Biografi Singkat Imam Syafi’i - Perjalanan Keilmuan Sang Imam*

Manusia adalah makhluk yang tidak lepas dari problematika kehidupan, apalagi problematika dalam beragama. Dalam hal ini, Islam hadir sebagai problem solver ‘Rahmatan lil Alamin’. Di antara bentuk solusi yang diberikan oleh agama ini adalah bermazhab, karena dengannya seseorang mengetahui bagaimana cara menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT dengan benar. Salah satu di antara mazhab yang ada dalam Islam adalah Mazhab Syafi’i, yang didirikan oleh Imam Syafi’i. Beliau adalah Mufti Agung yang menjadi tempat bertanya bagi masyarakat Hijaz dan Baghdad sebelum akhirnya pindah ke Mesir.

Sosok Imam Syafi’i sangat berpengaruh dalam kehidupan beragama, terutama dalam permasalahan fikih. Model kehidupan beliau layak untuk dijadikan contoh dan suri tauladan. Beliau adalah pribadi yang memiliki semangat juang dalam menuntut ilmu, sabar dalam kesulitan dan ujian serta memiliki daya intelektual yang tinggi juga gemilang dalam ilmu pengetahuan. Maka di sini penulis akan menceritakan biografi beliau secara singkat pada beberapa poin:


1. Lahirnya Imam Syafi’i

Ulama sepakat bahwa Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H bertepatan dengan tahun wafatnya Imam Abu Hanifah. Akan tetapi, ulama berbeda pendapat tentang di mana Imam Syafi’i dilahirkan. Menurut Yaqut bin Abdullah Al-Rumi Al-Hamawi[1] dalam kitabnya Mu’jamul Udaba, ada tiga riwayat yang dikutip dari Imam Syafi’i sendiri mengenai tempat kelahiran beliau:

a) Imam Syafi’i berkata: “Aku dilahirkan di Gaza tahun 150 H. Lalu ibuku membawaku ke Mekah ketika aku berumur dua tahun.”

b) Imam Syafi’i berkata: “Aku dilahirkan di Asqalan yang jaraknya tidak jauh dari Gaza.”

c) Imam Syafi’i berkata: “Aku dilahirkan di Yaman, lalu ibuku membawaku ke Makkah.”[2]

Sekilas memang tiga riwayat diatas terlihat bertentangan, bagaimana mungkin satu orang dalam satu waktu bisa dilahirkan di berbagai tempat? Di sini penulis merajihkan bahwasanya Imam Syafi’i dilahirkan di Gaza, karena nenek moyang beliau melakukan transmigrasi dari Makkah ke Gaza, bukan ke Yaman. Adapun pendapat pertama dan kedua kita bisa menemukan titik temu di antara keduanya, yakni Gaza adalah sebuah desa yang berada di Kota Asqalan, yang kedua tempat tersebut sama-sama berada di Negeri Palestina. Sedangkan pendapat yang ketiga perlu untuk ditakwil. Maka yang dimaksud dengan Yaman bukan hakikat tempatnya, melainkan kabilahnya, yaitu kondisi Gaza yang mayoritas dihuni oleh orang-orang dari kabilah Yaman.

2. Nasab Imam Syafi’i

Menurut pendapat yang tepat, Imam Syafi’i merupakan keturunan Quraisy dari jalur bapak. Nama lengkap beliau adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’ bin Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Muthalib bin Abdi Manaf bin Qushai Al-Qurasyi Al-Mutthalibi. Garis keturunan beliau bertemu dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di Abdi Manaf.

Sedangkan dari garis keturunan ibu, terdapat dua pendapat:

a) Menurut pendapat yang masyhur, Ibu Imam Syafi’i merupakan keturunan Bani Azdi. Hal ini berdasarkan perkatan Imam Syafi’i sendiri: “Ibuku berasal dari suku Azdi, yang bergelar Habibah Al-Azdiyah.” Tetapi nama lengkap ibu beliau tidak diketahui secara pasti.

b) Sedangkan menurut pendapat yang syaz (lawan dari masyhur), dari Hakim Abu Abdullah Alhafizh, meriwayatkan bahwa Ibu Imam Syafi’i adalah Fathimah binti Abdullah bin Husein bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Pendapat ini dirajihkan oleh Imam Abu Nashr Tajuddin As-Subki[3] dalam kitabnya Thabaqat Syafi’iyyah Kubra.[4]

Terlepas dari kedua perbedaan pendapat di atas, hal yang terpenting adalah Imam Syafi’i memiliki sosok ibu yang cerdas, dan pandai mendidik.

