10 Hal yang Harus Diketahui Tentang Ilmu Kalam [Bagian-1]

Bayangkan dihadapan kita saat ini ada sebuah peti harta karun yang tergembok. Jika kita ingin mengambil harta karun dari dalam peti tersebut, maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah membuka gemboknya. Bagaimana kita membuka gemboknya? Tentu kita membutuhkan suatu alat, baik itu kunci, palu, batu atau alat-alat lainnya yang bisa digunakan untuk membuka gembok tersebut. Setelah gembok terbuka petipun dapat dibuka dan harta karun yang ada didalamnya dapat kita ambil. Artinya, harta karun tersebut tidak akan bisa kita ambil kecuali setelah kita memiliki kunci untuk membuka gembok peti yang menyimpan harta karun tersebut.

Begitu pula dengan ilmu kalam, perumpamaan materi permasalahan-permasalahan kalamiyah (keyakinan-keyakinan) layaknya harta karun, dan disiplin ilmu kalam itu sendiri adalah petinya. Lazimya, sesuatu yang berharga tentu akan dijaga dengan baik salah satunya dengan cara dikunci. Singkatnya, bagi orang-orang yang ingin mengetahui permasalah-permasalahan ilmu kalam ia harus mengetahui terlebih dahulu kunci untuk membuka peti disiplin ilmu kalam sebelum pada akhirnya dapat mencicipi harta karun berupa permasalah-permasalahan ilmu kalam itu.


Pada tulisan sebelumya, kita sudah mengetahui bahwa ilmu kalam merupakan salah satu disiplin ilmu yang wajib diketahui oleh setiap muslim. Imam Al-Ghazali didalam kitabnya Minhaj Al-‘Abidin berkata “Ketahuilah bahwa ilmu yang wajib dipelajari itu ada tiga : Ilmu Tauhid (Ilmu Kalam), Ilmu Hati (Akhlak dan Tasawuf) dan Ilmu Syariat (Fikih)”[1].

Namun sebagaimana yang sudah kita paparkan diatas, bahwa seseorang tidak bisa memasuki suatu disiplin ilmu tertentu kecuali ia sudah memilki kunci untuk membuka pintu masuk ilmu tersebut. Maka dari itu, para ulama sudah merumuskan kunci apa saja yang dibutuhkan oleh penuntut ilmu sebelum memasuki sebuah disiplin ilmu yang ingin ia kaji. Disini para ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan cukup dengan tiga kunci, ada yang mengatakan harus dengan sepuluh kunci, dan bahkan ada yang mengatakan sebelas kunci. Akan tetapi, dari ketiga pendapat diatas pendapat yang masyhur dikalangan para penuntut ilmu adalah pendapat yang mengatakan dengan sepuluh kunci yang kemudian dikenal dengan Mabadi’ 'Asyarah

Hal ini dapat kita temukan didalam kitab-kitab klasik yang biasanya memperkenalkan terlebih dahulu mabadi' 'asyarah ini, salah satunya terdapat didalam ungkapan syair yang dibuat oleh seorang ulama terkemuka yang bernama Muhammad bin Ali ash-Shabban, yang kemudian dikenal dengan julukan; Abu al-‘Irfan al-Mishri, penyusun Syarh ‘ala Hasyiyah al-Asymuni dan Hasyiyah ‘ala Syarh al-Sa’d al-Tiftazani  (wafat 1206 H), beliau menyebutkan, sebagai berikut:

إِنَّ مَبَادِي كُلِّ فَنٍّ عَشرَةْ             الحَدُّ وَالمَوْضُوْعُ ثُمَّ الثَّمرَةْ
وَنِسْبَةٌ وَفَضْلُهُ وَالوَاضِعُ            وَالاسْمُ الاِسْتِمْدَادُ حُكْمُ الشَّارِع     
مَسَائِلُ وَالبَعْضُ بِالبَعْضِ اكْتَفَى    وَمَنْ دَرَى الجَمِيْعَ حَازَ الشَّرَفَا    

"Sesungguhnya mabadi’(prinsip dasar) setiap ilmu itu ada sepuluh. yaitu Al-Had (definisi), Al-Maudhu’ (pokok bahasan), Ats-Tsamroh (hasil yang diperoleh), Nisbah (nilai ilmu tersebut), fadl (keutamaan ilmu tersebut), Wadhi’ (peletak dasar ilmu), Ism (nama ilmu tersebut), Al-Istimdad (dasar pengambilan ilmu), Hukmu Asy-Syaari’ (hukum ilmu tersebut berdasarkan tinjauan syariah), dan Masail (masalah apa saja yang dibahas dalam, dengan, dan oleh ilmu tersebut).  Sebagian mabadi’ menjadi cukup dengan sebagian yang lain. Siapa yang yang menguasai dan memahami semua mabadi’ tersebut akan memperoleh kedudukan yang mulia".

