Hukum Praktek Bayi Tabung dalam Islam - Permasalahan Fikih Kontemporer

Buah hati tentu menjadi dambaan bagi setiap pasangan suami-istri setelah melangsungkan pernikahan yang sah. Akan tetapi, kadang terdapat suatu keadaan yang menghalangi istri untuk menghasilkan seorang anak. Boleh jadi, hal yang menghalangi tersebut terdapat pada suami ataupun istri. Maka dari itu, mereka akan berupaya untuk mendapatkan buah hati walau dengan cara (maaf) yang tidak normal. Salah satunya dengan cara bayi tabung yang prosesnya tidak banyak diketahui oleh banyak orang.

Mungkin beberapa dari kita masih ada yang merasa asing mendengar istilah bayi tabung, atau pernah mendengar hal tersebut tapi tidak mengetahui proses atau hal yang terjadi dalam praktek tersebut. Karena, jarang sekali masyarakat umum mau mengambil praktek tersebut sebagai bentuk usaha mereka untuk mendapatkan anak. Hal ini yang membuat praktek ini tidak terlalu dikenal dalam masyarakat yang mana umumnya masyarakat memiliki anak dengan cara normal. Praktek ini juga jarang dilakukan oleh khalayak umum karena biaya yang cukup mahal serta praktek yang tidak bisa dilakukan di rumah sakit biasa saja.

Dalam Islam, Allah SWT telah mengatur semua urusan manusia dalam berbagai aspek kehidupan tanpa terkecuali sedikit pun. Dari bangun tidur hingga manusia kembali tidur, semua telah tercantum dalam Alquran dan Sunnah Nabi SAW. Akan tetapi, arus zaman yang begitu cepat dan lajunya perkembangan peradaban manusia memunculkan berbagai permasalahan yang kadang hukumnya belum ditetapkan secara langsung dalam Islam. Maka dari itu, dibutuhkan ijtihad dari berbagai ulama dalam menetapkan hukum permasalahan tersebut, supaya tidak mendatangkan kerancuan di kalangan awam mengenai halal atau haramnya suatu perkara tersebut.

Adapun permasalahan bayi tabung, hukumnya belum diketahui secara langsung, karena tidak adanya nash yang termaktub dari Alquran dan Sunnah mengenai hukum dari perkara tersebut. Oleh karena itu, penulis akan membahas beberapa pembahasan ringkas tentang bayi tabung, proses terjadinya dan hukum dari praktek tersebut dalam perspektif Islam. Agar hilang kerancuan dan keraguan pada kalangan masyarakat tentang hukum boleh atau haramnya perbuatan tersebut. Sehingga apabila praktek bayi tabung ini dibolehkan, bisa menjadi solusi bagi pasangan yang sedang menginginkan seorang buah hati. Akan tetapi, apabila hal ini diharamkan dalam syariat karena adanya mudharat yang lebih besar daripada manfaat yang akan diperoleh , maka ini menjadi bentuk penghindaran dan pencegahan dari perbuatan tersebut.


Apa itu Bayi Tabung?

Pembahasan mengenai bayi tabung merupakan pembahasan mengenai pembuahan yang dilakukan dengan bantuan medis, atau disebut juga dengan pembuahan buatan. Proses ini bertujuan terjadinya pembuahan antara sel sperma dan sel telur tanpa melakukan hubungan seksual secara normal, baik itu dilakukan di dalam ataupun di luar tubuh perempuan.

Pembuahan dengan mengambil sel sperma yang kemudian diletakkan ke dalam organ kelamin perempuan dinamakan dengan pembuahan didalam. Adapun pembuahan dengan mengambil sel sperma dan sel telur kemudian memasukkannya ke dalam suatu wadah lalu diletakkan kembali ke rahim dinamakan dengan pembuahan diluar.

Akan tetapi, praktek ini mesti memenuhi syarat dan ketentuan tertentu, yaitu:
 Praktek ini hanya dilakukan antara suami-istri yang sah.
 Tujuannya adalah sebagai bentuk pengobatan bagi suami atau istri yang memiliki penyakit yang menghalangi terjadinya pembuahan secara normal seperti penyakit kesuburan.
 Praktek ini mesti dilakukan sesuai dengan prosedur resmi yang ditetapkan oleh Badan Kedokteran  Internasional.
 Tidak bertujuan untuk memperbaiki keturunan yang akan mengakibatkan pencampuran nasab.