Imam Ar-Razi[5] menyebutkan dalam kitabnya, Manaqib Al-Imam As-Syafi’i bahwa bertemunya nasab Imam Syafi’i dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan suatu keistimewaan terhadap personal dan mazhabnya, diantaranya:

a) Imam Syafi’i adalah penolong Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana Bani Muthalib adalah penolong bagi Bani Hasyim, terkhusus dalam menjalankan misi dakwah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

b) Bani Muthalib mendapatkan perlakuan yang sama dengan Bani Hasyim. Seperti, tidak berhaknya mereka untuk menerima harta zakat. Karena harta yang dikeluarkan tersebut dianggap harta yang rendah.[6]

Di samping itu, Imam Nawawi[7] juga berkata dalam kitabnya, Al-Majmu’: “Imam Syafi’i berasal dari suku Quraisy, suku yang sangat agung dan mulia. Hal itu terlihat dari Hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, beliau bersabda bahwasanya para pemimpin itu berasal dari suku Quraisy.”[8]

3. Perjalanan Imam Syafi’i dalam Menuntut Ilmu

Ayah Imam Syafi’i meninggal beberapa waktu setelah kelahiran beliau. Sementara ibu beliau hidup dalam keadaan yang berkekurangan. Hingga sang ibu memutuskan untuk membawanya ke Mekah untuk tinggal dan belajar di sana.

a) Imam Syafi’i di Makkah (152 H - 163 H)

Imam Syafi’i pindah ke Makkah ketika berumur dua tahun. Alasan awal untuk tinggal di Makkah adalah untuk mendekatkan dirinya dengan keluarga ayahnya, khawatir jika beliau tetap tinggal di Gaza maka beliau akan kehilangan nasabnya. Maksudnya, Imam Syafi’i akan kehilangan status sosial sebagai keturunan Quraisy, bukan berarti Imam Syafi’i akan terhapus dari keturunan Quraisy, karena pada hakikatnya, nasab beliau akan tetap bersambung kepada suku Quraisy. Adapun alasan utamanya adalah untuk menutut ilmu, karena Makkah adalah negeri yang penuh ilmu.

Imam Syafi’i adalah orang yang paham akan keadaan. Beliau tidak langsung mempelajari Fikih, namun beliau menuntut ilmu-ilmu pengantar sebelum menuju ilmu tersebut. Imam Syafi’i telah menghafalkan Alquran pada umur tujuh tahun. Kemudian, beliau mulai belajar syi’r-syi’ir, prosa dan sastra arab bahkan menetap dengan suku Baduwi Arab, yaitu Bani Huzail Makkah yang masih terjaga kemurnian bahasanya dan merupakan suku Arab yang paling bagus bahasanya. Setelah mempelajari itu, barulah beliau belajar Fikih dan berguru dengan seorang mufti besar Makkah, Muslim bin Khalid Az- Zinji.[9]

Pada usia 15 tahun, Imam Syafi’i diberikan izin untuk berfatwa oleh sang guru disebabkan ketakjubannya akan kecerdasan Imam Syafi’i. Tidak hanya itu, Imam Syafi’i juga belajar dengan seorang kibar Tabi’ Tabi’in yang masyhur, yaitu Sufyan bin Uyainah[10], seorang Imam dalam bidang Hadis yang terkenal dengan kecerdasan dan kekuatannya dalam menghafal Hadis.

b) Imam Syafi’i di Madinah (163 H–179 H)

Kemudian Imam Syafi’i melanjutkan rihlah menuntut ilmu ke Madinah dan berguru dengan Imam Malik bin Anas[11], Beliau telah menghafalkan kitab Al-Muwattha, karya Imam Malik sehingga membuat Imam Malik merasa takjub akan hal itu. Imam Malik berkata: “Sesungguhnya Allah telah memberikan cahaya ilmu di hatimu, maka janganlah kamu menggelapkannya dengan kemaksiatan.”[12]

c) Imam Syafi’i di Yaman (179 H–184 H)

