Bagaimana Cara Shalat Para Medis Covid-19?
Tim Medis Covid-19 merupakan garda terdepan dalam menghadapi serangan virus Corona atau Covid-19. Sebagai tim medis, dokter dan perawat pasien Covid-19 dilengkapi dengan Alat Pelindung Diri (APD) atau lebih dikenal dengan Baju Hazmat. Baju ini apabila sudah dipasang, tidak dibuka lagi selama 8 sampai 10 jam. Bahkan, untuk minum saja mereka (tim medis) tidak berani membukanya. Sebab, jika terbuka sedikit saja khawatir semua bagian tubuh yang sudah ditutupi baju hazmat dapat tertular dan menyebarkan virus corona yang sedang ditangani. Di samping itu, harga baju ini lumayan mahal, persediaan baju ini juga sangat terbatas dan hanya dapat dipakai untuk satu kali penggunaan saja. Setelah dibuka, baju tidak boleh dipakai lagi dan segera disimpan di kantung infeksius.
Dengan keadaan seperti ini, akan muncul pertanyaan : bagaimana pelaksanaan ibadah shalat lima waktu bagi para medis; perawat dan dokter pasien covid-19 yang menggunakan APD atau Baju Hazmat? Sebab APD tak dapat dibuka selama 8 atau 10 jam, sehingga pemakai APD tidak bisa bersuci dengan berwudhu atau tayamum karena tuntutan tugas kerja mereka harus cepat dan dalam waktu yang lama.
Syariat Islam pada prinsipnya memudahkan bukan menyulitkan, sebagaimana firman Allah SWT:
يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu". (Qs. Al Baqarah: 185)
يُرِيدُ اللهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
Artinya: "Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan bersifat lemah". (Qs. An Nisa: 28)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ
Artinya: "Dan Dia (Allah) tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam beragama". (Qs. Al Hajj: 78)
Oleh karenanya, ada dua cara bagi para medis dan perawat pasien covid-19 agar tetap dapat melaksanakan shalat wajib saat merawat dan mengobati pasien:
1. Jadwal merawat dan mengobati dijadwalkan sesuai dengan waktu shalat. Umpamanya, mulai bekerja jam 06.00 sampai jam 14.00 sehingga ia dapat melaksanakan shalat pada waktunya. Atau bagi yang waktu tugasnya mepet dengan waktu shalat maka bisa melakukan jama’ (menggabungkan shalat yang bisa digabung karena sebab dan syarat tertentu; seperti menggabung shalat zhuhur dengan ashar, bisa dilaksanakan pada waktu zahur (jama' taqdim) atau dilaksanakan pada waktu ashar (jama' ta'khir), atau menggabung shalat maghrib dengan isya, bisa dilaksanakan pada waktu magrib (jama' taqdim) atau dilaksanakan pada waktu isya (jama' takhir).
Dengan catatan:
- Niat Jama' dilakukan pada waktu shalat yang pertama kalau Jama' Ta'khir. Contoh: seorang perawat ingin men-jama' ta'khir shalat zhuhur dan ashar. Ketika waktu shalat zhuhur masuk, maka perawat tersebut sudah memasang niat jama ta'khir walaupun shalat zhuhurnya akan dilaksanakan nanti di waktu Ashar.
Jika Jama' Taqdim, maka niatnya dilakukan ketika memulai shalat pertama. Contoh: seorang perawat ingin men-jama' taqdim shalat zhuhur dan ashar. Maka, niat jama' taqdim dilakukan ketika memulai shalat zhuhur (shalat yang pertama dilakukan). Setelah selesai shalat zhuhur, perawat langsung melanjutkan dengan shalat ashar.
- Menjama' (menggabung) sholat disini bukan meng-qashar (meringkas), jadi setiap sholat yang di jama' jumlah rakaatnya tetap sama seperti biasa.
Dengan catatan:
- Niat Jama' dilakukan pada waktu shalat yang pertama kalau Jama' Ta'khir. Contoh: seorang perawat ingin men-jama' ta'khir shalat zhuhur dan ashar. Ketika waktu shalat zhuhur masuk, maka perawat tersebut sudah memasang niat jama ta'khir walaupun shalat zhuhurnya akan dilaksanakan nanti di waktu Ashar.
Jika Jama' Taqdim, maka niatnya dilakukan ketika memulai shalat pertama. Contoh: seorang perawat ingin men-jama' taqdim shalat zhuhur dan ashar. Maka, niat jama' taqdim dilakukan ketika memulai shalat zhuhur (shalat yang pertama dilakukan). Setelah selesai shalat zhuhur, perawat langsung melanjutkan dengan shalat ashar.
- Menjama' (menggabung) sholat disini bukan meng-qashar (meringkas), jadi setiap sholat yang di jama' jumlah rakaatnya tetap sama seperti biasa.
Dar Al ifta Al Mishriyah (Lembaga Fatwa Mesir) menyatakan bahwa mengobati pasien merupakan bagian dari uzur yang membolehkan untuk menjama' (menggabung) shalat [1].
