2020

     Dewasa ini kita sering mendengar kabar tentang adanya keributan dalam masyarakat yang disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam beragama. Tak jarang, perbedaan ini mengakibatkan perkelahian antar satu kelompok dengan kelompok lainnya. Ini tentu menjadi kabar menyedihkan yang menimpa umat islam saat ini. Keributan ini tak lepas dari perbuatan seorang dai dalam menyampaikan dakwahnya yang terkadang menyebutkan berbagai macam pendapat ulama dengan tujuan agar dirinya dianggap orang yang sangat menguasai ilmu agama. Hal inilah yang dapat membuat ragu masyarakat dan menjadikan orang yang fanatik buta bisa menyalahkan orang lain yang tak sesuai dengan dirinya.

    Ikhtilaf atau perbedaan pandangan  dalam pemikiran adalah suatu perkara yang tidak bisa dihindari oleh manusia. Perbedaan cara pikir manusia menghasilkan pendapat yang berbeda-beda pula. Dalam beragamapun kita sering mendengar ikhtilaf ulama atau perbedaan pandangan dari para ulama. Dalam memahami suatu nash baik al-quran maupun hadis atau menetapkan suatu hukum tak jarang ditemui perbedaan dari para ulama. Ikhtilaf ulama ini dalam satu sisi memang menjadi rahmat bagi umat islam. Dengan adanya ikhtilaf tadi, maka umat mempunyai opsi-opsi dan jalan keluar dari suatu permasalahan yang mereka hadapi. Misalkan saja tatkala umat mendapati  sebuah masalah dan ulama A mengatakan hukumnya haram secara mutlak sedangkan masalah yang dihadapi ini menyangkut hal substansial dalam kehidupan mereka maka umat bisa mengambil pendapat ulama B yang mengatakan bahwa hukumnya boleh dengan syarat  pendapat itu adalah pendapat yang  ma’tabar. Namun di sisi lain jika ikhtilaf ini tidak ditangani oleh orang yang ahli maka akan menghasilkan kekacauan bahkan perpecahan di tengah umat islam.    


 

     Dalam sebuah kajian virtual buya Zulhamdi Malin Mudo Lc MA, ketua MUI kota Padang Panjang menyampaikan bahwa menjelaskan ikhtilaf ulama pada masyarakat umum itu harus sangat berhati-hati dan tak bisa sembarangan. Sebelum menjelaskan ikhtilaf ulama pada masyarakat harus melihat pada tiga poin yaitu :

Pertama, untuk apa ikhtilaf itu dibahas/disampaikan? Jika tujuannya menguatkan pendapat pribadi dan merendahkan ulama  lain tentu ini tak dapat dibenarkan. Namun jika pembahasan ikhtilaf itu dibutuhkan oleh masyarakat  maka tak menjadi masalah. Di sinilah kebijaksaan seorang  ulama dan dai dibutuhkan.  

Kedua, siapa yang membahas ikhtilaf itu? Apakah dia orang yang mempunyai kapabelitas  dalam membahas ikhtilaf ulama tadi atau tidak? Orang yang baru belajar ilmu agama jangan sampai menyibukkan diri dengan pembahasan ikhtilaf ulama. Pelajari dulu dasar-dasar ilmu agama baik fikih,hadis,tafsir dan lain sebagainya. Pahami dulu matan (buku kecil) yang berisi pembahasan secara umum dari salah satu cabang ilmu keislaman.  Setiap ilmu itu ada jenjang dan tahapan mempelajarinya.

Ketiga, siapa yang mendengarkan ikhtilaf itu? Jika yang mendengar ikhtilaf itu adalah orang yang berilmu atau masyarakat suatu daerah yang sudah terbiasa dengan perbedaan pandapat maka itu tak menjadi masalah.  Jangan sampai kita yang niatnya berdakwah, mengajarkan masyarakat malah menjadi penyebab perpecahan dalam masyarakat. “Dakwah kita itu harus dakwah islam, dakwah yang membina masyarakat. Bukan dakwah yang memperkenalkan keyakinan pribadi dan keilmuan yang diyakini” ucap buya Zulhamdi menutup kajiannya.

 

(Ditulis oleh Fikran Aulia Afsya. Mahasiswa fakultas ushuluddin tingkat 2 universitas al-Azhar Mesir)

 

Silaturrahmi dan maota santai

Senin, 3 Agustus 2020. FS Almakki mengadakan acara silaturrahmi dan maota santai dengan buya Zulhamdi Malin Mudo.  Maota kali ini bertemakan "rihlah fi thalabil ilmi". Tema yang sangat relevan untuk para alumni MAN/MAPK Koto Baru, Padang Panjang yang saat ini tersebar di berbagai negara. Tampak hadir alumni dari Mesir, Indonesia, UEA, Pakistan dan lain-lain. 

Dalam maota santai ini, buya Zulhamdi banyak berpesan kepada para alumni yang juga merupakan murid-murid beliau untuk selalu bersemangat dalam belajar. "Cara para ulama mendapatkan ilmu adalah dengan rihlah (merantau), baik merantau di dalam negeri ataupun di luar negeri. Yang terpenting adalah kesungguhan kita dalam belajar. Duduk lah dengan banyak guru, jangan hanya terpaut dengan satu guru saja. Kita tidak tau kesalahan guru kita kecuali setelah kita berguru dengan orang lain. Ambil ilmu sebanyak-banyaknya. Kuasai dulu bahasa arab, sering-seringlah menerjemahkan kitab dan sibukkan diri dengan keilmuan" ujar buya Zulhamdi dalam nasehatnya. 

Acara yang berlangsung dua jam lebih ini seolah-olah mengobati rindu dengan suasana di Koto Baru.  "Lapeh teragak mandanga nasehat ustaz" kata salah seorang peserta. Di akhir acara, buya Zulhamdi juga berpesan agar jangan takut dan gugup tatkala terjun ke masyarakat nantinya, semuanya harus dicoba. "Berdakwah di tengah masyarakat nanti harus menyesuaikan dengan keadaan mereka. Ada orang yang suka dengan pengajian serius, ada yang suka dengan kajian tasauf, ada yang suka kajian dengan sedikit lelucoan dan semua itu hal yang wajar. Karena itu, dari sekarang pelajarilah bermacam-macam ilmu. Kalau kuliah jurusan tafsir hadis, jangan lupa belajar fikih dan ushul fikih. Begitu juga dengan mahasiswa syariah, juga  harus belajar tafsir dan hadis" tambah beliau

Kritik terhadap Tafsir Al-azhar karya buya Hamka

Buya Hamka merupakan seorang ulama karismatik yang lahir dari rahim bumi Minangkabau. Beliau merupakan seorang ulama yang sangat produktif menghasilkan banyak karya terutama dalam bentuk buku. Salah satu karya beliau yang sangat fenomenal adalah tafsir Al-azhar yang beliau tulis dibalik jeruji besi. Namun, setiap karangan manusia tentu tidak ada yang sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Salah satu objek kritikan yang banyak dibahas oleh para ulama adalah "Ad-dakhil" di dalam sebuah tafsir Al-Quran. Hal inilah yang membuat Dr. Muhammad Irfan Risnal Lc. MA salah seorang doktor muda dari sumatera barat yang baru saja menyelesaikan program doktoral beliau di universitas Al-Azhar Mesir tertarik mengulas tafsir Al-azhar ini pada disertasinya yang berjudul Ad-dakhil fiy tafsir Al-azhar limufassir andunisi buya Hamka.


