Oleh : Y.S Tenra Septu Amin
Permasalahan harto pusako tinggi sebenarnya
sudah lama menjadi perbincangan hangat di kalangan ulama, terutama ulama minangkabau. Harta pusaka tinggi dikatakan
bertentangan dengan pembagian harta warisan dalam hukum Islam karena ketidakjelasan
kepemilikannya. Sebagian kalangan mengatakan bahwa harta pusako jatuh hak
pakainya kepada anak perempuan. Adapun sebagian yang lain mengatakan hak pakai
saja yang jatuh kepada anak perempuan, tetapi hak milik harta tersebut atas nama kaum adat.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa harta pusako
di Minangkabau dibagi menjadi dua, yaitu : Harta Pusako Tinggi dan Harta Pusako
Randah. Harta Pusako (Pusaka ) Tinggi adalah harta turun temurun yang
diwariskan dari nenek moyang kepada perempuan garis keturunan ibu (materialistik)
yang digunakan untuk kepentingan bersama melalui pengelolaan dan pemeliharaan
sebagai sumber pencaharian.
Anak perempuan dalam harta pusako tinggi punya
hak pakai bukan hak milik sebagai limpapeh bundo kanduang panghuni rumah
gadang yang menetap di kampung. Oleh
sebab itu, dibutuhkan modal untuk hidup dalam memanfaatkan harta pusako
tersebut, seperti menggarap sawah, kebun, dan lain-lain. Hak milik harta pusako
tinggi ini atas nama kaum, karena asal muasal dari nenek moyang yang sama, maka konsekuensinya adalah harta pusako tinggi ini dimiliki bersama. Harta Pusako tidak hanya terbatas pada tanah tapi juga
sawah, rumah, kolam, bangunan dan rumah
gadang sebagai tampek panghulu niniak
mamak bapijak manyalasaian pakaro adaik (tempat musyawarah untuk
menyelesaikan urusan adat).
Hukum asal harta pusako tinggi dalam budaya Minangkabau itu tidak boleh dijual, karena kepemilikannya bersama dan tidak diperuntukkan untuk kepentingan pribadi. Namun diperbolehkan menjualnya dengan 4 keadaan :
Mambangkik batang tarandam (Membangkitkan ekonomi anak cucu yang terpuruk)
Gadih gadang alun balaki (Modal perkawinan perempuan yang sudah cukup umur untuk menikah)
Rumah Gadang Katirisan (Memperbaiki Rumah Gadang )
Mayik tabujua diateh rumah (Dana penyelenggaraan kematian mayat)
Empat keadaan tersebut berlaku dalam
keadaan darurat artinya ketika anak cucu tidak lagi memiliki pegangan
lain kecuali dengan menjual harta pusako tinggi. Sedangkan harta pusako randah
adalah harta yang didapat dari hasil pencaharian orangtua diwariskan kepada
anak sebagai ahli waris dan dibagi sesuai dengan hukum mawarits Islam
(faraidh).
Pada zaman dahulu, Minangkabau dipimpin
oleh dua tokoh adidaya yaitu :Datuak Katumanggungan dengan gaya aristokrasi
(oligarki modern) memimpin Koto Piliang,dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang
dengan gaya demokrasi memimpin Bodi Chaniago . Mereka merupakan saudara seibu
yang mulai menyusun peraturan adat Minangkabau termasuk tentang harta pusako
tinggi.
Setelah masuknya Islam ke ranah Minang pada
abad ke 7 M, dibuktikan dengan keberadaan kampung Arab di Pariaman, maka aturan
adat dan syara’ dibuat selaras dengan slogan masyhur “adat basandi syara’
,syara’ basandi kitabullah , syara’ mangato adat mamakai.”Maksud dari
slogan tersebut adalah aturan adat harus sesuai dengan aturan syara’ (aturan
agama Islam ) , berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah . Jadi , setiap pembuatan
aturan adat harus merujuk kepada 2 mashdar utama yaitu : Al-Qur’an dan Sunnah
Timbul pertanyaan dari
pernyataan-pernyataan di atas, yakni apakah aturan adat yang telah ada sebelum
masuknya Islam ke Minangkabau harus dihapuskan? Apakah karena pelopornya
sendiri, yaitu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang yang
tidak beragama Islam otomatis membuat peraturan adat yang mereka telah buat
tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang telah berlaku dalam Islam tak terkecuali
perkara harta Pusako Tinggi ? Bagaimana status harta pusako tinggi dalam Islam?
Apakah tidak sesuai dengan faraidh karena hanya diberikan kepada anak perempuan?