Setelah Imam Malik wafat pada tahun 179 H, Imam Syafi’i bekerja untuk mencukupi kebutuhan finansial beliau. Imam Syafi’i diajak oleh kerabatnya dari Suku Quraisy untuk pergi ke Yaman. Dari sini mulailah proses baru dalam kehidupan Imam Syafi’i, setelah sebelumnya fokus menuntut ilmu. Walaupun demikian, Imam Syafi’i tetap meluangkan waktunya untuk belajar. Beliau juga belajar Fikih dari Ulama Yaman. Sederet Ulama Yaman yang didatangi oleh Imam Syafi’i seperti: Abu Ayyub Muttharrif bin Mazin[13], Hisyam bin Yusuf Al –Qadhi[14] dan banyak ulama lainnya.

d) Imam Syafi’i di Baghdad (Irak), Periode Pertama (184 H-189 H)

Imam Syafi’i berangkat ke Baghdad pada tahun 184 H. Beliau meninggalkan Yaman karena dicurigai beliau bersama ‘Alawiyyin[15] yang berusaha keluar dari kekhalifahan ‘Abbasiyah. Sebelum beliau meninggalkan Yaman, beliau menjabat selama lima tahun (179H–184 H) di pengadilan wilayah Najran, Yaman. Setelah beliau sampai di Baghdad yang merupakan ibu kota kekhalifahan Umayyah, Khalifah Harun Al-Rasyid[16] memanggil Imam Syafi’i dan memerintahkan pengawalnya untuk memenggal leher beliau. Tapi dengan kecerdasan Imam Syafi’i, beliau berhasil selamat dari hukuman tersebut dan bertemu dengan salah seorang murid Imam Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan As-Syaibani[17].

Setelah Imam Syafi’i selamat dari fitnah tersebut, beliau tidak langsung kembali ke Yaman, atau bahkan ke Hijaz. Karena  Imam Syafi'i meyakini Baghdad adalah tempat yang sesuai untuk melepas dahaga keilmuan beliau selama ini.

Baghdad sebagai pusat pemerintahan dan peradaban memiliki fasilitas–fasilitas yang sangat lengkap untuk menunjang keilmuan, seperti perpustakaan yang besar, ulama-ulama tersohor yang kompeten di bidangnya, dan lain-lain. Hal ini membuat Imam Syafi’i memutuskan untuk tinggal di Baghdad. Beliau mulai bergelut dengan ilmu yang tersebar di sana. Dan beliau mengarahkan kesungguhannya dalam mempelajari Fikih Ra’yi di Madrasah Imam Abu Hanifah.

Imam Syafi’i menghadiri majlis Muhammad bin Hasan sebagai pengikut Imam Malik dan Ahli Fikih Mazhab Maliki. Oleh karena itu, ketika murid-murid Muhammad bin Hasan tinggal di majlis, beliau mengajak mereka berdiskusi dan berdebat. Lalu sampailah hal ini ke telinga gurunya. Mengetahui hal tersebut, Muhammad bin Hasan mengajak Imam Syafi’i untuk berdebat, tapi Imam Syafi’i menolak, karena rasa hormat beliau kepada seorang guru. Akan tetapi Muhammad bin Hasan besikukuh untuk berdebat hingga Imam Syafi’i menyetujuinya.

Dengan khazanah ilmiah baru ini, maka terhimpunlah dalam diri beliau Fikih ahli Hijaz yang condong kepada Hadis dan Fikih ahli Baghdad yang condong kepada ra’yi.

Kemudian setelah Muhammad bin Hasan bin As-Syaibani wafat, Imam Syafi’i memutuskan untuk kembali lagi ke Mekah, pada tahun 189 H.[18]

e) Imam Syafi’i di Baghdad, Periode Kedua (195 H)

Setelah enam tahun di Makkah, Imam Syafi’i kembali ke Baghdad untuk kedua kalinya pada tahun 195 H. Kedatangan beliau pada periode ini berbeda dengan periode sebelumnya. Jika sebelumnya beliau datang sebagai pemuda yang berumur 34 tahun untuk menuntut ilmu, namun pada periode ini beliau datang dengan segala kemapanan dan keilmuan yang sudah sangat matang. Pada masa inilah Imam Syafi’i mencapai klimaksnya dalam berijtihad. Beliau telah mencapai derajat mujtahid muthlaq[19], dan membawa fikih baru (yang kita kenal dengan qaul qadim), bukan Fikih ahli Hadis yang di Madinah bukan pula Fikih ahli Ra’yi di Baghdad, akan tetapi perpaduan dari dua madrasah tesebut.