Dalam kesempatan bedah disertasi virtual yang diadakan oleh FS Almakki Mesir pada hari minggu 18 juni 2020, Dr.Irfan menjelaskan bahwa "Ad-dakhil" secara terminologi adalah apa yang dinukil dari tafsir yang tidak bisa dipertanggung jawabkan penukilan tersebut atau ia berisi argumen yang salah. "Ad-dakhil" sendiri bisa berupa hadis maudhu', hadis dhaif jiddan, pemahaman yang keliru atau riwayat yang tidak masuk akal dan sebagainya. Namun, "Ad-dakhil" dalam sebuah tafsir tidaklah menunjukkan kecacatan tafsir itu sendiri. Di dalam kitab-kitab tafsir yang masyhurpun seperti tafsir ibn katsir, tafsir atthabari, tafsir alqurthubi dan lain-lain juga ditemukan adanya "Ad-dakhil" dan ini merupakan hal yang wajar. Bagi seorang mufassir, memasukkan "Ad-dakhil" dalam karangannya memiliki tujuan sebagai pengayaan khazanah keilmuan.

Sebagai contoh "Ad-dakhil" dalam tafsir Al-azhar adalah saat buya Hamka menafsirkan surat al-muddatstsir ayat 4. Buya Hamka mengatakan "kita ambil penafsiran yang sederhana yaitu sabda Rasulullah SAW annazhafatu minal iman". Hadis ini memang sangat populer di kalangan umat islam. Namun, jika diteliti hadis ini termasuk dalam kategori hadis maudhu' atau hadis palsu. Walaupun makna hadis ini tidak bertentangan dengan hukum syariah namun penyadarannya kepada Rasulullah SAW seolah-olah itu adalah perkataan baginda nabi adalah hal yang keliru. Contoh lain dari "Ad-dakhil" yang ada di dalam tafsir Al-azhar adalah saat buya Hamka menafsirkan ayat Al-Quran yang bercerita tentang keadaan nabi Adam dan Hawa saat di surga. Buya Hamka menceritakan bahwa tatkala iblis ingin masuk ke dalam surga untuk menggoda Adam dan Hawa agar memakan buah khuldi ia dicegat dan tidak diperbolehkan masuk oleh malaikat penjaga surga. Kemudian iblis meminta bantuan kepada seekor ular yang saat itu mempunyai 4 kaki. Iblispun bersembunyi di dalam mulut ular dan mengelabui penjaga surga tadi agar ia bisa masuk ke dalam surga. Cerita ini memang terdengar sangat asing dan terkesan mengada-ada. Namun hal yang unik adalah setelah menceritakan kisah ini buya Hamka langsung membantah cerita ini dan mengatakan bahwa riwayat seperti ini tidak bisa kita masukkan ke dalam tafsir begitu saja karena ini adalah riwayat israiliyat. Bantahan buya Hamka seperti inilah yang menjadikan tafsir Al-azhar beda dari tafsir-tafsir yang lain dan menjadi kelebihan tafsir Al-azhar itu sendiri.

Diskusi yang berjalan hampir 3 jam ini diikuti oleh puluhan peserta dari dalam dan luar negeri. Turut hadir dalam diskusi ini Dr. Risman Bustamam, Dr. Muhammad Yahya, Dr. Eskarni ushalli dan lain-lain yang menjadikan diskusi ini semakin menarik dan menambah wawasan serta menjadi wadah bertukar pikiran. Dr. Irfan dalam diskusi tersebut berharap kepada para penerbit dan percetakan untuk menambahkan tahkik atau keterangan "Ad-dakhil" di dalam tafsir Al-azhar agar masyarakat yang membaca tafsir tersebut tidak keliru dalam memahami ayat-ayat Al-Quran.

(Ditulis oleh Fikran Aulia' Afsya, mahasiswa ushuluddin tingkat 2 universitas Al-Azhar, Mesir) 

Sudah benarkah sujud sajdahmu?

Di Bulan Suci Ramadhan ini, semua umat muslim akan berlomba melakukan amal saleh. Ini disebabkan karena begitu mulianya bulan yang satu ini. Bayangkan saja, setiap amal shaleh yang kita kerjakan akan diberi pahala berlipat-lipat ganda.


Salah satu amalan yang ditekankan oleh syariat di bulan Ramadhan adalah memperbanyak membaca Al-Quran. Tak heran banyak orang yang mengkhatamkan bacaan Al-Quran selama bulan Ramadhan, bahkan ada yang bisa mengkhatamkannya setiap hari. Ini tentu menjadi ajang fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) bagi umat muslim.

Ketika membaca Al-Quran, kita akan menemukan berbagai tanda-tanda unik yang salah satunya untuk menandakan ayat sajdah atau tilawah. Biasanya tanda ayat sajdah ini berupa kubah kecil di akhir ayat sajdah. Dalam Al-Quran terdapat 14 ayat sajdah yang tersebar di beberapa surah yaitu pada salah satu ayat dalam surah Al-A'raf, Ar-Ra'd, An-Nahl, Al-Isra', Maryam, Al-Furqan, An-Naml, As-Sajdah, Fussilat, An-Najm, Al-Insyiqaq, Al-'Alaq serta surah Al-Hajj yang memiliki dua ayat sajdah.

Ketika membaca atau mendengar ayat sajdah, kita disunahkan untuk sujud. Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Imam Abu Dawud dari Ibnu Umar:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ عَلَيْنَا الْقُرْآنَ، فَإِذَا مَرَّ بِالسَّجْدَةِ كَبَّرَ، وَسَجَدَ وَسَجَدْنَا مَعَهُ

Artinya: "Suatu ketika nabi membacakan Al-Quran kepada kami, ketika melewati ayat sajdah beliau bertakbir dan bersujud dan kamipun ikut bertakbir dan bersujud bersamanya."

Lalu, bagaimana cara melakukan sujud sajdah?

Sebelum melakukan sujud sajdah, kita diharuskan suci dari hadas dan najis terlebih dahulu. Kita juga diharuskan untuk menutup aurat, menghadap kiblat dan membaca ayat sajdah secara keseluruhan.

Sujud sajdah bisa dilakukan di dalam shalat ataupun di luar shalat. Cara melakukan sujud sajdah dalam shalat adalah dengan sujud setelah membaca ayat sajdah kemudian berdiri bangkit dari sujud. Sedangkan cara sujud sajdah di luar shalat menurut mazhab syafi'i adalah berniat, kemudian takbiratul ihram. Setelah itu sujud satu kali seperti sujud dalam shalat kemudian duduk tahiyat tanpa membaca tasyahud dan diakhiri dengan salam.


