Langsung ke konten utama

Waktu Qadha’ Puasa Ramadhan

Waktu Qadha’ Puasa Ramadhan

Seorang muslim dan muslimah wajib melaksanakan ibadah puasa pada Bulan Ramadhan selama satu bulan penuh. Namun ada beberapa keadaan atau uzur yang mengizinkan seseorang tidak berpuasa pada bulan mulia ini. Seperti sakit, haid, nifas dan yang lainnya. Maka dalam keadaan-keadaan ini seseorang diperbolehkan untuk meninggalkan puasa saat itu dan wajib baginya qadha’ (menggantinya di hari lain). Sebagaimana firman Allah ta’ala dalam Surat Albaqarah ayat 185 :

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗ وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Artinya : "Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang didalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur."


Ada dua keadaan yang menyebabkan seseorang wajib meng-qadha’ puasanya :

1. Seseorang yang meninggalkan puasa karena suatu hal uzur, dan uzur itu masih tetap ada hingga Bulan Ramadhan pergi. Maka boleh baginya untuk mengakhirkan qadha’ hingga ia mampu untuk melaksanakannya, walaupun bertahun-tahun lamanya. Seperti orang yang sakit parah atau tidak sadarkan diri selama beberapa tahun. Serta tidak diwajibkan baginya membayar fidyah.

2. Seseorang yang meninggalkan Puasa Ramadhan karena suatu hal atau uzur, kemudian uzur tersebut hilang sehingga tidak ada lagi uzur yang masih melekat pada dirinya. Seperti wanita haid, nifas, atau orang sakit yang kemudian sehat. Maka, ia harus mengganti puasanya secepatnya sebelum datang ramadhan berikutnya dan tidak boleh mengakhirkan qhada’ tersebut. Jika ia menundanya hingga datang ramadhan berikutnya, dia harus qadha’ dan membayar fidyah. Fidyah dibayarkan dengan cara memberi makan satu orang miskin untuk setiap puasa yang ia tinggalkan.

Hal ini berdasar pada perkataan yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas R.A, Ibnu Umar R.A, dan Abu Hurairah R.A :

قالوا : "من مرض ثم صح ولم يصم حتى أدركه رمضان آخر، قال : يصوم الشهر الذي أفطر فيه و يطعم مكان كل يوم مسكينا"

Artinya : "Barangsiapa yang sakit kemudian sehat dari sakitnya dan belum berpuasa hingga datang ramadhan selanjutnya, maka ia harus berpuasa satu bulan yang ia tinggalkan dan memberi makan satu orang miskin untuk setiap puasa yang ia tinggalkan."

Fidyah bisa dibayarkan dengan cara :
Mengundang orang miskin untuk makan dengan makanan yang sudah disiapkan (dimasak) oleh orang yang batal puasanya tadi.
Membayarkan pada mereka 1½ kg makanan pokok yang biasa dimakan, seperti beras, gandum. Atau membayar dengan uang sejumlah harga makanan tersebut. Walaupun orang yang mengakhirkan qhada’ ini seseorang yang faqir atau miskin, ia tetap harus membayar fidyah saat ia mampu.

Kapan kita meng-qadha Puasa?

Waktu mengganti puasa ramadhan yang belum tertunaikan adalah semua hari setelah ramadhan usai sampai sebelum datang ramadhan berikutnya. Kecuali hari-hari yang telah diharamkan berpuasa padanya seperti hari raya idul fithri dan idul adha.

Bagaimana Cara Meng-qadha Puasa?

Tidak disyaratkan mengganti puasa secara berturut-berturut. Boleh memisah puasa yang satu dengan yang lain. Karena pada ayat diatas (QS. Albaqarah : 185) tidak ada penjelasan yang mewajibkan qadha puasa secara berturut-turut. Namun, jika ingin mengganti puasa secara berturut-turut hukumnya sunnah berdasarkan hadist Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu:

عن أبي هريرة رضي االله عنه أن النبي قال : "من كان عليه صوم من رمضان فليسرده ولا يقطعه" رواه الدارقطني

Artinya : "Barangsiapa yang memiliki (hutang) Puasa Ramadhan, maka sambunglah mereka dan jangan pisahkan ia." HR. Daarquthni

Bagaimana jika seseorang telah melewatkan beberapa Ramadhan tanpa meng-qadha’ puasanya?

Seperti seseorang yang meninggalkan beberapa hari puasanya karena sakit, haid dan uzur lainnya. Kemudian saat Ramadhan tahun tersebut berakhir, ia belum meng-qadha' puasanya hingga datang Ramadhan berikutnya bahkan dua sampai tiga tahun berikutnya ia mengakhirkan qadha'.

Ada dua pendapat ulama dalam Madzhab Syafi’i, dan yang paling kuat menyatakan bahwa ia harus membayar fidyah sebanyak puasa yang ia tinggalkan, dikali dengan berapa Ramadhan yang ia lewatkan.