Karena dalam Islam, membagi harta warisan itu melalui ketentuan langsung dari
Al-Qur’an. Lalu, jika tidak ada keselarasan antara adat dan agama ,mungkinkah
slogan ABSSBK hanya bualan sastra saja ?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
telah disebutkan , ulama Minangkabau pada zaman dahulu pun berbeda pendapat . Amir Syarifuddin dalam buku berjudul :
‘Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam dalam Adat Minangkabau’ menyebutkan, Syekh
Ahmad Khatib memaparkan hal tersebut melalui tulisannya ‘Al-Dai al-Masmu Fii
Al-Raddi ala Al-Tawarisi al-Ikhwati wa Awadi Al-Akhawati ma’a Wujud al-Ushuli
wa al-Furu’i (Dakwah yang Didengar tentang Penolakan Atas Pewarisan Saudara dan
Anak Saudara dengan Keberadaan Orang Tua dan Anak).
Syeikh Ahmad Khatib berbeda pendapat dengan
beberapa muridnya. Salah satunya adalah Syekh Abdul Karim Amrullah (Inyiak
Rasul) yang merupakan ayahanda Buya Hamka. Ayah buya Hamka berpendapat bahwa
harta pusaka berbeda dengan harta pencarian. Harta pusaka dinilai sama dengan
harta wakaf atau harta musabalah yang ada di zaman Khalifah Umar bin Khatab
yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum.
Harta musabalah di Zaman Khalifah Umar bin
Khattab diqiyaskan dengan pusaka tuo di Minangkabau yang memang keberadaannya
tidak mudah dijual begitu saja sebab untuk menggadaikanya saja memiliki syarat yang berat. Syekh
Sulaiman Ar-Rasuli yang juga merupakan murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
mendukung pendapat Inyiak Rasul ini .
Dalam
Kongres Badan Permusyawaratan Alim Ulama, Ninik Mamak dan Cadiak Pandai
Minangkabau pada 4-5 Mei 1952 disepakati bahwa untuk tanah pusaka tinggi (turun
temurun) berlaku hukum adat. Sementara untuk harta pencaharian atau harta
pusaka rendah, berlaku hukum faraidh (waris Islam).
Adanya pendapat-pendapat tersebut menjadi dasar masukan bagi Seminar Hukum Adat Minangkabau pada tahun 1968 untuk menetapkan kesimpulan. Walaupun sebenarnya, menurut Amir MS dalam Buku ‘Pewarisan Harato Pusako Tinggi dan Pencaharian Minangkabau terbitan tahun 2011, kesimpulan terhadap hal ini sudah dicapai dalam kongres sebelumnya pada tahun 1952. Seminar yang digelar pada 1968 lebih kepada menegaskan sehingga bisa diaplikasikan, sehingga tujuan pengadaan Seminar ini adalah untuk mempertegas rumusan kesimpulannya menjadi dua poin yang terdapat dalam kongres pada tahun 1952.
Dari pemaparan di atas, sudah cukup untuk
menjawab pertanyaan,”apakah pengelolaan harta pusako tinggi tidak bertentangan
dengan hukum Islam ?” Jawabannya tidak, karena beberapa hujjah di bawah ini :
1. Pada
awalnya harta tersebut adalah milik kaum diwariskan kepada anak perempuan
sebagai pengelola bukan pemilik,karena hak milik bersama
2. Faraidh
dalam Islam hanya mengatur pembagian harta warisan milik pribadi seperti
pewarisan harta ushul kepada furu’(orangtua-anak) bukan kepemilikan bersama.
3. Harta pusaka
tuo di Minangkabau, diqiyaskan dengan harta musabalah di Zaman Khalifah Umar
bin Khattab yang memang keberadaannya tidak mudah dijual begitu saja , kecuali
dengan empat syarat yang telah disebutkan pada muqoddimah tadi .
Tujuan
penulis membuat tulisan ini ialah ingin meluruskan anggapan slogan “adat
basandi syara’,syara basandi kitabullah ,syara’ mangato adat mamakai.” tidak
hanya sebagai ucapan yang keluar dari mulut manis seseorang tanpa aplikasi
nyata di realitanya, melainkan juga mempertimbangkan aspek-aspek keislaman .
Orang
Minangkabau sangat mengerti adat dan agama. Mereka telah dididik mangarati
kato nan ampek yang dalam agama masuk dalam kajian akhlak , baraja silek
melambangkan keberanian , dan lalok disurau mengajarkan bahwa laki-laki
yang menghidupkan rumah Allah sedari diri .Jadi, terlalu naif kalau mereka menghalalkan
segala cara untuk kepentingan pribadi .
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