Kedatangan Imam Syafi’i dengan mendeklarasikan Mazhab barunya, memberikan efek yang sangat besar terhadap eksistensi Mazhab Hanafi yang telah berkembang di Baghdad. Karena kecerdasan dan kehebatannya, banyak dari masyarakat Baghdad yang hadir di majlisnya. Bukan hanya orang biasa, hadir juga orang-orang besar dalam bidang Fikih, Hadis, Bahasa dan Sastra Arab dan lain sebagainya. Bahkan, Abu Tsaur meninggalkan Mazhab Hanafi, dan lebih memilih Mazhab Syafi’i sebab kuatnya hujjah Imam Syafi’i terhadap suatu permasalahan.

Imam Syafi’i berhasil mengembangkan Fikih barunya selama dua tahun di Baghdad, dan telah mengarang sebuah kitab bernama Al-Hujjah yang terhimpun di dalamnya pendapat-pendapat Imam Syafi’i selama di Baghdad. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah: Ahmad bin Hambal[20], Abu Tsaur[21], Azza’farani[22], dan Al-karabisi[23].

Kemudian Imam Syafi’i kembali lagi ke Makkah pada tahun 197 H, beliau menetap sebentar di sana, lalu kembali lagi ke Baghdad untuk periode yang ketiga.

f) Imam Syafi’i di Baghdad, Periode Ketiga (198 H)

Imam Syafi’i mendatangi Baghdad untuk ketiga kalinya pada tahun 198 H. Akan tetapi, hanya beberapa bulan saja. Pada tahun 199 H, beliau memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya ke Negeri Kinanah, Mesir. 

Apa alasan yang melatar-belakangi Imam Syafi’i untuk berpindah dari Baghdad ke Mesir? Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh sebagian ulama, di antaranya:

1) Yaqut dalam kitabnya Mu’jamul Udaba, berkata: “Alasan Imam Syafi’i mendatangi Mesir adalah sebagai bentuk memenuhi ajakan Wali Mesir, Abbas bin Abdullah untuk menetap di Mesir.”[24]

2) Prof. Ahmad Amin[25] berpendapat dalam kitabnya Dhuha al-Islam : “bahwasanya Mazhab Imam Syafi’i tidak berkembang dengan baik, karena Mazhab Hanafi yang telah berkembang lebih dahulu. Keadaan perpolitikan Dinasti Abbasiyah juga menghambat lajunya perkembangan mazhab Imam Syafi’i.”[26]

3) Adapun menurut Dr. Akram Yusuf Umar al-Qawasimi[27], alasan utama Imam Syafi’i untuk pindah ke Mesir adalah untuk mencari murid yang bisa meneruskan estafet mazhabnya. Karena suatu mazhab jika tidak didukung oleh murid yang mumpuni, maka mazhab itu tidak akan berkembang dengan baik, bahkan bisa punah. Sebagaimana yang terjadi dengan Mazhab Imam Laits bin Sa’ad. Imam Syafi’i berkata: “Imam Laits lebih cerdas dari Imam Malik, hanya saja beliau tidak memiliki pengikut yang bisa melanjutkan estafet mazhabnya.[28]

4) Sedangkan menurut Dr. Ahmad Nahrawi[29], alasan fundamental Imam Syafi’i untuk pindah adalah keinginan yang tinggi dan kecintaan beliau untuk menyebarkan mazhab ini. Hal ini terlihat dari kegigihan beliau dalam mengajarkan ilmu dengan membuka majelis ilmu mulai dari Makkah, Madinah, Yaman, dan Baghdad dalam tiga kali periode.[30]

Menurut penulis, keempat alasan ini saling menguatkan satu sama lain. Akan tetapi faktor utama yang melatar belakangi Imam Syafi’i untuk pindah ke Mesir adalah keinginan beliau untuk menyebarkan mazhabnya.

g) Imam Syafi’i di Mesir (199 H–204 H)

Imam Syafi’i sangat mengetahui bagaimana kondisi Mesir, maka datanglah Imam Syafi’i pada akhir tahun 199 H. Pada waktu itu di Mesir telah berkembang beberapa mazhab, seperti Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki dan Mazhab Imam Laits bin Sa’ad.

