Dalam sebuah cuplikan video, sosok yang sering kita kenal dengan sebutan Guru Gembul menyebutkan bahwa mondok bukanlah tradisi pendidikan Islam yang murni datang dari Islam, melainkan tradisi Nusantara yang diambil dari tradisi Hindu-Buddha pada masa itu.
Pernyataan ini menarik, sekaligus menunjukkan sebuah kesimpulan yang sangat serampangan. Hal tersebut tampak karena ia mengesampingkan referensi yang ada dan lebih mengedepankan sikap kritis personal.
Saya akan memberikan bantahan singkat terhadap pernyataan ini, kemudian sekaligus menanggapi metode berkesimpulan yang beliau gunakan.
![]() |
Mondok di Mesir |
1. Mondok Tradisi Siapa?
Tidak masalah jika benar bahwa dahulu Hindu-Buddha pernah melakukan tradisi serupa di Nusantara. Namun yang menarik di sini adalah klaim beliau bahwa mondok bukanlah tradisi Islam.
(Kepada orang-orang seperti beliau, saya ingin menasihatkan: berpikir kritis memang penting. Namun, ketika apa yang kita pikirkan hendak disampaikan kepada khalayak, itu membutuhkan kapabilitas. Minimal, jangan hanya rajin berpikir saja, tetapi perbanyaklah juga bacaan sebagai bekal).
Sejak zaman Nabi, tradisi “mondok” sudah dikenal sebagai salah satu metode menuntut ilmu para sahabat. Diriwayatkan oleh para ulama, di antaranya Imam Al-Qurthubi, bahwa jumlah sahabat yang tinggal di pelataran Masjid Nabawi bahkan mencapai 400 orang. Mereka dikenal dengan sebutan Ahlus Shuffah, yang selalu menghadiri majelis Nabi dan belajar langsung kepada beliau.
Lantas, jika hal semacam ini tidak disebut mondok (dalam literasi kita sekarang), lantas disebut apa?
---
2. Metode Berkesimpulan
Saya tidak ingin berpanjang lebar pada poin pertama. Mari masuk pada esensi pembahasan yang lebih penting, yaitu metode beliau dalam mengambil kesimpulan dan menyampaikannya kepada khalayak.
a. Benar, berpikir kritis adalah sesuatu yang boleh secara mutlak dan tidak ada larangannya. Definisi berpikir secara terminologi pun adalah membenturkan banyak perspektif dalam satu pembahasan, atau sederhananya: memperdebatkan pikiran kita di dalam otak. Itulah yang disebut berpikir.
b. Namun, yang harus digarisbawahi di sini: kebolehan berpikir kritis tidak sama dengan kebolehan mengambil kesimpulan dan menyampaikannya kepada orang banyak. Dalam literatur Islam, hal itu disebut dengan berdakwah.
Mengapa? Karena kesimpulan dan dakwah yang sembrono akan berdampak serius bagi pemahaman masyarakat, terutama orang awam. Berdakwah harus didasari pada kemampuan memahami dengan benar, bukan sekadar kemampuan berpikir kritis sebagaimana yang sering beliau lakukan.
Menyamakan hukum berpikir dengan hukum berdakwah justru akan menampakkan kebodohan dan kedangkalan seseorang.
---
Pesan untuk Penuntut Ilmu
Kepada para penuntut ilmu yang tengah belajar berpikir lebih kritis, saya sangat tidak menyarankan untuk belajar dari Guru Gembul. Hal ini karena kesembronoan beliau dalam berkesimpulan, terlebih keberaniannya berbicara pada hal-hal di luar kapasitasnya.
Saya teringat ucapan Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani:
> إذا تكلَّم المرء في غير فنه أتى بالعجائب
> “Jika seseorang berbicara bukan pada bidangnya, maka ia akan mendatangkan banyak keanehan.”
Semoga Allah melindungi kita dari keserampangan dan kebodohan semacam ini.
Penulis : WS Hendra
Editor : Bustanul Arifin
Komentar
Posting Komentar