Bagaimana jika seseorang mengkhirkan qhada’ dan belum membayar fidyah hingga ia meninggal?

Jika ia mengkahirkan qadha' dengan kesanggupan melaksanakannya, maka setelah meninggal walinya memiliki dua pilihan :

1. Walinya harus membayar fidyah untuknya dua kali lipat. Atau
2. Membayar fidyah untuknya, jika walinya ingin menggantikannya qadha’ puasa.

Seperti dalam hadis Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wasallam :

ما روت عن عائشة رضي الله عنها : أن النبي قال : "من مات و عليه صيام صام عنه وليه" متفق عليه

Artinya : "Barangsiapa yang meninggal dan memiliki hutang puasa, maka walinya berpuasa untuknya." Muttafaq 'alaih

Wallahu a’lam

Semoga postingan ini bermanfaat dan bisa menambah wawasan pembaca dan penulis sendiri.


_______________
*Ditulis oleh: Helga Silvia Parchan, Mahasiswi Jurusan Syari'ah Islamiyyah, Fakultas Dirasat Islamiyah wal 'Arabiyyah, Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rahasia di Balik Taqdim dan Ta'khir Musnad dan Musnad Ilaih

Rahasia Dibalik Taqdim dan Ta'khir Musnad dan Musnad Ilaih Berbicara tentang Balaghoh berarti kita sedang membicarakan suatu keilmuan didalam bidang bahasa (khususnya Bahasa Arab), yang mengkaji tentang bagaimana sang penutur bahasa (متكلم) dalam aktifitasnya menuturkan suatu bahasa (ucapan) kepada orang yang diajak berbahasa (مخاطب). Sesuai dengan namanya, Balaghoh yang berarti sampai, ilmu ini mengajarkan bagaimana cara agar sang mutakallim   fasih dalam ber takallum (mengucap) sehingga mutakallim  bisa sampai pada maksud yang hendak ia capai melalui perkataan yang fasih tersebut. Perkataan (كلام) sang  mutakallim tersebut bila kita cermati lebih dalam bukanlah suatu barang yang tunggal, melainkan perkataan tersebut terbentuk dari beberapa unsur/bagian-bagian yang dalam hal ini kita kenal dengan istilah kata yang mana dari sekumpulan kata-kata itu terbentuklah suatu perkataan. Saat mutakallim berbicara, sangatlah tidak mungkin ia menyebutkan (kata)...

10 Hal yang Harus Diketahui Tentang Ilmu Kalam - Bag2

10 Hal yang Harus Diketahui Tentang Ilmu Kalam [Bagian-2] Pada tulisan kali ini kita akan melanjutkan pembahasan seputar sepuluh hal yang harus diketahui tentang ilmu kalam. Sebagiannya sudah kita paparkan pada tulisan sebelumnya ( Bagian 1 ), adapun sebagiannya lagi adalah sebagai berikut : 6. Peletak dasar ( al- Wadhi’ ) 7. Nama ( al-Ism ) 8. Sumber pengambilan ( al-Istimdad ) 9. Hukum mempejari ( alHukm ) 10. Permasalahan yang dibahas ( al-Masail ) Keenam: Peletak Dasar/Penggagas ( al-Wadhi’ ) Penggagas ilmu kalam atau ilmu tauhid sebagai sebuah disiplin ilmu adalah Imam Abu Hasan Ali bin Ismail bin Al-Asy’ari (wafat 324 H) dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi (wafat 333 H). Makna penggagas disini adalah kedua imam ini merupakan orang yang menulis buku-buku yang menjadi rujukan awal untuk masalah tauhid. Kedua imam ini juga dikenal sangat konsen terhadap ilmu tauhid dan membentenginya dari syubhat-syubhat (tuduhan-tuduhan). Adapun tauhid sebagai sebuah k...

Hal yang Membatalkan Puasa dan Konsekuensinya

Apa saja hal-hal yang dapat membatalkan puasamu? Dan apa sanksi yang diwajibkan bagi orang yang puasanya batal? Puasa adalah  salah satu ibadah wajib bagi setiap muslim yang menempati urutan ketiga pada rukun islam setelah syahadat dan shalat. Menahan makan, minum dan hawa nafsu dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari adalah definisi masyhur untuk puasa. Namun apakah dengan menahan tiga hal ini puasa kita akan sehat wal 'afiyat tanpa cacat? Atau adakah beberapa hal lain yang bisa membatalkan puasa kita? Yuk, langsung disimak dua pembahasan dibawah ini. Tentang hal-hal yang membatalkan puasa dan hukuman bagi pelanggarnya. Sekaligus muhasabah diri dengan kembali mengkaji, apakah puasa yang kita lakukan selama ini sudah benar-benar terhindar dari hal-hal tersebut? Check it out...  Agar mencakup dua pembahasan sekaligus, berikut penulis paparkan hal-hal yang dapat membatalkan puasa beserta hukuman apa yang akan didapatkan oleh pelanggarnya : Wajib men...