Uslub Al Hakim - Gaya Bahasa yang Bijaksana

Balaghah merupakan suatu disiplin ilmu yang berlandaskan kepada kejernihan jiwa dan ketelitian menangkap keindahan dan kejelasan perbedaan yang samar di antara berbagai uslub (ungkapan). Salah satu cabang dari ilmu balaghah adalah ilmu al-badi’, dalam beberapa literatur, lebih sering dijadikan bagian penutup dari rangkaian studi ilmu balaghah. Secara garis besar, ilmu al-badi ini mempelajari aspek-aspek yang berkaitan dengan keindahan bahasa, baik dari segi lafadz maupun makna. Salah satu elemen terpenting dalam ilmu maani adalah uslub hakim yang kurang diberikan tumpuan khusus dalam kupasan ilmu balaghah.


Uslub hakim atau gaya bahasa orang yang bijaksana berlaku di luar daripada pertimbangan normal, dimana persoalan yang dilontarkan tidak diberikan jawaban yang bersesuaian dengan persoalan tersebut dalam arti kata tidak semestinya setiap persoalan yang diajukan perlu dijawab. Adakalanya diam lebih baik daripada berbicara dan adakalanya mengalihkan persoalan tersebut ke arah jawaban lain yang lebih baik patut juga dilakukan. Oleh karena itu, mari kita kenali konsep uslub al-hakim guna memudahkan mutakalim dan mukhathab.

Apa yang dimaksud dengan uslub al-hakim? [أسلوب الحكيم]

Makna sederhana uslub al hakim dalam bahasa indonesia bisa berarti uslub atau gaya bahasa orang yang bijaksana. Adapun kata uslub sendiri dalam bahasa indonesia dapat diartikan jalan, cara, metode dan sistem. Adapun pengertiannya dalam bahasa arab adalah makna yang terdapat dalam suatu bentuk susunan kalimat agar lebih mudah sampai kepada tujuan yang diinginkan pembicara kepada pendengar atau pembaca.[1] 

Sedangkan kata hakim diambil dari kata hakama berarti orang yang mengetahui atau teliti dalam suatu perkara. Maka, hakim ialah orang yang berkemampuan untuk mencegah kerusakan dikarenakan ketelitian yang ada dalam dirinya dalam mengambil sebuah keputusan.[2]

Dalam ilmu balaghah sendiri uslub alhakim adalah melontarkan pembicaraan kepada mukhathab (orang kedua/lawan bicara) pembicaraan yang tidak diinginkan, dengan memahami atau membelokkan pembicaraan kepada masalah yang tidak ia maksudkan. Hal ini sebagai pertanda bahwa selayaknya mukhatab itu menanyakan atau membicarakan masalah yang menjadi jawaban tersebut. Atau menjawab pertanyaan mukhatab dengan apa yang tidak ia tanyakan sebagai pertanda bahwa pertanyaan yang jawabannya disebutkan mutakallim (orang pertama) lebih penting untuk ditanyakan dan sesuai dengan kapsitas mukhatab yang sedang bertanya.[3]

Pembagian Uslub al hakim beserta contohnya

Menurut pegertian yang dikemukakan oleh pengarang kitab al Iidhoh kita dapat memahami bahwa uslub al hakim dibagi kepada dua macam, yaitu:
1. Merespon orang kedua dengan jawaban yang tidak ia maksud, karena orang pertama membelokkan makna yang diinginkan orang kedua dengan melihat keadaan-keadaan tertentu serta sebagai isyarat bahwa apa yamg disampaikan oleh mutakalim lebih penting untuk mukhatab.


