Universitas Al-Azhar merupakan salah satu lembaga keilmuan ternama yang sejak dahulu hingga kini menjadi pusat perhatian dunia internasional. Keterbukaan universitas ini dalam menerima mahasiswa dari berbagai negara telah memberikan kesempatan luas bagi mereka yang ingin merantau demi menuntut ilmu.
Di Indonesia, jumlah mahasiswa yang tercatat secara resmi diterima pada tahun ini mencapai 1.223 orang, sebagaimana dirilis oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Namun, pertanyaan yang muncul adalah: benarkah hal ini dapat disebut sebagai “angin segar”? Apakah ini benar-benar sebuah prestasi yang pantas dibanggakan di hadapan dunia internasional?
Kondisi Kehidupan Mahasiswa Indonesia di Mesir. Selain kabar gembira mengenai kelulusan mahasiswa baru Al-Azhar dari Indonesia, saya menilai penting untuk meninjau kondisi kehidupan mereka di Mesir. Jika diamati dengan cermat, ditemukan berbagai polemik yang muncul di tengah-tengah masyarakat mahasiswa Indonesia di Mesir (masisir).
Dewan Keamanan dan Ketertiban Mahasiswa (DKKM) pada 6 September 2025 merilis data yang cukup memprihatinkan mengenai berbagai kasus yang menimpa mahasiswa Indonesia. Kasus-kasus tersebut bersumber dari faktor eksternal maupun internal. Data terbaru ini perlu dibandingkan dengan data tahun-tahun sebelumnya untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif.
Data Kasus Mahasiswa Indonesia di Mesir berbagai macam kasus tercatat, mulai dari kehilangan barang, pencurian, hingga pelecehan. Namun, fokus utama saya terletak pada persoalan moral, etika, dan permasalahan internal lainnya.
1. Tahun 2022: tercatat 335 kasus, dengan 21 kasus pelanggaran moral dan etika. Kasus terbanyak adalah kehilangan barang, mencapai 140 kasus.
2. Per Juli 2023: terdapat 252 kasus, dengan rincian 118 kasus kehilangan barang dan 7 kasus pelanggaran moral dan etika.
3. September 2023 – Juni 2024: tercatat 689 kasus.
4. Juli 2024 – Juli 2025: jumlah kasus meningkat drastis lebih dari 54,13%, mencapai 1.062 kasus. Dari jumlah tersebut, 47 kasus merupakan pelanggaran moral dan etika.
Data di atas menunjukkan adanya tren peningkatan kasus secara signifikan dari tahun ke tahun, khususnya dalam aspek pelanggaran moral dan etika.
Pembahasan
Berdasarkan data tersebut, saya melihat adanya pertanyaan fundamental: apa yang sebenarnya terjadi pada moral dan etika masisir sehingga permasalahan ini terus meningkat seiring berjalannya waktu? Fenomena ini tidak hanya mencerminkan problem individual, melainkan juga persoalan kolektif yang patut mendapat perhatian serius.
Saya mengimbau kepada seluruh masyarakat masisir untuk lebih peka terhadap problematika yang ada, meningkatkan kepedulian terhadap lingkungan sekitar, serta senantiasa memperhatikan PPMI selaku lembaga perwakilan mahasiswa Indonesia di Mesir.
Fenomena Masisir: Antara Prestasi dan Polemik
Sebagaimana telah saya paparkan sebelumnya, persoalan dan polemik yang terjadi di kalangan masisir (mahasiswa Indonesia di Mesir) semakin hari semakin pelik dan rumit. DKKM, yang merupakan bagian dari PPMI, kian mengalami kesulitan dalam memecahkan permasalahan yang ada. Alih-alih berkurang, masalah justru semakin bertambah dan kompleks.
Kasus eksternal menjadi yang paling dominan. Salah satu faktornya adalah tingkat kewaspadaan masisir yang masih rendah. Hal ini seharusnya menjadi pekerjaan rumah bersama. Kesadaran terhadap situasi dan kondisi sekitar tentu dapat menunjang peningkatan kewaspadaan serta memperkuat rasa tanggung jawab kolektif.
Selain itu, kasus internal juga kian mendapat perhatian serius. Masalah moral, etika, pelecehan seksual, hingga tindak kriminalitas antar sesama masisir menjadi isu yang tak kalah memprihatinkan.
Sekitar satu hingga dua tahun yang lalu, masyarakat masisir sempat dihebohkan dengan maraknya tindak asusila. Mulai dari belasan pasangan belum menikah yang tertangkap di Alexandria, hingga adanya mahasiswa yang mengajak “teman” nonmahram untuk menginap di satu rumah yang sama, serta kasus-kasus serupa lainnya.
