengamalkan hadis itu, akan tetapi tidak sampai kepada level wajib”.

Al-Hafizh ibn Hajar memaparkan syarat bolehnya beramal dengan hadis dhaif sama dengan syarat meriwayatkan hadis dhaif tanpa menyertakan keterangan status kedhaifan hadis tersebut- yaitu :

1. Hadis tersebut berisi tentang fadhilah amal atau lainnya sebagaimana telah kita jelaskan sebelumnya.
2. Bukan hadis yang sangat dhaif. Oleh karena itu tidak boleh mengamalkan hadis maudhu’ dan matruk.
3. Hadis tersebut bermuara pada hadis yang memiliki dasar (sanad). Dengan demikian, tidak boleh mengamalkan hadis yang dibuat-buat karena tidak memiliki dasar (sanad).
4. Tidak meyakini hadis tersebut pasti bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, melainkan sebagai kehati-hatian.

Referensi:

• Tadrib ar-Rawi, al-Hafizh Jalaluddin Suyuthi.
• Al-Ba’is al-Hatsits,Ahmad Muhammad Syakir.
• Imdad al-Mugits, doktor Luqman Hakim.

Demikianlah sedikit gambaran hukum seputar meriwayatkan dan mengamalkan hadits dhaif, Wallahu A’lam. Semoga bermanfaat.

__________________

*ditulis oleh Feby Asfilia, Mahasiswi Jurusan Ushuluddin Fakultas Dirosat Islamiyah wal Arabiyah Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Share To:

FS Almakki

Post A Comment:

0 comments so far,add yours