Contohnya :
Kisah ibnu qoba'tsari yang diancam al hajaj bin yusuf ats tsaqofi

Ketika musim panen ibnu qoba'tsari sedang duduk-duduk di perkebunan anggur hijau. Dalam majlis tersebut mereka membicarakan kejelekan al hajaj, sampai-sampai ibnu qoba'sari berkata :


ِاللَّهُم سَوِّدْ وَجْهَهُ واقْطَعْ عُنُقَهُ واسْقِنِيْ مِنْ دَمِه

"Ya Allah hitamkanlah wajahnya, penggal-lah kepalanya dan beri aku minum dari darah nya"

Kemudian sampailah perkataan ibnu qoba'tsari tersebut kepada al hajjaj, lalu al hajaj langsung mendatangi ibnu qoba'tsari dan menanyainya "apakah benar kamu yang mengatakan demikian?", "benar" jawab ibnu qoba'tsari lantang, "tapi aku tidak memaksudkan engkau melainkan anggur hijau dan maksud dari "سود وجهه" adalah matangnya anggur hijau, dan "واقطع عنقه" sebagai pelepah tangkai buah anggur, "واسقني من دمه" sebagai khamr hasil perasan anggur hijau.
Mendengar jawaban dari ibnu qoba'tsari al hajaj pun marah dan berkata :

سَأَحْمِلَنَّكَ عَلَى الأَدْهَمِ

"Akan kubawa kau dengan adham (belenggu pengikat dari besi)"

Lalu ibnu qoba'tsari menjawab :

مِثْلَ الأَمِيْرِ يُحْمَلُ عَلَى الأَدْهَمِ

"seperti Raja dibawa oleh adham (kuda bagus yang berwarna hitam)"

Murka al hajaj semakin menjadi jadi :

وَيْلَكَ إِنَّهُ لَحَدِيْدٌ

"Celakalah engkau adham tersebut (belenggu) terbuat dari besi"

Dijawab dengan tenang oleh ibnu qoba'tsari :

أَنْ يَكُون حَدِيْدًا خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَكُوْنَ بَلِيْدًا

adham tersebut (kuda) yang hadiidan (kuat dan gesit) lebih baik dari kuda yang bodoh dan lemah".[4]

Hingga akhirnya al hajaj terpukau dengan gaya bicara ibnu qoba'tsari dan kefasihan nya, lalu memaafkannya bahkan berbuat baik terhadapnya.

Dalam kisah diatas kita dapat menyimpulkan bahwa ibnu qoba'tsari membelokkan makna kata-kata alhajaj yang mana maksudnya adalah ancaman berupa siksaan kepada makna penghormatan kepadanya, karna orang sepertinya hanya pantas di hormati dan dilayani bukan untuk untuk diancam.

2. Menjawab pertanyaan mukhatab dengan jawaban yang tidak ia maksudkan dengan isyarat apa yang disampaikan oleh mutakalim lebih penting untuk ditanyakan karena lebih sesuai dengan keadaan dan kapabilitas mukhathab.

Contohnya :

( 189: قال تعالى: (يَسْأَلُونَكَ عَن الأهلَّة قُلْ هيَ مَوَا قيتُ للنَّاس وَالْحَج ..) ( سورة البقرة

Firman Allah SWT : Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, maka katakanlah “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji.” (QS Al-Baqarah: 189)

Bila kita perhatikan contoh pada ayat diatas, kita dapatkan bahwa para sahabat Rasulullah SAW bertanya kepada beliau tentang keadaan bulan yang semula kecil lalu menjadi besar dan akhirnya menjadi kecil kembali. Hal ini adalah masalah ilmu falak, untuk memahaminya diperlukan pengkajian yang detail dan serius. Oleh karena itu, Al-Qur`an memalingkan mereka dari masalah itu dengan menjelaskan hikmah dari perubahan bentuk bulan untuk kaum muslimin, bahwa bulan itu merupakan tanda untuk mengetahui waktu bekerja dan beribadah seperti shalat, puasa dan haji.

Hal ini merupakan isyarat bahwa sebaiknya mereka bertanya tentang faedah ini, juga menunjukkan bahwa pembahasan ilmu falak harus sedikit ditunda hingga suasana menjadi mantap dan kekuatan islam tidak tergoyahkan.

قَالَ فرْعَوْنُ وَمَا رَبُّ الْعَالَمينَ

“Fir´aun bertanya: "Siapa Tuhan semesta alam itu?" (QS. Syu`ara:23)

قَالَ رَب السَّمَاوَات وَالْأَرْض وَمَا بَيْنَهُمَا إنْ كُنْتُمْ مُوقنينَ

“Musa menjawab: "Tuhan pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya". (QS. Syu`ara:24)

Dalam ayat ini Fir'aun menanyakan tentang esensi Tuhan semesta alam kepada Nabi Musa AS, akan tetapi Nabi Musa AS menjawab dengan sifat-Nya menggunakan uslub al hakim sebagai isyarat bahwa mencari tahu esensi dari Allah adalah kemustahilan karena tak akan bisa dijangkau oleh akal manusia.