Sebagaimana yang telah disebutkan di awal, pembuahan yang dibantu dengan medis ini dibagi menjadi dua macam, yaitu :
a) Pembuahan yang dilakukan di dalam tubuh perempuan, dinamakan dengan pembuahan buatan di dalam ( التلقيح الصناعي الداخلي).
b) Pembuahan yang dilakukan di luar tubuh perempuan, dinamakan dengan pembuahan buatan di luar (التلقيح الصناعي الخارجي). Proses ini juga dinamakan dengan proses bayi tabung.

Mari kita bahas kedua macam pembuahan ini satu per-satu beserta hukum dari masing-masing proses pembuahan tersebut:

Bagaimana Proses Terjadinya Bayi Tabung?

1. Pembuahan Buatan di Dalam (الداخلي)

Pembuahan buatan di dalam, terjadi apabila pembuahan sel sperma dan sel telur bertemu di organ kelamin perempuan. Pembuahan ini memiliki berbagai macam bentuk, terkadang terjadi antara suami dan istri saja dan terkadang pula terjadi di luar hubungan pernikahan. Masing-masing dari gambaran tersebut memiliki hukum yang berbeda. Berikut rinciannya:

a) Pembuahan yang Terjadi antara Suami dan Istri

Apabila pembuahan terjadi antara hubungan suami-istri yang sah dengan tujuan pengobatan, yang disebabkan karena adanya hal yang membuat pasangan tersebut terhalang untuk memiliki seorang bayi, maka hukumnya boleh menurut ulama, karena sel sperma diperoleh dari laki-laki yang memiliki hubungan pernikahan yang sah dengannya.

Maka dari itu, apabila nanti istri telah melahirkan seorang anak, maka nasabnya akan dinisbahkan kepada ayahnya yaitu sang suami sebagaimana proses pembuahan melalui hubungan seksual secara normal.

Jika pembuahan tersebut memiliki tujuan lain seperti memilih jenis kelamin bayi, maka praktek ini akan menyebabkan ketidak-seimbangan antara kelamin laki-laki dan perempuan karena pada umumnya suami-istri akan cenderung untuk melahirkan seorang anak laki-laki dibanding anak perempuan. Tentu hal tersebut menyebabkan kemudaratan yang lebih banyak daripada manfaat bayi tabung itu sendiri.

b) Pembuahan antara Sel Telur Istri dan Sel Sperma yang Bukan dari Suaminya

Pembuahan ini terjadi apabila sang suami mengalami kemandulan pada sel spermanya, karena sel sperma suami tak memungkinkan untuk melakukan pembuahan terhadap sel telur dari istrinya baik secara normal maupun secara buatan dan tidak pula bisa diobati. Pada keadaan ini, suami dan istri pergi ke suatu bank yang menampung berbagai macam sperma untuk membeli sel sperma tersebut atau boleh jadi ada seseorang yang memberikan sel spermanya kepada suami-istri tersebut. Kemudian dilakukanlah pembuahan dengan sel sperma yang berasal dari orang ketiga.

Maka hokum praktek jenis ini haram dan tidak boleh dilakukan menurut kesepakatan ulama, karena sel sperma diperoleh dari orang asing yang tidak memiliki hubungan pernikahan dengan sang istri. Apabila istri melahirkan seorang bayi, maka nasabnya tidak bisa dinisbahkan kepada suaminya karena sel sperma tidak berasal dari suami melainkan dari orang asing yang tak jelas asal-usulnya. Proses pembuahan ini juga akan mengakibatkan pencampuran nasab yang sama seperti nikah istibdha’.[1]

c) Pembuahan yang Terjadi di Luar Hubungan Pernikahan

Pada bagian ini, perempuan melakukan pembuahan dengan sel sperma yang bukan berasal dari hubungan pernikahan yang sah. Seperti, perempuan pergi ke Bank Sperma untuk membeli sel sperma kemudian melakukan pembuahan dengan sel sperma tersebut. Hal ini sudah banyak terjadi di negara-negara Eropa yang mana mereka menjual berbagai macam sel sperma yang berasal dari orang-orang hebat, jenius, terkenal, dll.

Inti permasalahan pembuahan jenis ini sama dengan seperti nikah istibda’, yang mana perempuan melakukan pembuahan dengan tujuan memperbaiki keturunan. Hukumnya haram secara mutlak karena adanya hadist Nabi SAW yang menjelaskan pengharaman hal tersebut. Apabila perempuan tersebut melahirkan seorang anak, maka anak yang dilahirkan tidak dinasabkan kepada pemilik sel sperma, akan tetapi hanya kepada si perempuan. Serupa dengan anak hasil zina.

d) Pembuahan yang Terjadi antara Sel Telur dari Orang Luar yang Diletakkan ke Rahim Istri.

