Langsung ke konten utama

Tenggelamnya Sejarah dan Peradaban Masa Lampau

From : ig/@muslimarchive
Bentuk ketundukan dan kepatuhan seorang hamba yang sejati tergambarkan secara sempurna dalam gerakan sujud.


Muqadimah 

Ketamakan akan kekuasaan dan kepentingan individu atau suatu kelompok, selalu saja menjadi background kelam bagi suatu kepemimpinan. Perebutan kekuasaan melalui jalur peperangan menjadi momok yang mampu menghancurkan peradaban.
Dari masa ke masa kita selalu memperhatikan kecemerlangan dari kekhalifahan islam. Mereka mampu membentuk peradaban maju, baik dalam teknologi, politik, sosial, dan lain hal. Namun ada kalanya, perhatian yang hanya tertuju pada titik emas itu, menjadi bumerang yang pada akhirnya menutup mata para pewaris akan adanya bahaya dan tantangan dalam membentuk peradaban emas tersebut.
Mulai dari masa empat khalifah yang agung, lebih tepatnya pada masa kepemimpinan sahabat yang mulia ‘Utsman bin Al-‘Affan, telah muncul berbagai macam fitnah yang pada akhirnya mendorong pihak lain untuk melakukan pergerakan. Keputusan ‘Utsman رضي الله عنه dalam mengangkat wazir dan bawahan yang sebagian besar diisi oleh karib kerabatnya, menjadikan mereka marah dan merasa terdapat ketidakadilan dalam kepemimpinannya, hingga berakhir pada tragedi pembunuhan terhadap sahabat yang mulia.

Pada masa ‘Ali bin Abi Thalib, terjadi peristiwa memilukan tatkala pertikaian antara Ali dan Aisyah memanas. Ditambah masuknya pihak luar yang berlakon sebagai kompor, oknum yang semakin memanasi konflik yang terjadi. 

Rentetan peristiwa ini pada akhirnya, akan menjadi titik awal dari pertikaian yang terus-menerus terjadi dari zaman ke zaman. Bahkan hingga berakhirnya masa Dinasti Ummurah, dan berlanjut ke masa Dinasti Abasiyyah. 

Golden Ages yang berhasil dibentuk oleh masing-masing kekhalifahan tentu tidak kita nafikan. Namun dalam rangka menangkal penyakit dalam inti pemerintahan yang berkuasa guna menciptakan kembali masa-masa emas umat islam, tentu perhatian terhadap plus dan minus dari masing-masing kekhalifahan tidak boleh kita diamkan tanpa dibahas dengan lebih terperinci.

Sumber:
تاريخ الدولة العلية العثمانية (محمد فريد باشا)
هكذا ظهر جيل صلاح الدين وهكذا عادات القدس (د. ماجد عرسان الكيلاني)




Bagian 1: Sang Khalifah

Pembahasan ini akan kita mulai dari masa kekhalifahan sahabat yang mulia ‘Utsman bin Al-‘Affan.
Diantara prestasi gemilang beliau رضي الله عنه ialah tadwin Al-Qur’an, yang menjadi salah satu sebab terjaganya Al-Qur’an dari penyelewengan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
‘Utsman berhasil mengirimkan mushaf-mushaf tersebut ke berbagai wilayah kekuasaan islam, dan menjadikannya sebagai satu-satunya patokan dari ayat Al-Qur’an, mana yang benar, dan mana yang tidak benar. Akhirnya, keaslian Al-Qur’an yang kita temukan pada saat ini, biiznillah juga melalui peranan sahabat ‘Utsman bin Al-‘Affan.

Pada masanya juga sebagian wilayah-wilayah di Afrika akhirnya mampu di taklukan, diantaranya ialah Tunisia, Jazair, dan Marrakesh (kini menjadi salah satu kota di Maroko). Ia juga mengusahakan pembebasan negri Andalus, meski pada akhirnya yang benar-benar berhasil menaklukannya adalah seorang khalifah pada masa Dinasti Umayyah, yaitu Al-Walid bin Abdul Malik (Khalifah ke enam bani umawiyyah).

Beberapa hal tadi, adalah prestasi gemilang sayyidina ‘Utsman selama masa kepemimpinannya sebagai salah satu khalifah yang empat. Tentu masih sangat banyak yang lainnya, namun karena keterbatasan waktu, tidak bisa kita sebutkan satu persatu.