Kondisi atau Keadaan Tertentu dalam Penggunaan Uslub al hakim

Sebagaimana yang telah penulis jelaskan bahwa uslub al hakim mengandung hikmah yang dalam dan ketelitian yang tinggi. Oleh karena itu, uslub ini haruslah digunakan oleh orang yang mempunyai kecerdasan yang luar biasa dalam penggunaannya, khususnya dalam melihat kondisi-kondisi tertentu dalam penggunaannya.

Almaqomaat (kondisi atau keadaan tertentu) merupakan komponen dasar sehingga suatu kata yang diucapkan oleh seseorang bisa dikatakan mempunyai balaghah, baligh. Sehingga jika suatu kata yang diucapkan tidak sesuai dengan kondisi yang dihadapinya maka perkataannya tidak bisa disifati dengan baliigh.

Dalam kesempatan ini penulis menyebutkan beberapa kondisi saja mengingat banyaknya jumlah kondisi-kondisi tersebut sehingga perlu pembahasan tersendiri. Berdasarkan pembagian uslub al hakim diatas, penulis akan memaparkan kondisi-kondisi yang sesuai dengan uslub ini dalam dua garis besar; pertama ;uslub al hakim dalam menjawab pertanyaan mukhatab dan yang kedua dalam merespon perkataan mukhatab (tetapi bukan sedang menjawab pertanyaan).

Pembagian pertama, mencakup beberapa kondisi kondisi berikut ini :

a. Kondisi dimana mukhatab tidak akan sanggup memahami jawaban dari pertanyaannya dengan benar. Oleh karna itu harus dipahami dan dijawab dengan jawaban tentang permasalahan yang dapat dipahami oleh mukhatab sehingga memberikan manfaat kepada mukhatab.

b. Kondisi ketika ditanyai pertanyaan yang bersifat sensitif.
Dengan uslub ini mutakallim bisa terbebas dari pertanyaan yg demikian, kondisi ini akan sangat jelas ketika orang tua ditanyai anaknya tentang ketuhanan dan pertanyaan yang bersifat seksual. Begitu juga dalam pertanyaan yang dilontarkan wartawan kepada elit-elit politik.

c. Ketika ditanyai pertanyaan yang kurang penting bagi penanya, lalu mutakalim menjawab dengan jawaban yang lebih penting untuk ditanyakan. Seperti hadits Nabi dari Abi Dzar dia berkata: Aku berkata wahai Rasulullah apa itu bejana telaga nabi? Lalu nabi menjawab: "demi yang jiwaku ditangannya jumlah bejana itu lebih banyak dari pada jumlah bintang dilangit dan planet-planet nya. (HR. Muslim).

Abi dzar ra bertanya tentang esensi bejana telaga, bukan faedahnya. Hanya saja faedahnya lebih penting diketahui bagi abi dzar dan umat islam lainnya, yaitu tentang jumlahnya sehingga terbebas dari bahaya banyaknya kerumunan kaum mukmin jika mengira jumlahnya sedikit bahkan satu.

d. Kondisi penghormatan terhadap mukhatab karena tinggi kedudukannya.
Sebagai contoh, penghormatan sayyidina al abbas kepada Nabi Muhammad saw, ketika ditanya :

أأنت أكبر أم رسول الله؟ فقال : هو أكبر مني لكني أسن منه

Sayyidina abbas menggiring (mengalihkan) pertanyaan tentang usia kepada pertanyaan tentang kedudukan.

e. Untuk memperlihatkan kemampuan dalam berdebat, dan kemampuan untuk lolos dari pertanyaan mukhathab, sebagaimana yang telah kita lihat dari kisahnya ibnu qoba'tsari dan Al hajaj.