2. Jika tidak memungkinkan melaksanakan shalat pada waktunya dan juga tidak bisa men-jama’ shalat, maka para medis bisa dikategorikan Faqid At-Thahurain orang yang tidak bisa bersuci; yaitu tidak bisa wudhu’ dan tayamum.
Prof. Dr. Wahbah Zuhaily menjelaskan dalam kitabnya Alfiqhu Al Islaamy wa Adillatuhu [2] :
فاقد الطهورين: هو فاقد الماء والتراب، كأن حبس في مكان ليس فيه واحد منهما، أو في موضع نجس لا يمكنه إخراج تراب مطهر. أو كأن وجد ما هو محتاج إليه لنحو عطش، أو وجد ترابا نديا ولم يقدر على تجفيفه بنحو نار. ومثله المصلوب وراكب سفينة لا يصل إلى الماء. ومثله: من عجز عن الوضوء والتيمم معا بمرض ونحوه، كمن كان به قروح لا يستطيع معها مس البشرة بوضوء ولا تيمم.
Faqid At-thohurain itu adalah orang yang tidak mendapati air dan debu (tanah), seperti orang yang dikurung di suatu tempat yang tidak terdapat padanya salah satu dari dua hal itu (air dan debu), atau di tempat yang bernajis yang tidak memungkinkannya untuk mengeluarkan debu yang dapat mensucikan, atau dia mendapati sesuatu (hewan) yang lebih memerlukan air karena haus, atau dia mendapatkan tanah yang lembab tapi tidak mampu untuk mengeringkannya seperti dengan menggunakan api, dan seperti itu juga orang yang disalib dan orang yang sedang berada di kapal dan tidak bisa mendapatkan air, dan seperti itu juga siapa yang tidak mampu untuk berwudhu dan bertayamum karena suatu penyakit atau hal lain, seperti orang yang memiliki luka yang tidak bisa terkena air wudhu atau debu tayamum.
Adapun hukum shalat orang yang masuk kategori Faqid Aththohurain ini, Ulama terbagi kepada dua pendapat:
1. Menurut Jumhur Ulama (Hanafiyah, Syafi'iyah, Hanabilah): Dia wajib melaksanakan shalat pada waktunya. Akan tetapi, ia mesti mengulangi sholatnya (ketika bisa berwudhu atau bertayamum) menurut Hanafiyah dan Syafi'iyah. Sedangkan menurut Hanabilah, dia tidak perlu mengulangi shalatnya atau shalat yang dilaksanakan tanpa wudhu dan tayamum pada waktunya sudah cukup.
2. Menurut pendapat yang mu'tamad dalam Mazhab Malikiyah kewajiban sholatnya gugur.
1. Menurut Jumhur Ulama (Hanafiyah, Syafi'iyah, Hanabilah): Dia wajib melaksanakan shalat pada waktunya. Akan tetapi, ia mesti mengulangi sholatnya (ketika bisa berwudhu atau bertayamum) menurut Hanafiyah dan Syafi'iyah. Sedangkan menurut Hanabilah, dia tidak perlu mengulangi shalatnya atau shalat yang dilaksanakan tanpa wudhu dan tayamum pada waktunya sudah cukup.
2. Menurut pendapat yang mu'tamad dalam Mazhab Malikiyah kewajiban sholatnya gugur.
Adapun rincian cara shalat bagi Faqidu Aththahurain menurut empat mazhab fiqih sebagai berikut:
Mazhab Hanafi: Orang yang tidak bisa wudhu dan tidak bisa tayamum (Faqidu Aththahurain) maka dapat melakukan shalat dengan gerakan shalat tapi tidak perlu membaca Alfatihah dan bacaan lainnya. Namun setelah memungkinkan maka ia mengganti shalatnya secara sempurna (meng-qadha shalat).
Mazhab Maliki: Bagi Faqidu Aththahurain tidak wajib baginya shalat dan tidak wajib qhada. Cukup menunjukkan ketundukan kepada Syariat Allah dalam hati.
Mazhab Syafi’iy: Bagi Faqidu Aththahurain ia wajib shalat seperti apa keadaannya, sempurna semua rukun shalat untuk menghormati waktu (lihurmatil waqti) dan setelah memungkinkan shalat secara sempurna maka ia wajib mengulangi shalatnya (qadha shalat) secara sempurna pula. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Prof. Dr. Wahbah Zuhaily.
Mazhab Hanbali: Bagi Faqidu Aththahurain, hendaklah ia shalat sebagaimana mestinya meskipun tidak berwudhu dan tidak tayamum dan ia tidak wajib mengulangi shalatnya (tidak wajib qadha).
Referensi:
[1]. Fatwa Dar Al Ifta Al Mishriyah: Al Jam'u bainas Shalawaat bi Sababil 'Amal
[2]. Wahbah Zuhaily, Alfiqhu Al Islamy wa Adillatuhu, Cet. Darul Fikr Suriah, Jilid 1, Hal: 606.
___________________
* ditulis oleh: Andi Kurniawan, Lc.
Post A Comment:
0 comments so far,add yours