Di awal kedatangannya, Imam Syafi’i memulai membuka majlisnya di Mesjid ‘Amru bin Ash, Fustath. Masyarakat Mesir berbondong-bondong menghadiri majlis orang Arab, keturunan Quraisy ini. Dengan kemampuan Bahasa dan Sastra Arab beliau yang sangat baik, ada diantara mereka yang berpindah mazhab ke Mazhab Syafi’i, seperti Al-Muzani[31] yang awalnya bermazhab Hanafi dan Al-Buwaithi[32] yang awalnya bermazhab Maliki.

Al –Buwaithi berkata: “Imam Syafi’i datang ke Mesir, lalu beliau memberikan banyak bantahan terhadap Mazhab Maliki, kemudian aku pun menjadi ragu dan kebingungan. Setelah itu aku memperbanyak shalawat dan doa, semoga Allah Subhaanahu wa Ta’aala menunjukkan kepadaku mazhab mana yang benar. Maka aku melihat didalam mimpiku bahwasanya Mazhab Syafi’i adalah yang benar.”[33]

Di Mesir, Imam Syafi’i melahirkan karangannya yang sangat masyhur dalam Ilmu Fikih, yaitu kitab Al-Umm, yang menghimpun pendapat-pendapat Imam Syafi’i selama di Mesir (yang di kenal dengan qaul jadid Imam Syafi’i).

4. Wafatnya Imam Syafi’i

Kegigihan Imam Syafi’i dalam menuntut dan menyebarkan ilmu, membuat dirinya kurang istirahat dan mengidap penyakit yang amat berat. Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam[34] berkata: “Imam Syafi’i menderita penyakit basur (wasir) yang sangat parah, beliau menyadari sakitnya itu karena kurang penjagaan dan kurang memperhatikan pantangan dan larangan.”[35]

Tepat pada malam Jumat, akhir Bulan Rajab 204 H, Imam Syafi’i meninggal dunia. Sebelum Imam Syafi’i meninggal, Imam Rabi’ bermimpi, lalu berkata: “Aku melihat Nabi Adam meninggal dunia dalam mimpiku, kemudian aku bertanya tentang hal itu, maka dijawablah: ini adalah kematian orang yang paling alim dimuka bumi ini, karena Allah Subhaanahu wa Ta’aala telah mengajarkan berbagai pengetahuan kepada Nabi Adam. Beberapa waktu setelah itu, wafatlah Imam Syafi’i rahimahullah.” Maksud perkataan Imam Rabi’ ini adalah Nabi Adam menjadi simbol bagi orang yang paling alim di muka bumi ini, maka sebagai perwujudan dari mimpi itu, Imam Syafi’i merupakan orang yang paling alim di muka bumi ini.


Wallaahu a’lam bisshawab

___________________________


*ditulis oleh: Zulfa Yusra Kamal, Mahasiswa Tingkat 3, Jurusan Syari'ah Islamiyyah, Fakultas Syari'ah wal Qonun, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.