Adapun kondisi pertama :

 Percakapan antara ayah dan anak, ketika ayah menjawab pertanyaan anak dengan jawaban lain sebagai isyarat bahwa yang disampaikan penting untuk ditanyakan.
 Wawancara tokoh-tokoh penting
 Diskusi dengan orang yang berseberangan pendapat dalam suatu permasalahan, sehingga mutakallim tidak mau menjawab dengan pertanyaan yang berbeda dengan mukhathab supaya tidak merusak hubungan antara mereka.
 Dalam perdebatan supaya terhindar dari jawaban yang akan menjatuhkan mutakalim
 Dalam kondisi perang, ketika menghindari jawaban yang akan membongkar rahasia pasukan

Rahasia Balaghoh Uslub al hakim

Untuk menelisik keindahan uslub ini kita harus mengetahui tujuan-tujuan balaghi dari uslub ini dan efek yang ditinggalkan oleh uslub ini:

 Uslub ini menjadi sarana untuk merenung dan berfikir, karena jawaban dari yang ditanya akan berbeda dari yang ditanyakan tergantung sudut pandang yang diinginkan, sehingga ketika direnungi mukhathab akan dikejutkan dengan informasi yang lebih penting baginya dan juga akan menjadikan informasi itu lebih lengket diingatan mukhathab.

 Mengandung pesan yang dalam untuk mukhathab dengan memikirkan antara pertanyaan dan jawaban, sehingga jika mukhathab dalam keadaan yang salah akan tersadar akan hal itu. Sebagaimana tampak jelas  dari jawaban nabi Musa as dari pertanyaan Fir'aun.

 Untuk menguatkan faedah atau pesan yang disampaikan mutakallim, ketika mutakallim berfikir dan merenungi jawaban dan melihat perbedaannya sampai mendapatkan pesan yang di sampaikan mutakallim. Dan sudah dipastikan informasi yang didapatkan dari usaha yang lebih akan lebih kuat tertancap dikepala dibandingkan yang tanpa usaha berarti.

 Bisa melunakkan hati seseorang, seperti halnya kisah ibnu qoba'tsari yang akhirnya diampuni bahkan diberlakukan dengan baik oleh al hajaj yang awal nya marah besar kepadanya.

 Sangat bermanfaat dalam bidang dakwah dan pembelajaran serta pendidikan, ketika seorang da'i bisa menyampaikan maksudnya dengan uslub yang luar biasa dengan memalingkan mukhathab kepada makna yang diinginkannya tanpa disadari oleh mukhathab karena ia sudah terlanjur dipikat oleh informasi yang lebih penting baginya.

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan, bahwa uslub al-hakim adalah uslub-uslub balaghah pada pembagian ilmu Badi’ yang artinya seorang mutakallim memberikan jawaban kepada mukhathab tidak seperti yang diinginkan, akan tetapi menggantinya dengan gaya bahasa atau ungkapan lebih bermakna bagi si mukhathab. Contoh-contoh yang biasa dikatakan ialah gaya bahasa orang yang bijaksana hanya orang-orang tertentu saja. Adapun lafadznya yaitu pada QS. Al-Baqarah ayat 189. Dengan harapan, sesuatu yang diberikan kepada pena-nya itu seharusnya yang ditanyakan. Dalam hal ini sebaiknya mukhathab mengklarifikasi pernyataan tersebut agar tidak salah tafsir. Semoga dengan adanya tulisan ini dapat membantu pembaca dalam memahami suatu ungkapan dan pembaca terinspirasi melontarkan ungkapan yang lebih bermanfaat bagi mukhathab.

Referensi:

[1] Aminullah, Uslub al qur`an, halaman 6.
[2] Hasan bin Abdullah, uslub al hakim dalam hadis nabi Muhammad SAW satu pendekatan dakwah berkesan, (Malaysia, Jornal Hadis,2017) vol 7, no 13, hal 4.
[3] Abdul muta`al ash-sho`idi, Al idhoh, hal 160.
[4] Dr. Basyuni, `Ilmu Ma`ani, mu`assasah al mukhtar, hal. 266.

______________

Penulis: Uyung Yaskur, Mahasiswa Tahun 2 Fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar Cairo Mesir.

Share To:

FS Almakki

Post A Comment:

0 comments so far,add yours