Untuk bacaan tatkala sujud ada beberapa macam. Diantaranya:

سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ

Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam’ahu, wa bashorohu. Tabarakallahu ahsanul kholiqiin

Artinya: "Wajahku bersujud kepada Dzat yang menciptakannya, yang membentuknya, dan yang memberi pendengaran dan penglihatan, Mahasuci Allah sebaik-baiknya pencipta"

Atau membaca :

سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
Subhaana robbiyal a’laa

Artinya: "Maha Suci Allah yang Maha Tinggi"

Wallaahu a'lam


________________
*ditulis oleh: Fikran Aulia Afsya, Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Mesir. 

Apa saja hal-hal yang dapat membatalkan puasamu? Dan apa sanksi yang diwajibkan bagi orang yang puasanya batal?

Puasa adalah  salah satu ibadah wajib bagi setiap muslim yang menempati urutan ketiga pada rukun islam setelah syahadat dan shalat.

Menahan makan, minum dan hawa nafsu dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari adalah definisi masyhur untuk puasa. Namun apakah dengan menahan tiga hal ini puasa kita akan sehat wal 'afiyat tanpa cacat? Atau adakah beberapa hal lain yang bisa membatalkan puasa kita?

Yuk, langsung disimak dua pembahasan dibawah ini. Tentang hal-hal yang membatalkan puasa dan hukuman bagi pelanggarnya. Sekaligus muhasabah diri dengan kembali mengkaji, apakah puasa yang kita lakukan selama ini sudah benar-benar terhindar dari hal-hal tersebut? Check it out...


Agar mencakup dua pembahasan sekaligus, berikut penulis paparkan hal-hal yang dapat membatalkan puasa beserta hukuman apa yang akan didapatkan oleh pelanggarnya :

Wajib mengganti (qadha’) puasa bagi orang yang melakukan hal-hal atau dalam keadaan berikut :

1. Makan dan minum dengan sengaja dan tanpa paksaan saat berpuasa.

Hal ini berdasarkan firman Allah surat Albaqarah ayat 187 :

وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَـكُمُ الْخَـيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَـيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ  ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَا مَ اِلَى الَّيْلِ ۚ

Artinya : "... Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datangnya) malam…"

Jadi, jika seseorang yang berpuasa minum dan makan dengan sengaja, puasanya akan batal dan baginya dosa, hingga harus mengganti puasanya di luar Bulan Ramadhan.

Begitu juga dengan orang yang makan pada malam hari dan menganggap bahwa saat itu fajar belum terbit, lalu setelah itu ia mengetahui bahwa sebenarnya fajar telah terbit. Maka wajib baginya untuk meng-qadha’ puasanya. Jadi, kita harus disiplin nih dengan waktu sahur, agar saat adzan subuh berkumandang kita sudah menyelesaikan sahur dan terhindar dari hal-hal yang membatalkan puasa.

Sama halnya dengan orang yang berbuka karena menganggap bahwa adzan magrib telah berkumandang, dan beberapa saat setelahnya adzan yang sesungguhnya pun berkumandang. Maka baginya juga diwajibkan qadha’ puasa hari itu. Jadi juga harus hati-hati nih, ketika waktu berbuka tiba.

2. Menelan sesuatu yang bukan makanan, seperti menelan kancing baju, manik-manik, biji, dan benda lainnya. Maka puasanya batal dan wajib baginya untuk mengganti puasa.

3. Muntah dengan sengaja. Jika seseorang memasukkan jari-jari tangannya ke dalam mulutnya sampai ia mengeluarkan isi perutnya, atau seseorang sengaja pergi ke tempat yang berbau menyengat hingga membuatnya memuntahkan isi perutnya, maka batal puasanya dan wajib baginya qadha’ puasanya.

Jika muntah tidak disengaja, karena sakit atau yang lainnya, maka tidak diwajibkan qadha’.

4. Haid dan nifas. Wanita yang haid dan nifas, tidak diwajibkan berpuasa karena puasa mereka tidaklah sah. Yang diwajibkan bagi mereka adalah mengganti (qadha’) puasa wajib yang telah mereka tinggalkan.

Jika mereka berpuasa, maka haram hukumnya. Namun boleh bagi mereka jika ingin menahan makan minum dan hawa nafsu untuk menghormati orang-orang yang berpuasa -pada Bulan Ramadhan- asalkan tidak berniat puasa.

5. Bersentuhan anggota badan -selain kemaluan- beserta keluarnya mani. Jika seseorang bersentuhan dengan orang lain yang menyebabkan keluarnya mani. Atau mengeluarkan maninya dengan sengaja, maka ia harus tetap menahan puasanya hingga waktu berbuka dan harus menggantinya (qadha’).

6. Masuknya sesuatu kedalam rongga tubuhnya dengan sengaja. Seperti sampainya air ketenggorokan saat berkumur-kumur, memasukkan sesuatu ke dalam lubang telinga, masuknya sesuatu ke dalam lambung (seperti makanan dari infus), masuknya sesuatu ke dalam dubur atau kemaluan (untuk perempuan). Hal ini juga mewajibkan pelakunya untuk mengganti puasa.

7. Menelan sisa makanan saat fajar sudah terbit. Hal ini bisa terjadi saat kita makan sahur dan adzan subuh berkumandang yang menandakan terbitnya fajar. Maka kita harus wanti-wanti banget ni sama makan sahur, agar puasa kita tidak batal.

8. Melakukan hubungan suami istri pada saat berpuasa, wajib bagi keduanya qadha’ puasa dan membayar kaffarah, dengan syarat :
Dilakukan dengan sengaja (bukan lupa), tidak dipaksa, dan ia tau akan keharaman hal tersebut.
Dilakukan saat puasa ramadhan, dan bukan saat mengganti puasa ramadhan.
Yakin bahwa hal tersebut dilakukan antara terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

Maka jika ada keraguan hal tersebut dilakukan saat fajar sudah terbit atau belum, tidak diwajibkan kaffarah.

Apa itu Kaffarah?

Kaffarah adalah penebus kesalahan, sanksi, atau denda atas pelanggaran yang dilakukan.

Kaffarah yang diwajibkan adalah sebagai berikut : Memerdekakan seorang budak. Jika tidak bisa, baginya puasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak sanggup maka harus memberi makan 60 orang faqir atau miskin. Jika masih tidak mampu, kaffarah ini masih tetap berlaku untuknya hingga ia mampu. Maka ia harus melaksanakan kaffarah ini saat ia mampu.

Diwajibkan untuk tetap menahan puasa hingga berbuka, dan qadha’ bagi orang-orang berikut :
1. Orang yang lupa berniat puasa di malam hari sebelum puasa wajib.
2. Orang yang berpuasa pada 30 sya’ban dengan niat puasa ramadhan.
3. Orang yang keluar dari islam dan kembali masuk islam di hari itu.
4. Orang yang membatalkan puasanya.