[1] Seorang biographer yang lahir di Romawi, tahun 1179 M dan meninggal tahun 1229 M. Beliau memiliki karya yang masyhur, diantaranya: Mu’jamul Udaba dan Mu’jamul Buldan.
[2] Ahmad Nahrawi, Al-Imam As-Syafi’i fi Mazhabaihi Al-Qadim wal Jadid, (Kairo : Dar El-Shaleh, 2017) hlm: 32.
[3] Beliau adalah ayah dari Taqiyuddin As-Subki yang lahir di Kairo, tahun 1327 M dan wafat pada tahun 1370 M. Beliau adalah seorang ulama di bidang Fikih, dan seorang Qadi di Damaskus.
[4] Ibid, hlm: 29.
[5] Beliau adalah Muhammad bin Umar bin Husein bin Hasan At- Tabari, atau lebih dikenal dengan Fakhruddin Ar-Razi. Beliau adalah seorang Imam, pemikir dan teolog. Beliau berdarah Arab Quraisy, keturunan sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq, yang dilahirkan pada penghujung pemerintahan Khalifah Abbasiyah. Beliau lahir pada tanggal 25 Ramadhan 544 H, bertepatan dengan tahun 1148 M di kota Rayy (Irak).
[6] Ar-Razi, Manaqib al-Imam As-Syafi’i, (Kairo: Maktabah Al-Azhar li Turats, 2008) hlm:30.
[7] Nama lengkap beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husein An-Nawawi Ad-Dimasyqi. Lahir pada tahun 631 H di desa Nawa, Damaskus yang sekarang merupakan ibu kota Suriah. Di antara karangan beliau yang masyhur adalah Al-Majmu, Minhajut Thalibin, dan Arba’in An-Nawawi.
[8] Imam Nawawi, Al-Majmu’ (Riyadh: Dar el- Alam el-Kutub, 2006) hlm: 31.
[9] Beliau adalah Muslim bin Khalid bin Qarqarah Al–Qurrasyi. Lahir pada tahun 100 H dan wafat pada tahun 179 H. Beliau orang yang sangat cedas. Hal ini terbukti dari cara beliau belajar yang hanya menggunakan indra pendengaran saja. Dan ini merupakan sistem terbaik dalam belajar.
[10] Nama lengkap beliau adalah Abu Muhammad bin Uyainah bin Abu Imran Maimun Al-Kufi. Dilahirkan di kota Kuffah tahun 107 H. Beliau belajar Hadis sejak kecil, dan bertemu dengan 87 orang Tabi’in dan mendengar Hadis dari 70 orang di antara mereka. Beliau wafat pada tahun 198 H.
[11] Beliau dilahirkan di Madinah, pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Beliau adalah pakar dalam Ilmu Hadis dan Fikih. Beliau merupakan pendiri Mazhab Maliki yang memiliki karangan yang sangat terkenal, yaitu Al-Muwattha. Imam Syafii berkata: “Tidak ada satu kitab di muka bumi ini setelah Alquran yang lebih banyak mengandung kebenaran selain dari kitab Al-Muwattha karangan Imam Malik”.
[12] Ahmad Nahrawi, op. cit, hlm: 51.
[13] Beliau terkenal dengan nama Muttharrif bin Mazin Al-Kinani As-Shan’ani, wafat pada tahun 191 H.
[14] Seorang Hakim di Shan’a, Yaman. Wafat tahun 197 H.
[15]‘Alawiyin adalah keturunan Ali bin Abi Thalib. Pada masa Umayyah mereka sebagai buronan para penguasa, kecuali pada masa Khalifah Abdul Aziz (99-101H) demikian pula pada masa pemerintahan Abbasiyah, walaupun mereka banyak membantu Bani Abbas dalam menumbangkan Kekuasaan Bani Umayyah. Diantara mereka yang terbunuh adalah Hasan, Husein, Ja’far Shadiq, Musa Al-Khazim dan Ali Ridha.
[16] Beliau lahir pada tahun 766 M di Rayy (Irak) dan wafat di Thus, Khurasan pada tahun 809 H. Beliau menjadi Khalifah Abbasiyah pada tahun 786 H setelah kepemimpinan Musa Al–Mahdi.
[17] Beliau Lahir pada tahun 132 H di kota Wasith (antara Irak dan Bashrah). Beliau adalah ulama dalam bidang Hadis, Fikih dan seorang mujtahid yang berjasa dalam penyebaran Mazhab Hanafi.
[18] Ahmad Nahrawi, Op.Cit., hlm: 64.