Pembuahan ini terjadi apabila ovarium[2] istri mengalami suatu penyakit yang menyebabkan istri tidak bisa menghasilkan sel telur. Akan tetapi, rahimnya sehat dan mampu untuk melakukan pembuahan. Adapun suami memiliki sel sperma yang sehat dan mampu untuk melakukan pembuahan. Maka pada masalah ini, sel sperma diambil dari suami lalu dilakukan pembuahan dengan sel telur yang bukan berasal dari istri yaitu orang ketiga yang memiliki sel telur yang sehat untuk dibuahi. Kemudian setelah terjadi pembuahan, dokter akan mengangkat hasil pembuahan dari rahim orang ketiga tadi, lalu diletakkan ke dalam rahim istri yang rahimnya mampu untuk menerima hasil pembuahan.

Maka pada gambaran ini, ulama meng-haram-kan perbuatan tersebut, sebab pembuahan tersebut terjadi antara sel sperma suami dan sel telur orang lain yang tidak memiliki hubungan pernikahan antara mereka berdua. Adapun anak yang dihasilkan dari pembuahan tersebut, nasabnya tidak dinisbahkan kepada suami karena ia disamakan dengan anak hasil zina. Nasabnya akan dinisbahkan kepada ibu yang mengandung dan melahirkannya.

2. Pembuahan Buatan di Luar (الخارجي)


Pembuahan buatan di luar terjadi apabila pembuahan sel sperma dan sel telur terjadi di luar organ kelamin perempuan. Proses pembuahan yang terjadi diluar ini, juga dinamakan dengan bayi tabung. Pada proses ini, sel sperma dan sel telur yang telah diambil, diletakkan dalam sebuah wadah lalu dilakukan pembuahan disana. Kemudian setelah melalui beberapa fase, hasil pembuahan diletakkan kembali ke dalam rahim perempuan untuk dilangsungkannya perkembangan janin. Pembuahan ini juga memiliki berbagai macam bentuk. Berikut berbagai bentuk gambaran pembuahan buatan di luar beserta hukumnya:

a) Pembuahan yang terjadi antara sel telur istri dan sel sperma suami, kemudian diletakkan kembali ke rahim istri.

Pembuahan ini terjadi apabila rahim dan ovarium istri sehat, tetapi ada suatu penyakit yang menghalangi terjadinya pembuahan secara normal ataupun pembuahan di dalam, baik penyakit itu terjadi di tuba fallopi, vagina atau leher rahim atau boleh jadi adanya masalah pada sel sperma suami.

Pada proses ini, karena tidak adanya hubungan dengan orang ketiga. Maka hukumnya boleh sebagai bentuk pengobatan disebabkan sulitnya terjadi pembuahan di antara pasangan suami-istri . Tatkala proses ini menghasilkan seorang anak, maka anak ini merupakan anak biologis yang sah dari pasangan suami istri tersebut karena sel sperma dan sel telur diambil dari keduanya. Proses ini sama seperti anak yang dihasilkan dari hubungan seksual secara normal.

b) Pembuahan yang terjadi antara sel telur orang lain dengan sel sperma suami atau sebaliknya, kemudian diletakkan ke rahim istri.

Gambaran praktek pembuahan ini, apabila istri tidak memiliki ovarium atau dia memilikinya tetapi terdapat penyakit di ovarium tersebut yang menghambatnya untuk menghasilkan sel telur adapun rahim dan organ kelaminnya sehat. Sedangkan sel sperma suami sehat dan mampu untuk melakukan pembuahan. Dalam keadaan ini, istri membeli sel telur dari orang asing agar dilakukannya pembuahan terhadap sel sperma suami. Lalu, pembuahan yang dihasilkan diletakkan ke rahim istri.

Dalam hal ini, tentu saja pembuahan ini tidak boleh dilakukan, karena pembuahan tersebut melibatkan sel telur orang asing yang tidak memiliki hubungan pernikahan dari pasangan tersebut. Adapun anak yang dihasilkan, bukan anak biologis dari keduanya karena dianggap seperti anak zina. Maka, jika hal seperti ini terjadi nasabnya tidak bisa dinisbahkan kepada suami, tetapi hanya pada istri disebabkan adanya pencampuran nasab.

c) Pembuahan yang terjadi antara sel telur perempuan lain dengan sel sperma laki-laki lain, kemudian diletakkan ke rahim perempuan lain pula.

Pembuahan ini terjadi antara tiga orang yang tidak memiliki hubungan apapun, baik pemilik sel sperma, pemilik sel telur ataupun pemilik rahim. Digambarkan apabila pasangan suami istri keduanya mengalami kemandulan, lalu pasangan tersebut membeli sel sperma dan sel telur dari orang lain untuk dilakukan pembuahan dan meletakkan hasil pembuahan ke perempuan lain. Kemudian anak yang dihasilkan dari pembuahan tersebut dinisbahkan kepada pasangan suami-istri yang mengalami kemandulan.