‘Utsman bin Al-‘Affan, syahid terbunuh di kediamannya pada malam 18 Dzulhijjah tahun 35 Hijriyyah, setelah memimpin umat islam lebih kurang 12 tahun lamanya.
Apa yang menjadi sebab terbunuhnya sahabat nabi yang mulia tersebut? Manusia macam apa yang telah membunuhnya? Serta apa yang mendorong dia untuk membunuh ‘Utsman bin Al-‘Affan?
Kesemua pertanyaan tadi, mampu terjawab dalam satu jawaban yang sama, ya! Benar! Kedengkian dari pihak luar terhadap salah satu keputusan ‘Utsman. 
Sepeninggal Umar bin Al-Khaththab, tampuk kekuasaan umat islam pun beralih kepada ‘Utsman, kemudian ia melakukan penggantian terhadap beberapa orang pejabat yang sebelumnya menjabat pada masa Umar. Hal ini sebenarnya adalah lumrah, hal yang biasa, namun menjadi tidak biasa ketika sebagian besar jabatan itu ia berikan kepada kerabatnya.

Muhammad Farid Basya menuliskan dalam bukunya,
"ثم عزل عثمان أغلب الولاة وعيّن بدلهم أقاربه"
“Kemudian ‘Utsman mencopot sebagian besar pejabat, dan menggantikannya dengan orang lain dari kerabatnya.”
Diantara yang ‘Utsman bin Al-Affan ganti dan tetapkan ialah:
Memberikan Wilayah Kufah untuk di pimpin oleh Al-Walid bin Uqbah, yang merupakan saudara ibunya.
Mencopot Amru bin Al-Ash dari Mesir, dan menggantinya dengan Abdullah bin Abi As-Sarh Al-Amiry, yang dahulu merupakan saudara sepesusuan ‘Utsman.
Mencopot Abu Musa Al-Asy’ary dari Bashrah, dan menggantikannya dengan anak dari pamannya, Abdullah bin Amir.
Dari keputusan-keputusan Utsman di atas, akhirnya malah menjadi bara pemantik yang menjadikan cukup banyak dari orang-orang pada masa itu untuk marah, dengki, dan dendam.

Lantas apa yang melatarbelakangi khalifah ‘Utsman melakukan pencopotan dan penggantian tersebut? Apakah ada unsur ketamakan akan kekuasaan dan harta duniawiya? Tentu tidak.
Mari kita kembali mundur kebelakang, saat ketika tampuk kepemimpinan masih di pegang oleh sahabat Umar bin Al-Khaththab. Kala itu, beliau juga melakukan pencopotan terhadap panglima umat islam Khalid bin Al-Walid yang mungkin bagi sebagian orang kala itu terdengar sebagai keputusan sepihak. Tapi bagi Umar, itu adalah sebaik-baik keputusan untuk menjaga hati kaum muslimin dari Ta’ashshub, penyakit hati yang bisa saja membawa kaum muslimin kepada syirik.

Ya! Dibalik keputusan besarnya, seorang Umar pasti akan tetap melihat maslahatnya bagi umat.


Poin yang ingin al-faqir tekankan disini bukanlah pada kesamaan alasan antara keputusan Umar dan Utsman. Sebab saya juga belum menemukan literatur yang membahas lebih rinci sebab dan alasan dari keputusan Utsman tersebut. Namun letak kesamaan dari dua hal tersebut, ialah suatu kepastian, seorang khalifah dari kalangan sahabat nabi, mengambil keputusan berdasarkan kemaslahatan bagi umat. Dalam hal ini, kita mengetahui alasan dari Umar, namun belum mengetahui alasan dari Utsman, namun yang bisa kita ambil, ialah keputusan itu sama-sama berdasarkan pada ijtihad sang khalifah untuk kebaikan kaum muslimin.
Lantas, apakah ada unsur ketamakan disana? 
Pertanyaan ini akan kita jawab dengan pertanyaan. 
Ketamakan macam apalagi yang ‘Utsman inginkan? Sedangkan ia adalah salah satu dari sahabat terkaya kala itu.
Semoga Allah menjaga kita semua dari ketamakan duniawi.