Wallahu a’lam

Sekian, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi kita semua, yang sebentar lagi akan menyambut Bulan Ramadhan. اللهم بلّغنا رمضان


_______________
*Ditulis oleh: Helga Silvia Parchan, Mahasiswi Jurusan Syari'ah Islamiyyah, Fakultas Dirasat Islamiyah wal 'Arabiyyah, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.


Waktu Qadha’ Puasa Ramadhan

Seorang muslim dan muslimah wajib melaksanakan ibadah puasa pada Bulan Ramadhan selama satu bulan penuh. Namun ada beberapa keadaan atau uzur yang mengizinkan seseorang tidak berpuasa pada bulan mulia ini. Seperti sakit, haid, nifas dan yang lainnya. Maka dalam keadaan-keadaan ini seseorang diperbolehkan untuk meninggalkan puasa saat itu dan wajib baginya qadha’ (menggantinya di hari lain). Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam Surat Albaqarah ayat 185 :

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Artinya : "Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur."


Ada dua keadaan yang menyebabkan seseorang wajib meng-qadha’ puasanya :

1. Seseorang yang meninggalkan puasa karena suatu hal uzur, dan uzur itu masih tetap ada hingga Bulan Ramadhan pergi. Maka boleh baginya untuk mengakhirkan qadha’ hingga ia mampu untuk melaksanakannya, walaupun bertahun-tahun lamanya. Seperti orang yang sakit parah atau tidak sadarkan diri selama beberapa tahun. Serta tidak diwajibkan baginya membayar fidyah.

2. Seseorang yang meninggalkan Puasa Ramadhan karena suatu hal atau uzur, kemudian uzur tersebut hilang sehingga tidak ada lagi uzur yang masih melekat pada dirinya. Seperti wanita haid, nifas, atau orang sakit yang kemudian sehat. Maka, ia harus mengganti puasanya secepatnya sebelum datang ramadhan berikutnya dan tidak boleh mengakhirkan qhada’ tersebut. Jika ia menundanya hingga datang ramadhan berikutnya, dia harus qadha’ dan membayar fidyah. Fidyah dibayarkan dengan cara memberi makan satu orang miskin untuk setiap puasa yang ia tinggalkan.

Hal ini berdasar pada perkataan yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas R.A, Ibnu Umar R.A, dan Abu Hurairah R.A :

قالوا : "من مرض ثم صح ولم يصم حتى أدركه رمضان آخر، قال : يصوم الشهر الذي أفطر فيه و يطعم مكان كل يوم مسكينا"

Artinya : "Barangsiapa yang sakit kemudian sehat dari sakitnya dan belum berpuasa hingga datang ramadhan selanjutnya, maka ia harus berpuasa satu bulan yang ia tinggalkan dan memberi makan satu orang miskin untuk setiap puasa yang ia tinggalkan."

Fidyah bisa dibayarkan dengan cara :
Mengundang orang miskin untuk makan dengan makanan yang sudah disiapkan (dimasak) oleh orang yang batal puasanya tadi.
Membayarkan pada mereka 1½ kg makanan pokok yang biasa dimakan, seperti beras, gandum. Atau membayar dengan uang sejumlah harga makanan tersebut. Walaupun orang yang mengakhirkan qhada’ ini seseorang yang faqir atau miskin, ia tetap harus membayar fidyah saat ia mampu.

Kapan kita meng-qadha Puasa?

Waktu mengganti puasa ramadhan yang belum tertunaikan adalah semua hari setelah ramadhan usai sampai sebelum datang ramadhan berikutnya. Kecuali hari-hari yang telah diharamkan berpuasa padanya seperti hari raya idul fithri dan idul adha.

Bagaimana Cara Meng-qadha Puasa?

Tidak disyaratkan mengganti puasa secara berturut-berturut. Boleh memisah puasa yang satu dengan yang lain. Karena pada ayat diatas (QS. Albaqarah : 185) tidak ada penjelasan yang mewajibkan qadha puasa secara berturut-turut. Namun, jika ingin mengganti puasa secara berturut-turut hukumnya sunnah berdasarkan hadist Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu:

عن أبي هريرة رضي االله عنه أن النبي قال : "من كان عليه صوم من رمضان فليسرده ولا يقطعه" رواه الدارقطني

Artinya : "Barangsiapa yang memiliki (hutang) Puasa Ramadhan, maka sambunglah mereka dan jangan pisahkan ia." HR. Daarquthni

Bagaimana jika seseorang telah melewatkan beberapa Ramadhan tanpa meng-qadha’ puasanya?

Seperti seseorang yang meninggalkan beberapa hari puasanya karena sakit, haid dan uzur lainnya. Kemudian saat Ramadhan tahun tersebut berakhir, ia belum meng-qadha' puasanya hingga datang Ramadhan berikutnya bahkan dua sampai tiga tahun berikutnya ia mengakhirkan qadha'.

Ada dua pendapat ulama dalam Madzhab Syafi’i, dan yang paling kuat menyatakan bahwa ia harus membayar fidyah sebanyak puasa yang ia tinggalkan, dikali dengan berapa Ramadhan yang ia lewatkan.

Bagaimana jika seseorang mengkhirkan qhada’ dan belum membayar fidyah hingga ia meninggal?

Jika ia mengkahirkan qadha' dengan kesanggupan melaksanakannya, maka setelah meninggal walinya memiliki dua pilihan :

1. Walinya harus membayar fidyah untuknya dua kali lipat. Atau
2. Membayar fidyah untuknya, jika walinya ingin menggantikannya qadha’ puasa.

Seperti dalam hadis Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam :

ما روت عن عائشة رضي الله عنها : أن النبي قال : "من مات و عليه صيام صام عنه وليه" متفق عليه

Artinya : "Barangsiapa yang meninggal dan memiliki hutang puasa, maka walinya berpuasa untuknya." Muttafaq 'alaih

Wallahu a’lam

Semoga postingan ini bermanfaat dan bisa menambah wawasan pembaca dan penulis sendiri.


_______________
*Ditulis oleh: Helga Silvia Parchan, Mahasiswi Jurusan Syari'ah Islamiyyah, Fakultas Dirasat Islamiyah wal 'Arabiyyah, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.



Keutamaan Ibadah Puasa

Benarkah Allah telah menyediakan satu pintu khusus untuk orang yang berpuasa?

Puasa merupakan salah satu rukun islam. Yang mana setiap kita diwajibkan untuk melaksanakannya,  baik laki-laki maupun perempuan.

Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِکُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: Ayat 183)

 Keutamaan Ibadah Puasa

Puasa menurut bahasa adalah menahan, menurut istilah puasa adalah menahan dari segala hawa nafsu yang bersifat zhohir (tampak) maupun bathin (tidak tampak) atau menahan dari segala sesuatu yang membatalkan puasa seperti makan dan minum dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari.