Hukumnya sudah jelas haram untuk dilakukan, karena adanya keterlibatan sel sperma dan sel telur orang lain yang tidak memiliki hubungan apapun dengan keduanya.

d) Pembuahan yang terjadi antara sel telur istri dengan sel sperma suami yang telah wafat, kemudian diletakkan ke rahim istri.

Pembuahan ini terjadi apabila mantan suami memiliki cadangan sel sperma di bank sperma, atau suami-istri ini memiliki hasil pembuahan atau janin dari mereka berdua disana. Akan tetapi, setelah wafatnnya suami, istri mengambil cadangan sel sperma mantan suaminya atau hasil pembuahan mereka berdua berupa janin yang ada di bank sperma atau bank janin dan menanamkannya kedalam rahimnya.

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Menurut Imam Syafi'i, anak yang dihasilkan dari pembuahan tersebut nasabnya bersambung kepada ayahnya yang telah wafat dan mendapatkan warisan dari ayahnya karena Ulama Syafi'iyyah berpandangan adanya wujud mani maka dianggap telah memiliki keberadaan walaupun pemilik mani telah wafat karena mani merupakan asal-mula adanya janin. Akan tetapi, menurut Jumhur Ulama pembuahan ini tidak boleh dilakukan karena telah berakhirnya hubungan suami-istri antara keduanya dengan kematian. Asal-mula terwujudnya janin bukan terjadi dari mani saja, tetapi membutuhkan sel telur juga. Adapun untuk permasalahan nasab, ulama bertawaquf dalam masalah ini disebabkan adanya dua  kemungkinan bisa dinasabkan atau tidak bisa dinasabkan.

Kesimpulan

Setiap pasangan suami-istri pasti mengharapkan kehadiran sang buah hati dalam kehidupan rumah tangga mareka yang kehadirannya dapat menghiasi rumah tangga tersebut dan menjadi generasi penerus dari keluaraga tersebut. Akan tetapi, terkadang didapati suatu masalah yang memang tidak diinginkan dari setiap pasangan suami istri yaitu terhalangnya mereka untuk mendapatkan seorang bayi melalui hubungan seksual secara normal. Hal itu bisa disebabkan suatu penyakit berupa kemandulan, penyakit pada kelamin, dll. Tentu masalah ini menjadi masalah serius yang mesti mendapatkan jalan keluarnya.

Maka dari itu, ada pasangan suami-istri yang mengadopsi anak dan adapula yang menempuh cara lain seperti pembuahan buatan. Pembuahan buatan ini memiliki berbagai macam bentuk dan hukum tergantung pada siapa pembuahan itu dilakukan. Di sisi lain, adapula pasangan suami-istri yang menerima dengan ikhlas takdir tersebut sebagai ujian kehidupan bagi mereka berdua.

Terlepas dari semua itu, Allah SWT-lah yang berkehendak atas segala sesuatu. Boleh jadi, Allah Ta’ala mengaruniai suatu pasangan memiliki anak dan boleh jadi sebaliknya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Asy-Syura ayat 49-50:

لِلَّهِ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ يَهَبُ لِمَن يَشَآءُ إِنَٰثٗا وَيَهَبُ لِمَن يَشَآءُ ٱلذُّكُورَ ٤٩ أَوۡ يُزَوِّجُهُمۡ ذُكۡرَانٗا وَإِنَٰثٗاۖ وَيَجۡعَلُ مَن يَشَآءُ عَقِيمًاۚ إِنَّهُۥ عَلِيمٞ قَدِيرٞ ٥٠

Artinya : “milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. (49) atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan mandul bagi siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”(50)

Oleh karena itu, kita hendaknya selalu mensyukuri apa-apa yang telah Allah Ta’ala anugerahkan kepada kita. Karena, boleh jadi apa yang Allah berikan kepada kita itu merupakan apa yang diinginkan oleh orang lain.

Keterangan:
[1] Nikah Istibdha’ merupakan pernikahan yang mana si suami menyuruh istrinya untuk ditiduri oleh orang tertentu dari kalangan pemimpin dan pembesar supaya melahirkan anak seperti pembesar tersebut.
[2] Ovarium, yaitu tempat dihasilkannya sel telur yang merupakan sel kelamin perempuan.


_________________
*Ditulis oleh : Aqilla Annaufal, Mahasiswa Jurusan Syariah Islamiyyah, Fakultas Syari'ah wal Qonun, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.


Share To:

FS Almakki

Post A Comment:

0 comments so far,add yours