Sepuluh aspek ini penting untuk dikaji karena dengan mengetahuinya membuat kita lebih terang dan jelas dengan apa yang akan kita pelajari. Berikut Al-Mabadi’ Al-‘Asyarah untuk ilmu kalam atau ilmu tauhid :

Pertama : Pengertian atau Definisi (al-Hadd)

Hal pertama yang harus kita ketahui dari suatu ilmu yang akan dikaji tentunya adalah ta’rif atau definisi. Pada dasarnya didalam syariat islam atau pokok-pokok agama, permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan keyakinan dikenal dengan nama ilmu kalam, ilmu ushuluddin, ilmu fiqh akbar, ilmu tauhid, ilmu akidah dan penamaan-penamaan lainnya. Adapun tujuan kita pada pembahasan kali ini adalah mengetahui apa maksud dari ilmu kalam itu sendiri berdasarkan penamaan yang berbeda-beda ini. Hal itu dapat kita ketahui melalui pendekatan pengenalan terhadap berbagai definisi ilmu kalam yang dikemukakan oleh para ulama baik dari kalangan mutakallimin maupun dari kalangan lainnya. Yang mana dengan mengetahuinya kita akan tahu permasalahan apa saja yang dikaji dalam ilmu tersebut dan gambaran sejauh mana manfaat dari ilmu yang akan kita kaji.

Ada dua jenis definisi yang bisa kita gunakan untuk memperkenalkan suatu ilmu. Pertama, definisi yang menekankan pada objek pembahasan (bilhadd/esensial). Kedua, definisi yang lebih menekankan pada aspek kegunaan (birrasm/deskriptif). Namun yang akan kita paparkan setelah ini hanya definisi ilmu kalam yang bersifat deskriptif saja, karena untuk mengetahui definisi yang bersifat esensial mengharuskan kita mengetahui terlebih dahulu semua persoalan-persoalan ilmu kalam dan ini bukanlah hal yang mudah terkhusus bagi para pemula didalam ilmu ini. Berikut beberapa defenisi untuk ilmu kalam :

1. Diantara definisi ilmu kalam yang pertama kali muncul adalah definisi yang dinisbahkan kepada imam mujtahid pertama pada abad  ke-2 H, beliau adalah Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit (wafat 150 H), seorang imam dengan reputasi yang tidak diragukan lagi.

Beliau merupakan penggagas salah satu mazhab fikih terkenal yang menjadi salah satu rujukan umat islam didalam permasalahan fikih. Disamping itu beliau juga penggagas lahirnya ilmu kalam yang beliau namai sendiri dengan sebutan fikih akbar. Beliau mengatakan sebagaimana yang dinukilkan oleh Dr. Hasan Syafi’i didalam kitab beliau Almadkhal Ila Diraasati ‘ilmil Kalam mengatakan, “ketahuilah bahwa ilmu  fikih ushuluddin (keyakinan) lebih utama dari pada ilmu  fikih Al ahkam Assyar’iyyah (masalah cabang-cabang hukum/yang berkaitan dengan amalan). Fikih adalah pengetahuan diri terhadap apa yang mesti ia ketahui, baik perkara i’tikad ataupun amalan. Mengetahui hal yang berhubungan dengan perkara i’tikad disebut ilmu fikih akbar sedangkan mengetahui perkara cabang-cabang hukum disebut dengan ilmu fikih”[2]. Mengetahui Ushuluddin berarti mengetahui pondasi-pondasi seorang muslim dalam aktifitasnya, karena seluruh aktifitas muslim bertumpu pada satu perkara yakni sebagai wujud ibadah kepada Allah ta’ala.

2. Beranjak pada abad ke-4 H, kita mendapati seorang filosof muslim yang dikenal dengan Abu Nashr Al-Farabi (wafat 339 H), didalam kitab beliau Ihsha’ Al-‘Ulum berkata : “ manufaktur ilmu kalam adalah sebuah kompetensi yang dengannya manusia mampu mengukuhkan keyakinan-keyakinan dan melaksanakan perbuatan-perbuatan tertentu yang diperintahkan Allah ta’ala, serta mampu membantah pemalsuan, pendustaan dan tuduhan dari orang-orang yang menyelisihi keyakinan tersebut"[3].

3. Kemudian pada awal abad ke-6 H, kita mendapati Imam Al-Ghazali (wafat 505 H), seorang mutakallim Asy’ari (teolog muslim) yang berakidah ahlussunnah wal jamaah, yang memiliki tendensi sufistik. Didalam kitabnya Al-Munqizu Min Ad-Dhalal, beliau berkata tentang ilmu kalam: “orientasi ilmu kalam adalah menjaga keorisinilitasan akidah ahlussunnah wal jamaah dan memproteksinya dari propaganda ahli bid’ah”[4].