Puasa diperintahkan pertama kali di Bulan Sya'ban pada tahun ke-2 Hijriah. Agar tidak melakukannya dengan amal yang sia-sia saja, sudah seharusnya kita mengetahui ketentuan-ketentuan yang ada di dalam ibadah puasa ini, seperti rukun-rukunnya, sunnah-sunnah yang terdapat di dalamnya, hal-hal yang membatalkannya, dan yang tak kalah penting adalah keutamaan-keutamaannya. Maka, pada pembahasan kali ini penulis ingin membahas keutamaan puasa terlebih dahulu, sebelum membahas hal hal penting lainnya.

Allah telah menjelaskan di dalam wahyu-wahyu-Nya tentang keutamaan-keutamaan puasa dan keagungan pahala-pahala nya. Diantaranya :

1. Puasa sebagai sebuah perisai bagi seorang muslim yang dapat menjaganya dari hawa nafsu yang ada di dalam dirinya.

Sebagaimana Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 

 الصَّوْمُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا العَبْدُ مِنَ النَّار

Artinya : "Puasa adalah perisai yang berlindung dengannya seorang hamba dari api neraka."

2. Puasa dapat menaklukkan hawa nafsu dan memperbaikinya.

Ketika kita berpuasa kita menahan dari segala sesuatu yang pada hakikatnya dibolehkan oleh Allah Ta'ala. Maka secara tidak langsung kita mengajarkan diri kita untuk menahan diri dari segala sesuatu yang diharamkan Allah Ta'ala.

3. Puasa adalah salah satu jalan dari sekian banyaknya jalan-jalan untuk menggapai Surga Allah. 

Sebagaimana yang di ceritakan Rasulullah dalam sabdanya bahwa di dalam Surga terdapat sebuah pintu yang diperuntukkan khusus untuk orang-orang yang berpuasa, dan tidak ada yang bisa masuk melalui pintu itu melainkan orang orang yang berpuasa. 

عن سهل بن سعد رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه و سلم قال : " إن في الجنة بابا يقال له الريان، يدخل منه الصائمون يوم القيامة، لا يدخل منه أحد غيرهم." متفق عليه

Artinya : dari Sahal bin Sa'ad bahwasanya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: " Di dalam surga terdapat sebuah pintu yang disebut dengan Arrayyan, masuk melalui pintu itu orang-orang yang berpuasa pada hari kiamat, tidak ada yang bisa masuk melaluinya selain orang-orang yang berpuasa". Muttafaq 'alaih

4. Puasa dapat menjadi syafaat di hari akhir kelak.

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda :

عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه و سلم قال : " الصيام والقرآن يشفعان للعبد يوم القيام" رواه أحمد و الطبراني في الكبير و رجال الطبراني رجال الصحيح

Artinya : Dari Abdullah bin Amru bin 'Ash radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Puasa dan Alquran akan menjadi syafa'at bagi hamba pada hari kiamat". Diriwayatkan oleh Ahmad dan Thabrani

5. Puasa merupakan sebab terampuninya dosa-dosa dan terhindarnya dari perbuatan yang buruk. 

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه و سلم : من صام رمضان إيمانا و احتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

Artinya : Dari Abi Huraira radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Barangsiapa yang berpuasa di Bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan perhitungan yang jelas, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya".

6. Puasa akan memberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat terhadap orang-orang yang mengerjakannya. 

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه و سلم قال : ... للصائم فرحتان يفرحهما : إذا أفطر فرح بفطره، و إذا لقي ربه فرح بصومه

Artinya : Dari Abu Hurairoh radhiyallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "... Bagi orang yang berpuasa dua kebahagian yang mereka berbahagia dengannya yaitu : ketika ia berbuka maka ia berbahagia karena berbukanya itu, dan ketika ia bertemu dengan Rabb-nya maka ia berbahagia karena puasanya".

7. Bau mulut orang yang berpuasa lebih baik di sisi Allah daripada minyak kasturi.

Mengapa? Karena bau mulut tersebut disebabkan oleh ibadah dan ketaatan yang tercipta dari orang yang berpuasa. Walaupun dalam pandangan sesama manusia bau mulut orang yang berpuasa merukapan sesuatu yang menjanggal, akan tetapi bau mulut ini mulia disisi Allah Ta'ala.

قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : والذي نفس محمد بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك

Artinya : Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Demi yang jiwa Muhammad ditangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa lebih baik di sisi Allah daripada minyak kasturi."

8. Puasa menjadi salah satu sebab dikabulkannya doa. 

Allah Ta'ala berfirman:

وَاِذَا سَأَلَـكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَإِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا يْ وَلْيُؤْمِنُوْابِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ

Artinya: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka memperoleh kebenaran." (QS. Al-Baqarah: Ayat 186)

Ayat ini Allah jelaskan di antara ayat ayat yang membahas tentang puasa, karena puasa memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan terkabulnya doa.

9. Puasa memberikan kesehatan dan kekuatan pada tubuh.

Ilmu kedokteran pun telah membuktikan bahwa dalam ibadah puasa terdapat begitu benyak manfaat untuk kesehatan. Diantaranya :
• Mengistirahatkan sistem pencernaan.
• Membantu dalam pengobatan infeksi atau peradangan.
• Membantu mengurangi kadar gula dalam darah.
• Membantu dalam pembakaran lemak.
• Membantu mengurangi tekanan darah tinggi.
• Membantu mengurangi berat badan, Dll.

Inilah beberapa keutamaan keutamaan puasa yang bisa penulis paparkan pada kesempatan kali ini. Karena bulan ramadhan yang tak lama lagi akan kita jumpai, maka wajib bagi kita untuk segera mempersiapkan diri menyambutnya. Di bulan suci tahun ini sepertinya kita akan menghadapi beberapa kesulitan. Karena seperti yang kita ketahui bersama, bahwa dunia sedang disibukkan dengan covid-19, yang mau tak mau akan berdampak pula terhadap pelaksanaan ibadah puasa tahun ini. Tapi bagaimanapun pelaksanaannya nanti, semoga tidak menjadi penghalang untuk kita melakukan ibadah kepada Allah Ta'ala. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah mendengarkan dan mentaati fatwa-fatwa ulama dan peraturan-peraturan pemerintah sebagai bentuk ikhtiar terbaik kita sebagai hamba.

Wallaahu a'lam.


________________
*Ditulis oleh: Yolanda Safitri, Mahasiswi Tahun 1 Jurusan Syari'ah Islamiyyah, Fakultas Dirasat Islamiyyah wal 'Arabiyah, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.


Sikap Muslim Menghadapi Virus Corona

Beberapa bulan terakhir kondisi dunia sangat mengkhawatirkan. Dengan munculnya suatu virus yang menyerang manusia yang ada disekitarnya. Virus memulai pergerakannya dari satu daerah, negara, antar negara, dan sekarang hampir seluruh dunia terserang wabah ini. Tidak jarang ada orang yang meninggal karena terpapar virus ini. Pergerakannya sangat cepat, dalam beberapa waktu saja bisa menyebar sampai antar negara, bahkan dunia. Virus ini adalah 2019 novel corona .