[19] Mujtahid Muthlaq adalah orang memiliki kemampuan dalam mengistinbathkan kaidah syara’, dengan pemahaman yang dalam dan menggunakan kaidah-kaidah tersebut untuk menyelesaikan permasalahan furu’. Lihat At- Tamazhub, cet: Dar El-Shaleh, hlm: 45.
[20] Beliau lahir pada tahun 164 H di Mary, Baghdad. (saat ini berada di Turkmenistan). Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Asad al-Marwazi. Beliau merupakan orang yang cerdas dan wara’. Pendiri Mazhab Hambali. Beliau wafat pada tahun 241 H di Baghdad.
[21] Nama lengkap beliau adalah Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid bin Abi Al-Yaman Al-Kalbi Al-Baghdadi. Beliau lahir pada tahun 764 M dan wafat pada tahun 860 M/264 H.
[22] Nama lengkap beliau adalah Abu ‘Ali Al-Hasan bin Muhammad bin Shabbah Al-Baghdadi Az-Za’farani, beliau ulama di bidang Hadis dan Fikih. Lahir pada tahun 170-an H dan wafat pada tahun 260 H.
[23] Beliau adalah Abu ‘ali Al-Husain bi ‘Ali bin Yazid Al-Baghdadi Al-Karabisi. Wafat pada tahun 248 H.
[24] Ibid, hlm: 77.
[25] Beliau adalah cendikiwan yang berasal dari Mesir, lahir di Kairo pada tahun 1886 M dan meninggal pada tahun 1954 M. Beliau juga belajar di Al-Azhar hingga menamatkan jurusan Peradilan Agama. Kemudian beliau menjadi dosen Adab di Mesir University. Dan diangkat menjadi Rektor di Liga Arab (Jami’ah Ad- Duwal Al-Arabiyah). 
[26] Ibid, hlm: 78.
[27] Beliau adalah ulama kontemporer yang belajar Fikih Syafi’i di Mesjid Al-Hamzah wal ‘Abbas di Damaskus. Diantara guru beliau adalah Syaikh Nazir Muhammad Maktabi. Beliau lulusan Univeristas Urdun, Fakultas Syari’ah.
[28] Akram Yusuf Umar, al-Madkhal ila Mazhabil Imam As-Syafi’i, (Urdun: Dar An-Nafais, 2016) hlm: 93.
[29] Beliau dilahirkan pada tanggal 30 Agustus 1931 M di Jakarta. Perjalanan beliau dalam menuntut ilmu sangatlah panjang. Penantian yang lama untuk memasuki Universitas Al-Azhar, Kairo-pun terwujud. Dan berhasil menyelesaikan studinya sampai ke jenjang S3 dengan judul Disertasi “Al-Imam As-Syafi’i fi Mazhabaihi Al-Qadim wal Jadid”. Saat buku beliau dicetak, percetakan tidak mau menggunakan nama “Al-indunisi” di belakang namanya, sebab ditakutkan peminatnya berkurang. Namun beliau tetap bersikukuh membubuhkan nama tersebut, hingga pada cetakan pertama (1989 M) buku tersebut terjual habis kurang dari dua bulan. Beliau wafat pada tahun 1999 M di tanah kelahiran tercinta, Indonesia.
[30] Ahmad Nahrawi, op cit, hlm: 79.
[31] Beliau adalah Abu Ibrahim Ismail bin Yahya Al-Muzani. Beliau seorang Fakih dan ahli Akidah dari Mazhab Syafi’i. Beliau berasal dari Kairo dan merupakan murid terdekat Imam Syafi’i. Beliau wafat di Kairo tahun 264 H.
[32] Nama beliau adalah Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya Al-Buwaithi. Lahir di Mesir dan wafat di penjara Baghdad pada tahun 231 H. Imam Syafii berkata: “Tidak seorangpun dari muridku yang lebih berilmu, kecuali Al-Buwaithi”. Tetapi malang hendak dikata, ujian yang sangat berat datang kepada beliau. Beliau dipaksa untuk mengatakan bahwasanya Alquran adalah makhluk. Tapi dengan keimanan yang kuat, beliau tetap teguh pendirian bahwasanya Alquran adalah kalamullah yang qadim.
[33] Ibid, hlm: 83.
[34] Beliau adalah salah seorang sahabat Imam Syafi’i yang lahir di Fusthat, Mesir pada tahun 156 H dan wafat pada tahun 214 H. Karya beliau yang paling terkenal adalah “Fathu Mishr wal Maghrib wal Andalus”. Diakhir hayat, beliau kembali kepada Mazhab yang dianut oleh ayah beliau , yaitu Mazhab Maliki.
[35] Ibid, hlm: 86.

Share To:

FS Almakki

Post A Comment:

0 comments so far,add yours