والله تعالى أعلم
وصلى الله على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه وسلم

Sumber:
تاريخ الدولة العلية العثمانية (محمد فريد باشا)








Bagian 2: Kesedihan yang memilukan

Air mata kaum muslimin jatuh, pilu yang mendalam melukai hati. 18 Dzulhijjah 35 Hijriyah, sang khalifah penakluk Afrika telah tiada, ia syahid bersimbah darah setelah di bunuh oleh penyusup yang menentang dan dendam padanya. 
Namun diatas semua kesedihan, kaum muslimin tidak boleh tumbang, tampuk kekuasaan harus tetap berjalan mengepalai manusia menuju pencerahan. 
25 Dzulhijjah tahun 35 Hijriyah, akhirnya Khalifah ke empat dari Khulafa Al-Rasyidin, Ali bin Abi Thalib dibai’at dalam suasana yang masih kacau balau selepas tragedi pembunuhan terhadap sahabat ‘Utsman bin Al-Affan.

Beberapa orang sahabat termasuk Aisyah, meminta Ali untuk segera mengusut kasus pembunuhan ini, sebab yang di bunuh bukanlah sembarangan orang, dia adalah seorang muslim, pemimpinnya kaum muslimin, terbunuh di tanah Haram, di bulan Haram. Namun di sisi lain, melihat kekacauan yang terjadi, Ali memutuskan untuk mengundur penyelesaian kasus ini sebab kerusuhan pasca terbunuhnya Utsman belum mereda, Ali beranggapan bahwa pengusutan kasus ini akan lebih baik dilakukan setelah suasana mulai damai.
Terjadi perbedaan pendapat antara Aisyah bersama sebagian kaum muslimin, termasuk yang menyertainya Thalhah bin Ubaidillah dan Az-Zubair bin Al-Awwam.
Aisyah dan sebagian kaum muslimin tadi memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Bashrah guna mencari pembunuh yang lari kesana, namun, Ali mengutus Al-Qo’ bin Amir untuk berdiskusi mengenai hal tersebut. 
Hasil diskusi telah di dapatkan, lalu Al-Qo’ bin Amir kembali kepada Ali, dan kemudian Ali menyusul ibunda Aisyah dan pasukan menuju bashrah. 

Singkat cerita, kesepakatan telah di dapatkan, penyelesaian kasus ini akan di serahkan pada rencana Ali, dan kedua pasukan memutuskan untuk pulang.
Ali berkhutbah setelah keputusan antaranya dan Aisyah di dapatkan, 
“Besok aku akan pulang, dan semuanya ikutlah pulang bersamaku, namun ketahuilah, yang terlibat dalam pembunuhan Utsman, maka ia tidak akan ikut pulang bersamaku”
Mendengar khutbah Ali, terdapat tiga orang yang gelisah, mereka takut suatu saat mereka akan tertangkap dan di hukum qisos, sebab mereka juga tergabung dalam peristiwa pembunuhan. Tiga orang tersebut adalah:
1. Abdullah bin Saba’ (Seorang yahudi yang masuk kedalam pasukan islam dan menjadi provokator atas pembunuhan Utsman)
2. Syuraik bin Aufa
3. Salim bin Sa’labah
Mereka bersepakat, bahwa satu diantara mereka tinggal, satu lagi masuk kedalam pasukan Aisyah, dan satu lagi masuk kedalam pasukan Ali.

Mereka serentak melakukan penyerangan, hingga terjadilah fitnah, peperangan yang di sulut oleh penyusup ini pun terjadi.
Hasilnya, Az-Zubair bin Al-Awwam serta Thalhah bin Ubaidillah pun syahid terbunuh dalam peperangan.
Peperangan ini dikenal oleh kaum muslimin, dengan perang Jamal, yang terjadi pada pertengahan jumadil akhir tahun 36 Hijriyah.
Fitnah masih terus berlanjut, penyelesaian akan terus diusahakan. Sekali lagi kaum muslimin mengalami tragedi memilukan, kita telah kehilangan dua orang yang dahulu selalu setia menemani pahit manis nya perjalanan dakwah Rasulullah. 
Thalhah bin Ubaidillah dahulu bahkan sampai kehilangan dua jarinya sebab melindungi Rasulullah dalam perang Uhud, Az-Zubair bin Al-Awwam, dijuluki sebagai Al-Hawari, pengikut setia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