Hal ini tentu bukan terjadi dengan sendirinya, dan  bukan  tiba-tiba. Sesungguhnya semua ini sudah dituliskan ketetapannya oleh Allah subhaanahu wata’aala:

قُل لَّن یُصِیبَنَاۤ إِلَّا مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَنَاهُوَمَوۡلَىٰنَاۚ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلۡیَتَوَكَّلِ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ

Artinya: Katakanlah (Muhammad), “Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal.” (QS. At-Taubah ayat 51)

إِنَّ ٱللَّهَ یَفۡعَلُ مَا یَشَاۤءُ

Artinya: “Sesungguhnya, Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki”. (QS. Al-Hajj ayat 18)


Bagaimanakah sikap kita hendaknya sebagai seorang muslim menyikapi virus atau wabah ini? Sesungguhnya perkara ini sudah ada sebelumnya di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم أنها أخبرتنا أنها سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الطاعون فأخبرها نبي الله صلى الله عليه وسلم أنه كان عذابا يبعثه الله على من يشاء فجعله الله رحمة للمؤمنين فليس من عبد يقع الطاعون فيمكث في بلده صابرا يعلم أنه لن يصيبه إلا ما كتب الله له إلا كان له مثل أجر الشهيد

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengabarkan kepada kami bahwa ia bertanya kepada Rasulullah SAW perihal tha‘un, lalu Rasulullah SAW memberitahukannya, "Zaman dulu tha’un adalah siksa yang dikirimkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki oleh-Nya, tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang beriman. Tiada seorang hamba yang sedang tertimpa tha’un, kemudian menahan diri di negerinya dengan bersabar seraya menyadari bahwa tha’un tidak akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya, niscaya ia akan memperoleh ganjaran seperti pahala orang yang mati syahid’’(HR Bukhari).

Tha’un atau wabah bisa menjadi suatu hukuman atau bahkan menjadi rahmat. Menjadi hukuman atau ancaman bagi mereka yang kafir dan mengingkari Allah, dan menjadi rahmat bagi mereka yang bersabar dan yakin akan ketetapan Allah, menghapus dosa dan mengangkat derajat mereka.

قال أسامةُ بنُ زيدٍ: قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم:  الطَّاعونُ رِجْزٌ أُرسِل على بني إسرائيلَ أو على مَن قبْلَكم فإذا سمِعْتُم بهبأرضٍ فلا تقدَموا عليه وإذا وقَع بأرضٍ وأنتم بها فلا تخرُجوا فرارًا منه

Berkata Usamah Bin Zaid, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tha’un adalah siksa yang dikirimkan kepada Bani Israil atau kepada orang-orang sebelum kalian. Apabila kalian mendengar ada (tha’un) di suatu daerah, maka jangan mendatanginya. Dan apabila tha’un itu ada di suatu daerah dan kalian ada didalamnya, maka janganlah kalian lari dari-nya”.

Dari awal kita telah membicarakan tentang tha’un, wabah, dan virus. Apakah tha’un itu sama dengan wabah, atau justru ada perbedaan antara keduanya? Dan virus corona ini apakah masuk kepada klasifikasi tha’un atau wabah(waba’)?

Terjadi perbedaan diantara para ulama terkait permasalahan ini. Sebagian ulama menyamakan pengertian kata tha’un dan wabah. Kedua kata ini merujuk pada penyakit mematikan (berbahaya), menular, menyerang, serta memakan banyak korban jiwa.

Tapi ada beberapa ulama yang tidak sependapat dengan pendapat di atas, seperti Imam An-Nawawi dan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani. Imam An-Nawawi menyatakan bahwa kata Tha’un lebih khusus daripada kata wabah. Tha’un adalah luka bernanah yang muncul pada siku, tangan, jari, atau sekujur tubuh. Luka yang muncul disertai rasa panas, biasanya terjadi perubahan warna seperti hitam, merah, atau keunguan disekitar area luka. Gejala lainnya adalah peningkatan detak jantung dan muntah.

Adapun wabah atau waba’ (dalam bahasa arab) mengandung pengertian lebih umum dan lebih luas. Waba’  adalah penyakit tha’un itu sendiri, atau jenis penyakit lain yang dapat menyebar luas dengan cepat. Jenis penyakit waba’ dapat berbeda-beda, bisa jadi jenis penyakit yang belum terjadi sebelumnya, seperti 2019 corona virus ini.

Dapat disimpulkan berdasarkan perkataan ulama (yang membedakan antara tha’un dan waba’) bahwasannya setiap tha’un adalah waba’. Karena pada dasarnya tha’un yang terjadi dulu berbeda-beda.

Sebenarnya perbedaan ini tergantung kepada perbedaan bidang yang digeluti oleh masing-masing ulama. Ulama bahasa misalnya, memiliki pengertian sendiri terhadap kata tha’un dan waba’, begitu juga dengan ulama fikih, kedokteran, dan ulama-ulama lainnya.

Menurut Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Tha’un adalah bengkak atau memar yang muncul karena kenaikan atau tekanan darah pada anggota tubuh yang bengkak sehingga membuat bagian tersebut rusak. Adapun yang mengatakan penyebutan tha’un sama denga waba’ karena dilihat dari segi penyebarannya yang cepat dan jumlah korbannya.

Apakah cara menyikapi virus corona sama dengan menyikapi wabah tha’un?

Virus corona yang muncul baru-baru ini dapat disikapi dengan sikap yang sama dalam menghadapi tha’un. Karena virus corona adalah jenis wabah yang berbahaya, yang cepat menular, dan tak jarang ada yang meninggal karenanya, begitu pula dengan tha’un.

Lalu, bagaimanakah sikap seorang muslim hendaknya dalam menghadapi perkara ini?

1. Meyakini dengan sepenuh hati bahwasanya ujian (virus corona) ini adalah kehendak Allah subhaanahu wata’aala. Maka berusahalah untuk sabar dalam menghadapi ini semua.

Sebagaimana yang telah dikatakan di awal tadi, bahwasanya segala yang terjadi baik di langit atau di bumi telah Allah tuliskan ketetapannya jauh sebelum penciptaan manusia.


مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَاۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (QS.Al-Hadid ayat 22)

لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَاتَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْۗ وَاللَّهُ لَايُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (QS.Al-Hadid ayat 23).

Kenapa Allah menyuruh kita untuk yakin dan sabar akan ketetapannya? Karena virus atau wabah yang Allah kirimkan ini bisa menjadi siksa atau rahmat bagi makhluknya. Bagi orang-orang kafir dan ahli maksiat, ujian ini menjadi siksa bagi mereka, adapun rahmat bagi hamba Allah yang beriman serta sabar akan ketetapan Allah, dan Allah akan memberikannya derajat yang tinggi.

2. Islam mengajarkan kita agar kembali kepada panduan-panduan agama (ketika mengahadapi suatu persoalan), sesuai dengan persoalan masing-masing. Contohnya perkara virus corona ini.

Dalam perkara ini, adanya dalil tentang pelarangan mendatangi lokasi yang pada dasarnya terkena wabah, dan juga pelarangan untuk keluar dari tempat yang terkpapar virus atau wabah.

