Oleh : Hikmal Alif
![]() |
Kota Kairo, Mesir saat menjelang maghrib. |
“Standar moral Mesir dan Indonesia itu berbeda. Kebaikan bagi orang Indonesia adalah kesopanan, sementara bagi orang Mesir adalah keyakinan.” -Benny Arnas
Gedung-gedung di kanan-kiri jalan, menyerupai kubu beton tanpa cat, bentuk gedung yang tak seimbang serta jauh dari kata simetris, rerumputan yang tumbuh di sela rumah dan bangunan, seperti ingin menyesuaikan lingkungan yang monokrom, meranggas cokelat dan berselimut debu.
Lentera-lentera yang bergantungan di depan rumah yang terbuat dari logam dan kaca berwarna, memiliki berbagai bentuk dan ukuran. Warga Mesir berbondong-bondong meminangnya. Fanous siap menerangi malam-malam Ramadan di Mesir. Tradisi dari Dinasti Fatimiyah itu masih eksis sampai sekarang. Tak ingin kalah menyambut bulan suci Ramadan, Zinah bewarna-warni ikut memeriahkan, memanjang di antara rumah-rumah warga. Mikrobus, mikrolet, ootobus; murottal Al-Qur’an berirama!!
Di sore hari bulan muda nan mulia, matahari sejengkal demi sejengkal pamit di ujung kota Kairo, sinarnya yang masuk ke atmosfer terhambur dan diserap oleh udara, memancarkan warna oranye, membuat mata yang melihatnya takjub. Hembusan angin dingin dari jendela mobil bus 80 masuk ke dalam pori-pori saya, hipotalamus berhasil mengontrol kerja termogulasi secara konstan, mengirimkan sinyal ke otot, kelenjar, dan saraf tubuh. Ayat-ayat al quran melalui speaker bus; siap menjinakkan darah panas sesiapa yang menaikinya. Ya, tidak semua penumpang terjinakkan. Adu mulut tak bisa terelakkan antara Kumtsari (kernet bus) dengan seorang penumpang yang mencoba memprovokasi sopir.
"Entaa 'Ayeezz eihhhhh??" Teriak keras Kumtsari dengan nada tak sopan sembari menyuruhnya keluar dari bus "laa hauula wala quwwata illa billah".
Mata saya kemudian tertuju ke salah satu penumpang berwajah Afrika yang merogoh-rogoh sakunya ketika seorang Kumtsari mulai meminta ujrah (ugrah: ongkos bus).
"Baqiya itsnān gunaih," Kumtsari berdiri di depannya, menagih sisa ongkos yang harus dibayar. Penumpang Afrika itu masih sibuk membuka serba-serbi resleting yang ada. Tiga detik kemudian, menatap si Kumtsari, tersenyum kikuk, berharap belas kasih.
Wajah saya berpendar ketika si Kumtsari memberikan tiket bus kepada penumpang Afrika itu walaupun kurang 2 L.E. (livre egyptienne/ pound mesir). Sikap perubahan kumtsari dari seorang emosional menjadi elok merdesa; membuat saya rikuh.
“Standar moral Mesir dan Indonesia itu berbeda. Kebaikan bagi orang Indonesia adalah kesopanan, sementara bagi orang Mesir adalah keyakinan.”
Saya mencoba mencerna. Menerawang di atas lapcor (bus delapan puluh coret). Lalu saya tiba-tiba merasa keliru karena mengukur Kairo dengan persepsi Barat: baik adalah sopan. Sementara itu, alangkah banyaknya para koruptor di negeri saya yang bertindak sopan dan bertutur kata santun (terlebih kalau kamera menyala!). Kesopanan, betik hati kecil saya, dalam banyak urusan ternyata kerap menjadi sinonim hipokrisi.
Orang-orang Kairo memutar murottal karena mereka yakin ayat-ayat Al-Qur’an adalah sebaik-baik bunyi yang senantiasa harus menghampiri telinga. Bahwa setelah salat dan membaca-dengarkan ayat suci, mereka akan bergelimang dengan hal-hal yang kontraproduktif, itu adalah urusan lain. Saya rasa mereka juga selaras dengan pemikiran Kaufmann yang membuat (atau dibuat?) plot hidupnya jauh dari kata ‘kebaik-baik sajaan’. Justru dengan adanya konflik; mereka merasa hidup. Mereka mengajak kita untuk merasa cemas, yaa cemas. Dengan begitu, indra kita menjadi hidup.
Alih-alih mengharapkan senyum di bibir membentuk garis, saban saya menyapa mereka hening menjelma menjadi (semacam) seorang introvert akut. Bagaimana-kenapa-apa yang terjadi kantor urusan mahasiswa Al-Azhar subuh itu, seorang petugas melankolis berubah menjadi humoris. Beberapa kali panggilan tak terjawab, alih-alih tersenyum, dilirik pun tidak! Spontan ia menutup pintu jendela sebelum dua menit kemudian; teh merah sambil ia tersenyum merayu kami.
Saya tidak sedang membahas bagaimana secara situasional orang Mesir (ingin) berubah, tidak. Juga tidak mempreteli apa-bagaimana-kenapa buruknya sistem administrasi di kampus, bangunan-bangunan berdebu dimakan zaman. Mereka ada karena mereka yakin. Alih-alih mempercantik diri, malah mengumumkan kepada siapa pun bahwa berjalan mundur itu candu.
