![]() |
Riak itu sudah terukur, samudra siap dilayari. |
Alhamdulillahirabbil’alamiin, telah terlaksana seminar mabadi asyarah yang diadakan oleh FS Almakki pada hari Kamis, 16 Oktober 2025. Yang dibawakan oleh para kakanda-kakanda Almakki yang mumpuni di bidangnya. Baik itu Ushuluddin, Syari’ah, ataupun Lughah. Kakanda-Kakanda tersebut Adalah (sesuai urutan) Kakanda Muhammad Ridwan, Abangda Ilham Lahiya, Lc, dan Kakanda Akbar Saputra. Kata Sambutan dibawakan oleh Kakanda Albirra Fata selaku kepala madrasah.
Sesuai dengan Namanya, Mabadi ‘Asyarah (sepuluh prinsip dasar) adalah awal bagi pengenalan suatu fan ilmu kepada thalib yang ingin memulai mempelajari sebuah ilmu. Prinsip dasar ini yang akan membentuk tasawwur (Gambaran) ilmu untuk didalami kemudiannya. Kak Ridwan menjelaskan bagaimana pentingnya posisi mabadi ‘asyarah dalam membangun pondasi kokoh bagi para thalib. Sehingga, jejak menuntut ilmu selanjutnya tidak menjadi rancu dan berantakkan.
Beliau menjelaskan apa itu ilmu, makna-makna ilmu (itlaaqaat al-‘ilm), serta apa saja kandungan dari mabadi asyarah itu. Dan menjelaskan tiga hal yang paling penting dari sepuluh hal tadi (jika tak mampu seluruhnya) untuk diketahui, yaitu al-hadd, al-maudu’, ats-tsamrah. Tiga hal inilah yang setidaknya harus dikuasai oleh penuntut ilmu sebelum mendalami masa’il-masa’il ilmu. Begitupun setelahnya beliau melanjutkan dengan pemaparan materi Fakultas Ushuluddin dan syu’bah-syu’bah di dalamnya. Seperti Tafsir wa ‘Ulumuh, Hadits wa ‘Ulumuh, Akidah wa Falsafah, dan Da’wah.
Selain meletakkan ushul (pondasi), para thalib juga harus menjunjung tinggi yang namanya ulum maqashid, ilmu yang paling syaraf (mulia) kedudukannya. Yaitu ilmu fiqih. Karena ia adalah ilmu yang dihasilkan dari sebuah ilmu juga, Ilmu Ushul Fiqh. Maka dari itu, ada sebuah kaidah yang mengatakan, setiap faqih pasti paham ushul fiqih. Tapi tidak sebaliknya.
Akan tetapi yang dimaksud faqih di sini bukanlah orang yang sekedar bisa berbicara fiqih, tapi yang dimaksud adalah orang yang paham fiqih dari dapurnya (ushul). Dalam hal ini pula Abangda Lahiya menjelaskan perbedaan antara orang yang Faqih secara hakiki, dan orang yang hanya membaca fiqih saja. Karena orang yang kedua ini hanya mampu menyampaikan apa yang pernah ia baca, tapi tidak paham seluk-beluk hukum itu sendiri.
Di sisi lain, ada satu pondasi yang harus dimiliki oleh seorang penuntut ilmu. Yakni dari sisi lughowiyat (Bahasa) hal-hal tersebut mencakup nahwu, shorof, balaghoh, dsb. Kak Akbar menjelaskan bagaimana kaidah-kaidah balaghah itu sangat penting dalam menafsirkan kitab suci Al-Qur’an, apalagi ayat-ayat yang menghasilkan suatu hukum. Sehingga bisa menafsirkan sir (rahasia-rahasia) yang terkandung dalam setiap majaz dalam al-Qur’an.
Demikian juga, selain mengetahui mabadi ‘asyarah, tholib juga harus paham dan konsisten terhadap ilmu yang telah ia pijaki itu. Dan tidak menjauhkan diri dari ilmu itu sendiri serta menyibukkan diri dengan hal-hal yang tak ada kaitannya dengan ilmu sedikitpun. Ucapan ini bukan tanpa alasan, melainkan telah seringnya terjadi penuntut ilmu yang mengalihkan pandangannya dari tujuan awalnya kepada hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan ilmu. Entah itu karena tidak paham tadarruj ‘ulum syar’iyah (tangga Pelajaran), atau karena tergiur dengan hal duniawi. Atau bahkan memang niat dari awalnya itu sudah salah, sehingga tidak adanya futuh dalam menuntut ilmu.
Yang terakhir ini, jika demikian maka yang sangat dibutuhkan oleh penuntut ilmu adalah tajdid an-niah (perbarui niat).
Salah satu diantara hal yang paling penting diketahui oleh seorang thalib adalah tadarruj ‘ulum. Karena sering kali orang yang tak belajar dengan tadarruj ini akan kesusahan dalam mencapai tujuan atau maqashid tadi. Ibarat membangun sebuah bangunan, akan tetapi pondasinya belum kokoh. Hal itu akan sia-sia saja.
Hal yang tak kalah penting untuk diketahui oleh para penuntut ilmu juga adalah harus tahu fiqih aulawiyah (fiqih prioritas). Bahwa thalib harus tahu mana yang didahulukan dan mana yang dikemudiankan. Seperti, mana yang lebih didahulukan belajar ilm maqashid atau ilmu ‘alat? Marhalah apa yang harus ditempuh terlebih dahulu? mubtadi, mutawasshit, atau muntahi kah? atau Kitab mana yang cocok untuk mubtadi?
Karena itu, penjelasan tentang mabadi ‘asyarah bukanlah hal yang sepele. Akan tetapi ia sangat berpengaruh terhadap pengetahuan sang thalib. Hal ini tidak berarti serta-merta mencukupkan diri dengan mabadi ‘asyarah saja. Akan tetapi thalib harus menyelami juga Samudra ilmu, demi mencari Mutiara nan tersimpan di dasar lautan itu.
Kesempatan untuk sampai ke mesir ini bukan lah suatu hal yang biasa. Tapi itu adalah bentuk karunia Allah subhanahu wa ta’ala kepada kita agar menjalankan Amanah keilmuan ini di Pundak kita. Maka karena tujuan ke mesir adalah untuk menuntut ilmu, Janganlah sesekali menjauhi atau melupakan ilmu itu. Jangan biarkan kesibukkan lain menggerogoti niat itu, hingga terpalingkan dari niat di awal. Kita harus paham fiqih aulawiyah, paham mana yang harus ditempuh, mana yang bukan.
Yang harus kita ingat adalah, kita di mesir bukanlah untuk selamanya. Tapi hanya selama 4 Tahun saja. Maka maksimalkanlah waktu sebentar 4 tahun itu. Jangan sampai berbagai penyesalan justru muncul di akhir. Jangan sampai tamanniyat (harapan-harapan yang sia-sia) itu berdatangan di akhir.
Kemudian pada closing statement, Kak Fata selaku Kepala Madrasah menyampaikan pesan dari Ust. Irwan Faris : “MAPK itu awal mula didirikannya adalah untuk mencetak para Ulama, lalu antum masuk MAPK, lulus MAPK, lulus ke Mesir, maka tidak ada alasan lain untuk tidak bercita-cita menjadi ulama”
Allahummaftah ‘alaina futuhal ‘arifin
Penyusun : Tim Alis (Almakki Menulis)
Komentar
Posting Komentar