Sebagaimana disebutkan dalam hadis Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :

عن عبد الرحمن بن عوف رضي الله عنه قال: قال رسول الله صل الله عليه وسلم: إذا سمعتم به بأرضٍ فلا تقدموا عليه،. وإذا وقع بأرضٍ وأنتم بها فلا تخرجوا فرارا فمنه

“Apabila kalian mendengar ada (tha’un) di suatu daerah, maka jangan mendatanginya. Dan apabila tha'un itu ada di suatu daerah dan kalian ada di dalamnya, maka janganlah kalian lari darinya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Pada suatu ketika 'Umar bin Khattab pergi ke Syam. Setelah sampai di Saragh, pimpinan tentaranya di Syam datang menyambutnya. Antara lain terdapat Abu 'Ubaidah bin Jarrah dan para sahabat yang lain. Mereka mengabarkan kepada 'Umar bahwa wabah penyakit sedang berjangkit di Syam. Umar kemudian bermusyawarah dengan para tokoh Muhajirin, Anshor dan pemimpin Quraish.

Lalu 'Umar menyerukan kepada rombongannya, "Besok pagi-pagi aku akan kembali pulang. Karena itu bersiap-siaplah kalian!" Abu 'Ubaidah bin Jarrah bertanya, "Apakah kita hendak lari dari takdir Allah?" Jawab 'Umar, "Mengapa kamu bertanya demikian hai Abu 'Ubaidah?" Agaknya 'Umar tidak mau berdebat dengannya. Dia menjawab, “Ya, kita lari dari takdir Allah kepada takdir Allah."

Bagaimana pendapatmu, seandainya engkau mempunyai seekor unta, lalu engkau turun ke lembah yang mempunyai dua sisi. Yang satu subur dan yang lain tandus. Bukankah jika engkau menggembalakannya di tempat yang subur, engkau menggembala dengan takdir Allah juga, dan jika engkau menggembala di tempat tandus engkaupun menggembala dengan takdir Allah?". Tiba-tiba  datang 'Abdurrahman bin 'Auf yang sejak tadi belum hadir karena suatu urusan. Lalu dia berkata, "Aku mengerti masalah ini. Aku mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, ”Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu terrjangkit di negeri tempat kamu berada, maka janganlah keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri." Ibnu 'Abbas berkata, "Umar bin Khaththab lalu mengucapkan puji syukur kepada Allah, setelah itu dia pergi". (HR Bukhari dan  Muslim).

Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan  bahwa adanya larangan mendatangi tempat yang terpapar virus (penyakit) itu dikhawatirkan akan menularkan virus kepada siapapun yang mendatangi tempat tersebut. Dan larangan untuk keluar dari tempat yang terpapar virus atau wabah itu agar yang lain tidak terjangkit virus itu.

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ

Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, "Janganlah  yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat." (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Kalau melihat kondisi sekarang (kondisi di mana di beberapa daerah sudah diwajibkan karantina diri di rumah masing-masing dalam kurun waktu yang ditentukan guna mencegah penularan virus corona yang begitu cepat), beberapa dari masyarakat masih ada yang harus keluar rumah untuk bekerja, untuk itu disarankan agar tetap menjaga kebersihan baik ketika bekerja atau ketika telah pulang bekerja, serta memakai perlengkapan yang bisa mencegah penyebaran virus tersebut. Ini salah satu bentuk ikhtiar kita.

Yakinlah wahai orang-orang yang beriman, bahwa di kala kita mengikuti panduan dan syariat Allah, serta melakukan apa yang diperintahkan agar terhindar dari wabah ini, insya Allah kita akan dijaga oleh Allah.

3. Berobat

a. Pengobatan Syar'i.

Kita sebagai seorang muslim yang beriman tentunya, di kala sehat diperintahkan untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak doa, zikir, shalat, sedekah, dan meminta tobat kepada Allah subhaanahu wata’aala. Apalagi ketika Allah menguji kita dengan suatu penyakit, salah-satunya terkena virus corona ini. Jika kita dekat dengan Allah, apapun ketetapan Allah kita akan lapang menerimanya.

لا يكلف الله نفسا إلا وسعها

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. (QS Al-Baqarah ayat 286)

إن الدعاء ينفع مما نزل و مما لم ينزل، فعليكم عباد الله بالدعاء

“Sesungguhnya doa akan bermanfaat terhadap apa yang sudah ditetapkan dan apa yang belum ditetapkan, maka hendaklah kalian memperbanyak doa”. ( HR Tirmizi ).

• Biasakanlah diri untuk membaca doa ketika hendak keluar rumah.

بسم الله توكّلت على الله لا حول ولا قوة إلا بالله

“Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya kekuatan melainkan dengan Allah”.

• Perbanyaklah Shalat.

Diriwayatkan dari Imam Ahmad dan Abu Daud bahwasanya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, jika dihadapkan dengan suatu masalah, pasti beliau langsung melaksanakan shalat.

• Memperbanyak Amal Sholeh.

Sesungguhnya perbuatan kebaikan dan ketakwaan kepada Allah akan menjauhkan dari segala masalah berat.

• Memperbanyak Sedekah

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya sedekah itu akan meredam murka Allah, dan juga dapat menghindari dari mati yang buruk”

b. Berobat ke Dokter

Jika diperlukan, maka berobatlah ke dokter, agar kita bisa mengetahui, tindakan apa yang harus kita lakukan jika terjangkit virus atau tidak sesuai dengan prosedur medis.

Waallahu a’lam.


________________
*Ditulis oleh: Mahasiswi, Jurusan Ushuluddin, Fakultas Dirasat Islamiyah wal 'Arabiyah, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.


Bagaimana Cara Shalat Para Medis Covid-19?

Tim Medis Covid-19 merupakan garda terdepan dalam menghadapi serangan virus Corona atau Covid-19. Sebagai tim medis, dokter dan perawat  pasien Covid-19 dilengkapi dengan Alat Pelindung Diri (APD) atau lebih dikenal dengan Baju Hazmat. Baju ini apabila sudah dipasang, tidak dibuka lagi selama 8 sampai 10 jam. Bahkan, untuk minum saja mereka (tim medis) tidak berani membukanya. Sebab, jika terbuka sedikit saja khawatir semua bagian tubuh yang sudah ditutupi baju hazmat dapat tertular dan menyebarkan virus corona yang sedang ditangani. Di samping itu, harga baju ini lumayan mahal, persediaan baju ini juga sangat terbatas dan hanya dapat dipakai untuk satu kali penggunaan saja. Setelah dibuka, baju tidak boleh dipakai lagi dan segera disimpan di kantung infeksius.


Dengan keadaan seperti ini, akan muncul pertanyaan : bagaimana pelaksanaan ibadah shalat lima waktu bagi para medis; perawat dan dokter pasien covid-19 yang menggunakan APD atau Baju Hazmat? Sebab APD tak dapat dibuka selama 8 atau 10 jam, sehingga pemakai APD tidak bisa bersuci dengan berwudhu atau tayamum karena tuntutan tugas kerja mereka harus cepat dan dalam waktu yang lama.