Hal ini tentu menjadi bahan renungan bagi kita semua: “Apakah sedemikian rusaknya moral masisir di era sekarang? Apa penyebab utama merebaknya fenomena ini?”
Jawaban atas pertanyaan tersebut tidak sesederhana menyalahkan perkembangan zaman. Faktor keheterogenan masisir pada era kini juga turut menjadi penyebab meningkatnya kasus-kasus tersebut.
Di kalangan senior masisir berkembang pula pernyataan bahwa terlalu banyaknya mahasiswa Indonesia yang dikirim ke Mesir turut menjadi faktor utama sulitnya mengendalikan kehidupan bermasyarakat di sana.
Untuk membuktikan hal ini, perlu dilakukan penelusuran data terkait jumlah kedatangan mahasiswa sejak awal tahun 2000-an dan membandingkannya dengan kondisi saat ini, sehingga kesimpulan yang diperoleh benar-benar berbasis data.
Namun, penggalian data terkait jumlah mahasiswa Indonesia di Al-Azhar pada awal 2000-an ternyata tidak mudah. Setelah penelusuran lebih lanjut, saya belum menemukan data eksplisit mengenai “angka total mahasiswa Indonesia di Al-Azhar antara tahun 2000–2005” yang dapat menunjukkan jumlah kumulatif secara pasti.
Berikut beberapa catatan yang berhasil saya temukan:
a. 2004 – Artikel Mahasiswa Baru RI di Mesir Capai Rekor Tertinggi (NU Online, 2004) menyebutkan jumlah mahasiswa RI di Mesir sekitar 2.700 orang, hampir semuanya kuliah di Al-Azhar.
b. Awal 2010-an – Jurnal Universitas Al-Azhar Sejak Abad ke-20 menyebutkan sekitar 2.516 mahasiswa Indonesia sedang belajar di universitas tersebut.
c. 2014 – Laporan Atase Pendidikan Mesir menyatakan jumlah mahasiswa Indonesia di Al-Azhar mencapai sekitar 4.000 orang.
d. 2008 – Detik.com melaporkan jumlah mahasiswa Indonesia di Al-Azhar lebih dari 6.000 orang.
Estimasi Kasar
Jika pada 2004 jumlah mahasiswa sekitar 2.500–2.700 orang dan angka ini relatif stabil atau meningkat secara perlahan sejak awal dekade, maka jumlah kumulatif mahasiswa Indonesia di Al-Azhar antara tahun 2000–2005 dapat diperkirakan berada pada kisaran 15.000–20.000 mahasiswa. Namun, estimasi ini masih bersifat sangat kasar karena tidak memperhitungkan faktor drop out, mahasiswa yang pulang-pergi, atau fluktuasi tahunan.
Apabila jumlah mahasiswa di awal 2000-an hanya sekitar 500–1.000 orang per tahun dan baru meningkat menjadi ±2.700 pada tahun 2004, maka jumlah kumulatifnya mungkin jauh lebih rendah, bahkan di bawah 10.000.
Langkah Selanjutnya
Untuk memperoleh angka yang lebih akurat mengenai jumlah mahasiswa pada periode tersebut, perlu dilakukan akses data arsip dari:
1. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Kemenag) — data mahasiswa RI yang dikirim ke Al-Azhar per tahun.
2. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo / Atase Pendidikan — laporan tahunan mahasiswa Indonesia di Mesir.
3. Universitas Al-Azhar, Office of Foreign Students / Registrar — data resmi mahasiswa asing asal Indonesia per tahun akademik.
Adapun jumlah mahasiswa Indonesia yang diterima oleh Universitas Al-Azhar dalam lima tahun terakhir sudah relatif jelas. Setiap tahun terdapat lebih dari 1.200 mahasiswa baru yang masuk. Data resmi Kemenag menunjukkan sekitar 1.500 mahasiswa baru per tahun, namun menurut informasi yang beredar, jumlah sebenarnya bisa lebih besar.
Bagaimana kelebihan data ini bisa terjadi? Dan bagaimana mahasiswa di luar dari data ini bisa masuk ke Mesir?
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apa kaitan jumlah mahasiswa dengan semakin maraknya berbagai persoalan di kalangan masisir? Apakah hal ini mencerminkan lemahnya sistem “filterisasi” yang ada?
Pembahasan lebih lanjut mengenai persoalan ini akan saya uraikan dalam tulisan berikutnya.
Penulis : WS. Hendra
Kurator : Bustanul Arifin
Komentar
Posting Komentar