Di jalanan, tarabeza (meja-meja) berjejeran siap menerima tamu untuk menyantap hidangan dari tuhan. Ahmed El-Zoor Street hingga Saleh Al Gaafari Street tenunan al-sadu memerah menghiasi maidaturrahman yang tersedia di segala sudut penjuru Kairo. Tidak memandang usia dan pekerjaan, mereka (para dermawan) menjejerkan meja yang diletakkan berbagai jenis makanan di atasnya. Siapa saja yang datang dipersilahkan untuk duduk sambil menunggu azan magrib berkumandang. beramai-ramai memenuhi kursi yang telah disediakan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi: "Barangsiapa yang memberikan makan kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala sebagaimana orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun."
Hadits ini menunjukkan betapa besarnya ganjaran bagi mereka yang berbagi makanan kepada orang lain yang tengah menjalankan ibadah puasa. Keutamaan ini tentu menjadi motivasi besar bagi setiap muslim untuk lebih dermawan di bulan Ramadan.
Maidaturrahman konon diambil dari surat Al-Maidah, dalam surat itu disebutkan bahwa Allah Swt. menurunkan hidangan dari langit untuk Nabi Isa Alaihissalam, sedangkan kata Ar-Rahman diambil dari salah satu dari nama-nama Allah (Asmaul Husna) yang artinya Maha Pengasih. Nama ini digunakan agar dengan hidangan tersebut Umat Islam satu sama lain bisa saling mengasihi dan menyayangi.
Menu yang disajikan sangat beragam. Salah satu yang wajib adalah ‘Isy yang merupakan makanan pokok warga Mesir, roti berbentuk bulat yang biasanya dimakan dengan fuul (kacang) atau dengan sup berkuah kental berisi sayur dan daging. Ada juga hidangan nasi sebagai makanan pokok kedua setelah ‘Isy.
Datang tepat waktu menjadi sebuah keharusan jikalau ingin kebagian maidaturrahman. Ya, Kebiasaan tidak on time (baca: ngaret) tidak berlaku di sini. Siapa pun yang telat hanya akan berujung pada kecewa.
Menunggu waktu berbuka di maidaturrahman membuat saya berpikir tentang konsep waktu di berbagai budaya. Di Mesir, orang bisa berubah lebih disiplin saat Ramadan. Tapi bagaimana jika ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari?
PUNCTUALITY. Kata itu terbersit di benak saya.
Masyarakat Jepang memang terkenal dengan penerapan tinggi akan punctuality atau keakuratan waktu dalam kehidupan sehari-hari. Konsep waktu dan jadwal yang ketat memegang peranan penting dalam budaya Jepang. Punctuality menjadi salah satu nilai utama yang sangat dijunjung tinggi.
Punctuality dalam kehidupan sehari-hari di Jepang tercermin dalam berbagai aspek, mulai dari transportasi, pertemuan bisnis, hingga kegiatan sehari-hari masyarakat. Ketepatan waktu bukan sekadar menjadi aturan formal, tetapi lebih sebagai cerminan nilai kepercayaan, disiplin, dan penghormatan terhadap kesepakatan bersama.
Di Jepang, tiba tepat waktu dianggap sebagai bentuk KESOPANAN. Terlambat dianggap tidak hanya mengganggu orang lain, tetapi juga menghambat efisiensi dan keamanan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat Jepang dilatih sejak dini untuk menghormati waktu dan menjaga ketepatan dalam segala aktivitasnya.
Kultur punctuality Jepang tercermin dalam sistem transportasi yang sangat efisien. Kereta api, misalnya, selalu tiba dan berangkat di waktu yang telah ditentukan dengan sangat tepat. Dalam dunia bisnis, rapat atau pertemuan dijadwalkan dengan ketat dan tidak ada keterlambatan. Bahkan, sales representative sering datang lebih awal agar dapat mempersiapkan segala kebutuhan sebelum pertemuan dimulai.
Implementasi konsep waktu dan jadwal yang ketat ini juga tercermin dalam kegiatan sehari-hari masyarakat Jepang. Mulai dari antrian yang tertib, penggunaan jadwal harian yang teratur, hingga perencanaan waktu untuk berbagai aktivitas. Punctuality menjadi pondasi yang kuat untuk menjalankan kehidupan sehari-hari dengan efisiensi dan keteraturan.
Memahami dan menghormati konsep waktu dan jadwal di Jepang adalah kunci untuk beradaptasi dan menghargai budaya Jepang. Punctuality menjadi salah satu nilai utama yang perlu diperhatikan saat memiliki interaksi dengan masyarakat Jepang, baik dalam kesempatan bisnis, wisata, maupun dalam kehidupan sehari-hari.
***
Di sudut-sudut Kairo, senyuman merekah menjelang berbuka, bertasbih menyebut nama Tuhan yang Maha Penyayang.
Semoga Allah subhanahu Wata'ala menerima segala amal ibadah kita, diberkahi setiap makanan. Semoga Allah subhanahu Wata'ala memasukkan kita ke dalam istana hijau-Nya, dengan rahmat-Mu, terimalah haus dan lapar kami, "Dzahabazh zhama'u wabtallatil 'uruqu wa tsabatal ajru insya Allah."
Alhamdulillah di tegukan ke tiga.
Draft 1 : El Gamaleya, 9 Maret 2025
Post A Comment:
0 comments so far,add yours