Syariat Islam pada prinsipnya memudahkan bukan menyulitkan, sebagaimana firman Allah SWT:

يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Artinya: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu". (Qs. Al Baqarah: 185)

يُرِيدُ اللهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا

Artinya: "Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan bersifat lemah". (Qs. An Nisa: 28)

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ

Artinya: "Dan Dia (Allah) tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam beragama". (Qs. Al Hajj: 78)

Oleh karenanya, ada dua cara bagi para medis dan perawat pasien covid-19 agar tetap dapat melaksanakan shalat wajib saat merawat dan mengobati pasien:

1. Jadwal merawat dan mengobati dijadwalkan sesuai dengan waktu shalat. Umpamanya, mulai bekerja jam 06.00 sampai jam 14.00 sehingga ia dapat melaksanakan shalat pada waktunya. Atau bagi yang  waktu tugasnya mepet dengan waktu shalat maka bisa melakukan jama’ (menggabungkan shalat yang bisa digabung karena sebab dan syarat tertentu; seperti menggabung shalat zhuhur dengan ashar, bisa dilaksanakan pada waktu zahur (jama' taqdim) atau dilaksanakan pada waktu ashar (jama' ta'khir), atau menggabung shalat maghrib dengan isya, bisa dilaksanakan pada waktu magrib (jama' taqdim) atau dilaksanakan pada waktu isya (jama' takhir).

Dengan catatan:

- Niat Jama' dilakukan pada waktu shalat yang pertama kalau Jama' Ta'khir. Contoh: seorang perawat ingin men-jama' ta'khir shalat zhuhur dan ashar. Ketika waktu shalat zhuhur masuk, maka perawat tersebut sudah memasang niat jama ta'khir walaupun shalat zhuhurnya akan dilaksanakan nanti di waktu Ashar.

Jika Jama' Taqdim, maka niatnya dilakukan ketika memulai shalat pertama. Contoh: seorang perawat ingin men-jama' taqdim shalat zhuhur dan ashar. Maka, niat jama' taqdim dilakukan ketika memulai shalat zhuhur (shalat yang pertama dilakukan). Setelah selesai shalat zhuhur, perawat langsung melanjutkan dengan shalat ashar.

- Menjama' (menggabung) sholat disini bukan meng-qashar (meringkas), jadi setiap sholat yang di jama' jumlah rakaatnya tetap sama seperti biasa.

Dar Al ifta Al Mishriyah (Lembaga Fatwa Mesir) menyatakan bahwa mengobati pasien merupakan bagian dari uzur yang membolehkan untuk menjama' (menggabung) shalat [1].



2. Jika tidak memungkinkan melaksanakan shalat pada waktunya dan juga tidak bisa men-jama’  shalat, maka para medis bisa dikategorikan Faqid At-Thahurain orang yang tidak bisa bersuci; yaitu tidak bisa wudhu’ dan tayamum.

Prof. Dr. Wahbah Zuhaily menjelaskan dalam kitabnya Alfiqhu Al Islaamy wa Adillatuhu [2] :

فاقد الطهورين: هو فاقد الماء والتراب، كأن حبس في مكان ليس فيه واحد منهما، أو في موضع نجس لا يمكنه إخراج تراب مطهر. أو كأن وجد ما هو محتاج إليه لنحو عطش، أو وجد ترابا نديا ولم يقدر على تجفيفه بنحو نار. ومثله المصلوب وراكب سفينة لا يصل إلى الماء. ومثله: من عجز عن الوضوء والتيمم معا بمرض ونحوه، كمن كان به قروح لا يستطيع معها مس البشرة بوضوء ولا تيمم.

Faqid At-thohurain itu adalah orang yang tidak mendapati air dan debu (tanah), seperti orang yang dikurung di suatu tempat yang tidak terdapat padanya salah satu dari dua hal itu (air dan debu), atau di tempat yang bernajis yang tidak memungkinkannya untuk mengeluarkan debu yang dapat mensucikan, atau dia mendapati sesuatu (hewan) yang lebih memerlukan air karena haus, atau dia mendapatkan tanah yang lembab tapi tidak mampu untuk mengeringkannya seperti dengan menggunakan api, dan seperti itu juga orang yang disalib dan orang yang sedang berada di kapal dan tidak bisa mendapatkan air, dan seperti itu juga siapa yang tidak mampu untuk berwudhu dan bertayamum karena suatu penyakit atau hal lain, seperti orang yang memiliki luka yang tidak bisa terkena air wudhu atau debu tayamum.

Adapun hukum shalat orang yang masuk kategori Faqid Aththohurain ini, Ulama terbagi kepada dua pendapat:

1. Menurut Jumhur Ulama (Hanafiyah, Syafi'iyah, Hanabilah): Dia wajib melaksanakan shalat pada waktunya. Akan tetapi, ia mesti mengulangi sholatnya (ketika bisa berwudhu atau bertayamum) menurut Hanafiyah dan Syafi'iyah. Sedangkan menurut Hanabilah, dia tidak perlu mengulangi shalatnya atau shalat yang dilaksanakan tanpa wudhu dan tayamum pada waktunya sudah cukup.
2. Menurut pendapat yang mu'tamad dalam Mazhab Malikiyah kewajiban sholatnya gugur.

Adapun rincian cara shalat bagi Faqidu Aththahurain menurut empat mazhab fiqih sebagai berikut:

Mazhab Hanafi: Orang yang tidak bisa wudhu dan tidak bisa tayamum (Faqidu Aththahurain) maka dapat melakukan shalat dengan gerakan shalat tapi tidak perlu membaca Alfatihah dan bacaan lainnya. Namun setelah memungkinkan maka ia mengganti shalatnya secara sempurna (meng-qadha shalat).

Mazhab Maliki: Bagi Faqidu Aththahurain tidak wajib baginya shalat dan tidak wajib qhada. Cukup menunjukkan ketundukan kepada Syariat Allah dalam hati.

Mazhab Syafi’iy: Bagi Faqidu Aththahurain ia wajib shalat seperti apa keadaannya, sempurna semua rukun shalat untuk menghormati waktu (lihurmatil waqti) dan setelah memungkinkan shalat secara sempurna maka ia wajib mengulangi shalatnya (qadha shalat) secara sempurna pula. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Prof. Dr. Wahbah Zuhaily.

Mazhab Hanbali: Bagi Faqidu Aththahurain, hendaklah ia shalat sebagaimana mestinya meskipun tidak berwudhu dan tidak tayamum dan ia tidak wajib mengulangi shalatnya (tidak wajib qadha).

Referensi:
[1]. Fatwa Dar Al Ifta Al Mishriyah: Al Jam'u bainas Shalawaat bi Sababil 'Amal
[2]. Wahbah Zuhaily, Alfiqhu Al Islamy wa Adillatuhu, Cet. Darul Fikr Suriah, Jilid 1, Hal: 606.

___________________

* ditulis oleh: Andi Kurniawan, Lc.