Oktober 2022

Oleh : Y.S Tenra Septu Amin

    Permasalahan harto pusako tinggi sebenarnya sudah lama menjadi perbincangan hangat di kalangan ulama, terutama  ulama minangkabau. Harta pusaka tinggi dikatakan bertentangan dengan pembagian harta warisan dalam hukum Islam karena ketidakjelasan kepemilikannya. Sebagian kalangan mengatakan bahwa harta pusako jatuh hak pakainya kepada anak perempuan. Adapun sebagian yang lain mengatakan hak pakai saja yang jatuh kepada anak perempuan, tetapi  hak milik harta tersebut atas nama kaum adat.

    Sebelumnya perlu diketahui bahwa harta pusako di Minangkabau dibagi menjadi dua, yaitu : Harta Pusako Tinggi dan Harta Pusako Randah. Harta Pusako (Pusaka ) Tinggi adalah harta turun temurun yang diwariskan dari nenek moyang kepada perempuan garis keturunan ibu (materialistik) yang digunakan untuk kepentingan bersama melalui pengelolaan dan pemeliharaan sebagai sumber pencaharian.

    Anak perempuan dalam harta pusako tinggi punya hak pakai bukan hak milik sebagai limpapeh bundo kanduang panghuni rumah gadang  yang menetap di kampung. Oleh sebab itu, dibutuhkan modal untuk hidup dalam memanfaatkan harta pusako tersebut, seperti menggarap sawah, kebun, dan lain-lain. Hak milik harta pusako tinggi ini atas nama kaum, karena asal muasal dari nenek moyang yang sama, maka konsekuensinya adalah harta pusako tinggi ini dimiliki bersama. Harta Pusako tidak hanya terbatas pada tanah tapi juga sawah, rumah, kolam, bangunan dan  rumah gadang  sebagai tampek panghulu niniak mamak bapijak manyalasaian pakaro adaik (tempat musyawarah untuk menyelesaikan urusan adat).

    Hukum asal harta pusako tinggi dalam budaya Minangkabau itu tidak boleh dijual, karena kepemilikannya bersama dan tidak diperuntukkan untuk kepentingan pribadi. Namun diperbolehkan menjualnya dengan 4 keadaan :

 Mambangkik batang tarandam (Membangkitkan ekonomi anak cucu yang terpuruk)

Gadih gadang alun balaki  (Modal perkawinan perempuan yang sudah cukup umur untuk menikah)

Rumah Gadang Katirisan (Memperbaiki Rumah Gadang )

Mayik tabujua diateh rumah (Dana penyelenggaraan kematian mayat)

    Empat keadaan tersebut berlaku dalam keadaan darurat artinya ketika anak cucu tidak lagi memiliki pegangan lain kecuali dengan menjual harta pusako tinggi. Sedangkan harta pusako randah adalah harta yang didapat dari hasil pencaharian orangtua diwariskan kepada anak sebagai ahli waris dan dibagi sesuai dengan hukum mawarits Islam (faraidh).

    Pada zaman dahulu, Minangkabau dipimpin oleh dua tokoh adidaya yaitu :Datuak Katumanggungan dengan gaya aristokrasi (oligarki modern) memimpin Koto Piliang,dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang dengan gaya demokrasi memimpin Bodi Chaniago . Mereka merupakan saudara seibu yang mulai menyusun peraturan adat Minangkabau termasuk tentang harta pusako tinggi.

    Setelah masuknya Islam ke ranah Minang pada abad ke 7 M, dibuktikan dengan keberadaan kampung Arab di Pariaman, maka aturan adat dan syara’ dibuat selaras dengan slogan masyhur “adat basandi syara’ ,syara’ basandi kitabullah , syara’ mangato adat mamakai.”Maksud dari slogan tersebut adalah aturan adat harus sesuai dengan aturan syara’ (aturan agama Islam ) , berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah . Jadi , setiap pembuatan aturan adat harus merujuk kepada 2 mashdar utama yaitu : Al-Qur’an dan Sunnah

    Timbul pertanyaan dari pernyataan-pernyataan di atas, yakni apakah aturan adat yang telah ada sebelum masuknya Islam ke Minangkabau harus dihapuskan? Apakah karena pelopornya sendiri, yaitu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah nan Sabatang yang tidak beragama Islam otomatis membuat peraturan adat yang mereka telah buat tidak memperhatikan kaidah-kaidah yang telah berlaku dalam Islam tak terkecuali perkara harta Pusako Tinggi ? Bagaimana status harta pusako tinggi dalam Islam? Apakah tidak sesuai dengan faraidh karena hanya diberikan kepada anak perempuan? Karena dalam Islam, membagi harta warisan itu melalui ketentuan langsung dari Al-Qur’an. Lalu, jika tidak ada keselarasan antara adat dan agama ,mungkinkah slogan ABSSBK  hanya bualan sastra saja ?

    Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang telah disebutkan , ulama Minangkabau pada zaman dahulu pun berbeda pendapat . Amir Syarifuddin dalam buku berjudul : ‘Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam dalam Adat Minangkabau’ menyebutkan, Syekh Ahmad Khatib memaparkan hal tersebut melalui tulisannya ‘Al-Dai al-Masmu Fii Al-Raddi ala Al-Tawarisi al-Ikhwati wa Awadi Al-Akhawati ma’a Wujud al-Ushuli wa al-Furu’i (Dakwah yang Didengar tentang Penolakan Atas Pewarisan Saudara dan Anak Saudara dengan Keberadaan Orang Tua dan Anak).

     Syeikh Ahmad Khatib berbeda pendapat dengan beberapa muridnya. Salah satunya adalah Syekh Abdul Karim Amrullah (Inyiak Rasul) yang merupakan ayahanda Buya Hamka. Ayah buya Hamka berpendapat bahwa harta pusaka berbeda dengan harta pencarian. Harta pusaka dinilai sama dengan harta wakaf atau harta musabalah yang ada di zaman Khalifah Umar bin Khatab yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum.

    Harta musabalah di Zaman Khalifah Umar bin Khattab diqiyaskan dengan pusaka tuo di Minangkabau yang memang keberadaannya tidak mudah dijual begitu saja sebab untuk menggadaikanya saja memiliki syarat yang berat. Syekh Sulaiman Ar-Rasuli yang juga merupakan murid Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi mendukung pendapat Inyiak Rasul ini .

    Dalam Kongres Badan Permusyawaratan Alim Ulama, Ninik Mamak dan Cadiak Pandai Minangkabau pada 4-5 Mei 1952 disepakati bahwa untuk tanah pusaka tinggi (turun temurun) berlaku hukum adat. Sementara untuk harta pencaharian atau harta pusaka rendah, berlaku hukum faraidh (waris Islam).

    Adanya pendapat-pendapat tersebut menjadi dasar masukan bagi Seminar Hukum Adat Minangkabau pada tahun 1968 untuk menetapkan kesimpulan. Walaupun sebenarnya, menurut Amir MS dalam Buku ‘Pewarisan Harato Pusako Tinggi dan Pencaharian Minangkabau  terbitan tahun 2011, kesimpulan terhadap hal ini sudah dicapai dalam kongres sebelumnya pada tahun 1952. Seminar yang digelar pada 1968 lebih kepada menegaskan sehingga bisa diaplikasikan, sehingga tujuan pengadaan Seminar ini adalah untuk mempertegas rumusan kesimpulannya menjadi dua poin yang terdapat dalam kongres pada tahun 1952.

     Dari pemaparan di atas, sudah cukup untuk menjawab pertanyaan,”apakah pengelolaan harta pusako tinggi tidak bertentangan dengan hukum Islam ?” Jawabannya tidak, karena beberapa hujjah di bawah ini :

1. Pada awalnya harta tersebut adalah milik kaum diwariskan kepada anak perempuan sebagai pengelola bukan pemilik,karena hak milik bersama

2.  Faraidh dalam Islam hanya mengatur pembagian harta warisan milik pribadi seperti pewarisan harta ushul kepada furu’(orangtua-anak) bukan kepemilikan bersama.

3. Harta pusaka tuo di Minangkabau, diqiyaskan dengan harta musabalah di Zaman Khalifah Umar bin Khattab yang memang keberadaannya tidak mudah dijual begitu saja , kecuali dengan empat syarat yang telah disebutkan pada muqoddimah tadi .

    Tujuan penulis membuat tulisan ini ialah ingin meluruskan anggapan slogan “adat basandi syara’,syara basandi kitabullah ,syara’ mangato adat mamakai.” tidak hanya sebagai ucapan yang keluar dari mulut manis seseorang tanpa aplikasi nyata di realitanya, melainkan juga mempertimbangkan aspek-aspek keislaman .

    Orang Minangkabau sangat mengerti adat dan agama. Mereka telah dididik mangarati kato nan ampek yang dalam agama masuk dalam kajian akhlak , baraja silek melambangkan keberanian , dan lalok disurau mengajarkan bahwa laki-laki yang menghidupkan rumah Allah sedari diri .Jadi, terlalu naif kalau mereka menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadi .

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