4. Sebagai pelengkap definisi-definisi diatas, Imam ‘Iddhud Addin Al-Iiji (680-756 H) didalam kitab beliau Al-Mawaaqif yang pada tulisan sebelumnya sudah kita singgung, beliau mengatakan ilmu kalam adalah “suatu ilmu yang dengannya kita mampu untuk mengukuhkan keyakinan-keyakinan keagamaan dengan menyuguhkan argumentasi-argumentasi serta mengonter syubhat (tuduhan-tuduhan)”[5].

Kedua : Objek Kajian (al–Maudhu’)

Objek kajian dari ilmu kalam atau tauhid adalah tentang zat Allah ta’ala ditinjau dari aspek sifat-sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah, serta yang wajib, mustahil dan jaiz bagi para rasul. Ilmu ini juga membahas tentang hal-hal yang berhubungan seputar masalah-masalah sam’iyyat (hal-hal yang tidak akan diketahui kecuali melalui teks alquran dan hadist), bahkan sebagian ulama mengatakan segala sesuatu yang dapat mengantarkan seorang hamba untuk mengenal Rabb-nya masuk kedalam objek pembahasan ilmu kalam.

Ketiga : Manfaat dan Kegunaan (al-Tsamrah)

Sebagian dari manfaat atau kegunaan ilmu ini sudah kita singgung didalam pembahasan definisi. Bahwa ilmu ini akan membuat kita mampu memperkokoh keyakinan terhadap agama Allah, dengan cara mengukuhkan keyakinan itu sendiri dengan argumen-argumen yang valid kemudian setelah itu mengonter tuduhah-tuduhan seputar keyakinan tersebut. Namun ada satu tujuan mempelajari ilmu ini yang tak kalah penting bahkan lebih penting dari tujuan-tujuan lainnya, sebagaimana yang disampaikan oleh Syekh Sa’id Ramadhan Buthi didalam salah satu tausiyah beliau, beliau mengatakan “tujuan mempelajari akidah itu tak lain dan tak bukan semata-mata agar kita semakin menyadari akan identitas kita sebagai seorang hamba, kita kembali ke rumah masing-masing dalam keadaan sudah mengetahui siapa kita, bahwa kita ini dimiliki oleh Allah SWT dan kita adalah hamba-Nya, kita diciptakan untuk suatu misi dan kita harus melaksanakan misi tersebut, dengan ini kita dapat menggapai kemenangan, kebahagiaan di dunia dan di akhirat.”

Keempat : Keutamaan (al-Fadhl)

Ilmu ini adalah ilmu yang paling mulia, karena ia merupakan akar dan asas dari semua ilmu. Ilmu kalam atau tauhid bagaikan muara dari segala ilmu. Imam Al-Baijuri berkata : “Ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia, karena ilmu ini berkaitan langsung dengan zat Allah dan Rasul-Nya, serta hal-hal lain yang berkolerasi dengannya ”.

Kelima : Kolerasinya dengan Ilmu-ilmu Lain (al-Nisbah)

Agama ini mencakup permasalahan-permasalahan ashliyah (berkaitan dengan keyakinan) dan far’iyyah (berkaitan dengan amalan), sehingga ilmu yang berkaitan dengan keyakinan menjadi akar atau asal dari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan amalan. Disaat ahli tafsir hanya membahas alquran saja, ahli hadist hanya membahas hadist saja. Ahli ushul fikih hanya membahas dalil syar’i/fikih saja, faqih hanya membahas perbuatan mukallaf saja, sedangkan ahli tauhid/mutakallimun membahas seluruh-seluruh objek yang ada. Sampai disini memang layaklah ilmu ini disemati label ilmu yang paling utama.

Kita akan menjelaskan lima hal lain yang harus diketahui tentang ilmu kalam pada tulisan selanjutnya. Wallahu A’lam.

Referensi:

[1]. Al-Ghazali, Minhaj Al-‘Abidin, cet.VI, hal. 75 (dar basyair al-islamiyah).
[2]. Dr. Hasan Syafi’I, Al-Madkhal Ila Dirasati Ilmil Al-Kalam, cet.IV, hal. 13, (maktabah wahbah, cairo).
[3]. Dr. Hasan Syafi’I, Al-Madkhal Ila Dirasati Ilmil Al-Kalam, cet.IV , hal. 15, (maktabah wahbah,cairo).
[4]. Dr. Hasan Syafi’I, Al-Madkhal Ila Dirasati Ilmil Al-Kalam, cet.IV , hal. 17, (maktabah wahbah,cairo).
[5]. Dr. Hasan Syafi’I, Al-Madkhal Ila Dirasati Ilmil Al-Kalam, cet.IV , hal. 21, (maktabah wahbah,cairo).


______________________

Ditulis oleh : Rifki Surya Hadi, Mahasiswa Tahun 2, Fakultas Teologi Islam Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.
Share To:

FS Almakki

Post A Comment:

0 comments so far,add yours