![]() |
Source from Google |
"Maaf, Terimakasih, dan Tolong."
3 kata yang paling banyak disyiarkan oleh orang-orang zaman kini. Semua kalangan sepakat 3 kata ini eksistensinya sangat penting dalam setiap individu manusia. Siapapun yang sudah biasa hidup dengan 3 kata ini maka dia bukan lagi manusia biasa, akibat dari sulitnya menemukan manusia bertipe ini di zaman kini. Sampai akhirnya 3 kata ini pun mulai dipraktekkan dalam dunia parenting untuk dibiasakan pada anak-anak mereka.
Namun jika kita berbicara tentang lafaz-lafaz dahsyat lainnya. Ketika 3 kata sebelumnya banyak ditemukan pada dunia parenting anak, maka di dunia orang dewasa kita akan menemukan satu kalimat lagi yang sama mahalnya. Ia seringkali terucap dari mulut banyak manusia, tapi penyebut dan pendengarnya sering pula luput dari kekuatan yang dimiliki kalimat ini. Kalimat itu berbunyi “Tidak apa”.
“Tidak apa” dengan berbagai diksinya, contoh “gapapa” kalau kata anak remaja, atau “aman aja” kata si paling santai, atau “gwenchana teng neng neng neng” kata si paling pemerhati sosial media, semua diksi dengan makna yang sama, sadar tidak sadar memberikan efek besar dalam kehidupan kita, entah sebagai penyebut atau bahkan pendengarnya, bagaimana bisa?
Peradaban manusia hari ini yang merupakan hasil perkembangan dari masa ke masa, seakan menuntut setiap orang di muka bumi untuk menjadi sosok yang sempurna. Seorang murid dituntut untuk paham segala mata pelajaran, anak diminta jadi mandiri dan berprestasi lebih dari tetangga atau sanak keluarga, pekerja diminta bekerja zero mistake dan loyal setiap hari. Hal-hal ini tak dapat dipungkiri menjadi banyak alasan terjadinya permasalahan mental dalam jiwa manusia.
Berapa banyak jumlah anak di seluruh dunia yang secara tidak sadar terbebani dengan perkataan orang tuanya. Seperti dianggap beban keluarga, tidak dapat dibanggakan, atau yang paling banyak dimention para kaum anak, “dibanding-bandingkan”, terkadang kalimat seperti ini tidaklah salah jika dipandang niat sang orang tua untuk memotivasi anaknya. Namun sayangnya luput dari para orang tua, akibat dari kumpulan motivasi yang mereka berikan. Anak malah serasa dituntut dengan beban berupa harapan mereka. Idealnya mewujudkan harapan orang tua menjadi hal yang paling diimpikan oleh semua anak, namun berakhir malah menjadi beban harapan yang memberatkan.
Tak terhitung pula jumlah murid yang merasa sekolah bukan lagi tempat mereka menuntut ilmu, berkembang, dan mencari jati diri. Sekolah sudah menjadi tempat mereka mengangkat beban setiap harinya. Jiwa mereka terpaksa dilatih berotot di pelbagai alat pelatihan yang disebut “mata pelajaran”, dan setiap trainer (baca : guru) memaksa mereka relapse ugal-ugalan tanpa memperhatikan jiwa mereka yang sudah lelah, apalagi jika si murid salah gerakan dalam latihan tak jarang sang trainer memarahinya atas kebodohan kecilnya. Sekilas saja jika dilihat dari niat, tentulah tidak salah jika sang guru menginginkan semua muridnya mendapatkan nilai bagus dalam mapel yang diampunya. Tapi terkadang luput dari sang guru, pelatihan yang ia berikan tadi justru menciderai otot-otot jiwa sang murid. Pembelajaran yang seharusnya menjadi hal yang paling ia cari di umurnya kini, justru menjadi hal yang mereka hindari jam hadirnya.
“ The Expectation Of Others Can Be A Cage As Heavy As Iron “ – Unknown
Di tengah semua tuntutan kehidupan yang meminta manusia untuk tidak menjadi manusia, meminta manusia untuk melampaui titik kesempurnaannya, yang mana pada hakikatnya manusia tak kan ada yang sempurna. Dan atas dasar ketidakmampuan kita untuk menjadi lebih dari manusia, tuhan mengajari kita, para manusia, dengan kalimat “ Tidak apa”.
Geulbaewo, seorang pemerhati mental dan founder salah satu pusat konseling di Korea, mengatakan dalam salah satu bukunya, bahwa kalimat “Tidak apa” itu punya arti pengampunan. Pengampunan atas kesalahan-kesalahan yang mencederai kesempurnaan. Seolah si pengucap memahami keadaan diri yang bersalah dan memberi kesempatan kepadanya untuk menjadi lebih baik lagi.
Kehadiran “tidak apa” seakan menunjukkan kebenaran Allah SWT yang maha pengampun. Karena menurunkan kepada kita secuil dari bentuk ampunannya berupa kehadiran kalimat “Tidak apa” di antara manusia.
Bayangkan berapa banyak anak yang akan selamat dari trauma masa lalu, jika para ayah belajar mengatakan “tidak apa” dibanding memilih memukul sang anak ketika ia menumpahkan minumannya di karpet ruang keluarga. Bayangkan berapa anak yang akan menjadikan rumah sebagai tempat pulang favoritnya, jika para ibu belajar kalimat “Tidak apa” dan menyemangatinya, dibanding memilih memarahi anaknya karena ranking mereka kalah tinggi dibanding anak tetangga. Begitu banyak kehidupan mental anak yang terselamatkan jika orang tua mereka memahami besarnya peran kalimat “tidak apa”.
Sama halnya dengan kehidupan anak murid di sekolah. Jika para guru, yang mengajari mereka teori dan praktek, belajar dan mempraktekkan kalimat “tidak apa” dalam proses belajar mengajar mereka. Betapa banyak murid yang akan menjadikan sekolah tempat favorit hariannya dan sadar bahwa mereka bisa berkembang lebih baik disana.
Melihat dari realita saat ini. Maka wajarlah manusia, yang merupakan antonim dari kata sempurna, menjadikan kalimat “ Tidak apa” sebagai kalimat yang paling ingin ia dengar dalam hidupnya. Sebab terucapnya kalimat ini, seakan memberi mereka waktu untuk bernafas lega. Seakan dipahami kemanusiaan (baca: ketidak sempurnaan) mereka. Bagaikan selalu diberi kesempatan lebih baik lagi Ketika melakukan kesalahan.
Inilah sebuah kalimat pasaran yang kadang orang luput akan dampaknya bagi manusia. Jika para orang tua dan guru mengajari anak dan muridnya “ terimakasih, tolong, dan maaf” agar menjadi individu sempurna dimasyarakat, maka mereka juga perlu belajar mengucapkan kalimat “ tidak apa” kepada anak dan muridnya agar mereka tetap merasa hidup sebagai manusia. Karena apapun kesalahan yang mereka lakukan, bukan berarti mereka tak layak lagi menjalani kehidupan.
Tidak apa sebab tuhan pun, selalu memaafkan.
Penulis : Fadhil Ahmad Al Karimi
Editor : Dahru Gunawan Oloan
Komentar
Posting Komentar