والله تعالى أعلم
وصلى الله على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه وسلم

Sumber:
١. تاريخ الدولة العلية العثمانية (محمد فريد باشا)
٢. الرحيق المختوم (صفي الرحمن المباركفوري)



Penulis : Wardi Mahendra 
Editor : Ys. Tenra Septu Amin

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rahasia di Balik Taqdim dan Ta'khir Musnad dan Musnad Ilaih

Rahasia Dibalik Taqdim dan Ta'khir Musnad dan Musnad Ilaih Berbicara tentang Balaghoh berarti kita sedang membicarakan suatu keilmuan didalam bidang bahasa (khususnya Bahasa Arab), yang mengkaji tentang bagaimana sang penutur bahasa (متكلم) dalam aktifitasnya menuturkan suatu bahasa (ucapan) kepada orang yang diajak berbahasa (مخاطب). Sesuai dengan namanya, Balaghoh yang berarti sampai, ilmu ini mengajarkan bagaimana cara agar sang mutakallim   fasih dalam ber takallum (mengucap) sehingga mutakallim  bisa sampai pada maksud yang hendak ia capai melalui perkataan yang fasih tersebut. Perkataan (كلام) sang  mutakallim tersebut bila kita cermati lebih dalam bukanlah suatu barang yang tunggal, melainkan perkataan tersebut terbentuk dari beberapa unsur/bagian-bagian yang dalam hal ini kita kenal dengan istilah kata yang mana dari sekumpulan kata-kata itu terbentuklah suatu perkataan. Saat mutakallim berbicara, sangatlah tidak mungkin ia menyebutkan (kata)...

10 Hal yang Harus Diketahui Tentang Ilmu Kalam - Bag2

10 Hal yang Harus Diketahui Tentang Ilmu Kalam [Bagian-2] Pada tulisan kali ini kita akan melanjutkan pembahasan seputar sepuluh hal yang harus diketahui tentang ilmu kalam. Sebagiannya sudah kita paparkan pada tulisan sebelumnya ( Bagian 1 ), adapun sebagiannya lagi adalah sebagai berikut : 6. Peletak dasar ( al- Wadhi’ ) 7. Nama ( al-Ism ) 8. Sumber pengambilan ( al-Istimdad ) 9. Hukum mempejari ( alHukm ) 10. Permasalahan yang dibahas ( al-Masail ) Keenam: Peletak Dasar/Penggagas ( al-Wadhi’ ) Penggagas ilmu kalam atau ilmu tauhid sebagai sebuah disiplin ilmu adalah Imam Abu Hasan Ali bin Ismail bin Al-Asy’ari (wafat 324 H) dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi (wafat 333 H). Makna penggagas disini adalah kedua imam ini merupakan orang yang menulis buku-buku yang menjadi rujukan awal untuk masalah tauhid. Kedua imam ini juga dikenal sangat konsen terhadap ilmu tauhid dan membentenginya dari syubhat-syubhat (tuduhan-tuduhan). Adapun tauhid sebagai sebuah k...

Hal yang Membatalkan Puasa dan Konsekuensinya

Apa saja hal-hal yang dapat membatalkan puasamu? Dan apa sanksi yang diwajibkan bagi orang yang puasanya batal? Puasa adalah  salah satu ibadah wajib bagi setiap muslim yang menempati urutan ketiga pada rukun islam setelah syahadat dan shalat. Menahan makan, minum dan hawa nafsu dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari adalah definisi masyhur untuk puasa. Namun apakah dengan menahan tiga hal ini puasa kita akan sehat wal 'afiyat tanpa cacat? Atau adakah beberapa hal lain yang bisa membatalkan puasa kita? Yuk, langsung disimak dua pembahasan dibawah ini. Tentang hal-hal yang membatalkan puasa dan hukuman bagi pelanggarnya. Sekaligus muhasabah diri dengan kembali mengkaji, apakah puasa yang kita lakukan selama ini sudah benar-benar terhindar dari hal-hal tersebut? Check it out...  Agar mencakup dua pembahasan sekaligus, berikut penulis paparkan hal-hal yang dapat membatalkan puasa beserta hukuman apa yang akan didapatkan oleh pelanggarnya : Wajib men...